Mantan Wakil Ketua Dewan Keamanan Nasional Israel, Eran Etzion menyebut kepentingan pribadi Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu menjadi penghalang perdamaian dengan Hamas. Selama ini Israel dengan Hamas berusaha mencapai kesepakatan damai dengan difasilitasi oleh sejumlah negara, seperti Amerika Serikat (AS), Mesir, dan Qatar. Namun setelah 10 bulan pecah perang terbuka antara keduanya, belum juga ada tanda-tanda perdamaian.
“Netanyahu memperbudak kepentingan nasional Israel demi kepentingan politik, pribadi, dan kriminalnya sendiri,” kata Etzion Anadolu, sebagaimana dikutip melalui Middle East Monitor (MEMO) pada Selasa (13/8/2024).
Menurut Etzion, kebanyakan warga Israel percaya bahwa Netanyahu beroperasi untuk kepentingan politiknya sendiri dan bukan untuk kepentingan nasional. Sehingga hal itulah yang membuat kemandekan upaya damai yang selama ini telah ditempuh kedua kubu.
“Saya salah satu dari mayoritas yang percaya bahwa ini adalah masalahnya,” ujarnya.
Etzion membeber bahwa hal ini terbukti dari bagaimana Pemerintahan Netanyahu yang dinilainya dengan sengaja gagal mencapai tujuan perang di Gaza, yakni menghilangkan semua kemampuan militer dan kemampuan pemerintahan Hamas di Gaza. Kendati Etzion mengaku bahwa Israel telah membuat beberapa kemajuan namun masih jauh dari tujuan sesungguhnya.
“Saya, sebagai seorang analis, tidak dapat mengatakan bahwa Israel mencapai tujuannya, dan saya dapat mengatakan fakta bahwa Israel tidak mencapai tujuannya adalah suatu hal yang disengaja,” ujar Etzion.
Peneliti non-residen pada lembaga Middle East Institute di Washington, AS itu menganggap Pemerintahan Netanyahu sengaja tidak ingin mencapai semua tujuan tersebut karena mereka ingin memperpanjang perang sebab alasan politik.
Mengenai pembunuhan yang dilakukan Israel baru-baru ini terhadap para pemimpin Hamas dan Hizbullah, Etzion menegaskan bahwa pembunuhan yang ditargetkan bukanlah alternatif strategi politik yang nyata. Pemimpin politik Hamas Ismail Haniyeh terbunuh pada tanggal 31 Juli saat mengunjungi Ibu Kota Iran, Teheran, untuk menghadiri pelantikan Presiden Masoud Pezeshkian, sehari setelah komandan Hizbullah Fuad Shukr menjadi sasaran serangan udara Israel di pinggiran selatan Ibu Kota Lebanon, Beirut.
Haniyeh dikatakan dibunuh oleh agen-agen Israel di Teheran, pekan lalu. Israel tidak membenarkan atau menyangkal bertanggung jawab. Sehari kemudian, militer Israel mengklaim bahwa mereka memiliki informasi intelijen bahwa komandan militer Hamas Mohammad Deif terbunuh dalam serangan udara 13 Juli di wilayah Khan Younis di Gaza.
Akan tetapi kelompok Palestina belum mengkonfirmasi kematian Deif, namun telah mengumumkan Yahya Sinwar sebagai penerus Haniyeh. “Secara pribadi, menurut saya pembunuhan tersebut tidak efektif secara strategis. Secara taktis mungkin efektif… tetapi mereka telah membuktikan bahwa mereka dapat pulih dengan cepat,” kata Etzion, yang juga menjabat sebagai kepala perencanaan kebijakan di Kementerian Luar Negeri Israel.
Perpecahan di Israel
Mengenai arah perang Israel di Gaza di masa depan, Etzion mencatat ada perpecahan di dalam pemerintahan dan masyarakat Israel. Menurut dia, masyarakat dan lembaga pertahanan yang lebih luas mendukung penandatanganan perjanjian gencatan senjata dan pembebasan sandera. Namun, Netanyahu dan beberapa menterinya, terutama para menteri ekstremis sayap kanan, secara terbuka mendukung dan bertindak untuk memicu perang regional yang lebih luas.
“Sebagian besar warga Israel siap menandatangani perjanjian tersebut. Para perunding sendiri siap menandatangani. Menteri Pertahanan, Kepala IDF, Kepala Shin Bet, mereka semua mengatakan mari kita tanda tangani,” ujarnya.
Posisi ini, menurut dia mencerminkan kepentingan nasional Israel yang sebenarnya dan keinginan mayoritas rakyat Israel, namun Netanyahu memberikan hambatan baru karena kepentingan pribadinya. Etzion menekankan bahwa opini publik mengenai perang di Gaza telah berubah selama 10 bulan terakhir karena situasi sebenarnya di lapangan ternyata tidak sebaik yang mereka harapkan.
Kebanyakan warga Israel, sekitar 60 atau 70 persen, kini ingin mengakhiri perang, meski mereka masih terpecah mengenai solusi jangka panjang. “Saya mempunyai kesimpulan yang sama bahwa kepentingan nasional mengharuskan kita untuk mengakhiri perang, melepaskan sandera, mengadakan pemilu, mengganti kepemimpinan politik dan kepemimpinan militer kita yang gagal total pada tanggal 7 Oktober, melakukan rekonstruksi nasional di berbagai tingkat. Itulah yang kami butuhkan di tahun-tahun mendatang,” katanya.
Baca Juga:
Pimpinan Hamas Ismail Haniyeh Diduga Dibunuh Garda Revolusi Iran yang Direkrut Israel
AS Siapkan Rp55,9 Triliun Buat Israel Beli Senjata
Israel Bantai Ratusan Orang yang Tengah Salat Subuh di Sekolah Gaza