General

Sejarawan Usul Ganti Istilah ‘Pribumi’ jadi ‘Orang Indonesia’

Yopi Makdori — Asumsi.co

featured image
Ilustrasi Pribumi/PICRYL

Sejarawan Universitas Indonesia (UI) Dr. Bondan Kanumoyoso menilai penggunaan istilah pribumi sudah tidak relevan di masa sekarang. Pasalnya saat ini, semua etnis di Indonesia hidup berinteraksi dan bersatu dalam identitas bersama, yakni bangsa Indonesia.

Hal itu disampaikan Kanumoyoso dalam acara Bernalar Berdaya x Neo Historia hasil kolaborasi antara komunitas Muda Berdaya dan Neo Historia di Auditorium Mochtar Riady, Kampus FISIP UI, Depok, Jawa Barat pada Jumat (28/6/2024).

Pada kesempatan yang sama, San Tobias dari Pinter Politik mengatakan bahwa istilah “pribumi” sebaiknya diganti dengan menjadi “orang Indonesia.” Hal itu untuk mencerminkan identitas yang sesuai dengan semangat sumpah pemuda.

Pada kesempatan itu, Kanumoyoso juga menyinggung topik peristiwa G30S yang selama ini menjadi isu utama dalam sejarah kebangsaan. Dia menekankan bahwa masyarakat tidak boleh membatasi pembahasan sejarah hanya pada satu perspektif dan satu narasi saja yang seolah-olah membuat peristiwa tersebut adalah yang paling krusial. Sebab sebenarnya banyak peristiwa sejarah lain yang juga penting dan jangan sampai terlupakan.

Diketahui, acara tersebut mengusung tema ‘Belajar, Sejarah, Masa Depan Cerah,’ dengan tujuan menghidupkan kembali minat sejarah di kalangan generasi muda melalui pendekatan yang menyenangkan.

Ryan Batchin, co-founder MudaBerdaya, bersama Daniel Limantara, founder Neo Historia, membuka acara. Daniel menyampaikan, “Sejarah berada di keliling kita. Apa yang kita rasakan hari ini adalah konsekuensi dari masa lalu. Kami berdiri untuk mengembalikan sejarah ke masyarakat, agar kembali dipelajari dan menjadi bagian penting dari kehidupan kita”.

Membuka Jendela Sejarah dengan Petualangan Narasi 

JJ Rizal, sejarawan dari Universitas Indonesia, membuka narasi dengan mengajak semua untuk merenungkan bagaimana pemuda, dengan semangat dan keberanian, selalu menjadi motor perubahan. Ahwy Karuniyado dari Hipotesa Media melanjutkan dengan mengkritisi kebiasaan generasi muda yang lebih suka menghabiskan waktu di media sosial ketimbang membaca, menggugah kesadaran akan pentingnya literasi dan empati di dunia maya.

Narasi selanjutnya disampaikan oleh Leonard Alden dari Inspect History yang membahas pentingnya toleransi dalam memahami sejarah. Leonard mengajak semua untuk melihat sejarah sebagai pelajaran tentang toleransi dan inklusivitas. Sesi beliau membangkitkan partisipasi aktif dari peserta dengan melibatkan peserta dalam sebuah roleplay interaktif.

Dilanjutkan oleh Asep Kambali, Presiden Asep Sedunia dan pendiri Komunitas Historia, menekankan pentingnya sejarah sebagai fondasi masa depan bangsa. Beliau mengkritik kurangnya penghargaan terhadap sejarah di Indonesia dibandingkan dengan negara lain, seperti Amerika Serikat, di mana calon senator harus lulus tes sejarah. Asep mengingatkan bahwa Indonesia perlu menjaga persatuan melalui pemahaman sejarah. Beliau juga menekankan bahwa sejarah harus diajarkan agar generasi muda mencintai dan memahami bangsanya, serta menyoroti pentingnya 3S: sehat, semangat, dan silaturahmi dalam membangun masa depan yang sukses.

Guru Gembul, dengan pengetahuan mendalam dan humor khasnya, membuka wawasan peserta tentang bagaimana sejarah mempengaruhi identitas dan politik suatu wilayah.

Beliau membahas konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung selama 4.000 tahun, menyoroti bagaimana sejarah kawasan tersebut membentuk identitas mereka dan terus mempengaruhi politik saat ini.

Dia juga menekankan bahwa fenomena sejarah cenderung berulang dan pentingnya mempelajari sejarah untuk menganalisis kesalahan masa lalu. “Harus pro kepada kebajikan,” ujar Guru Gembul mengajak peserta untuk fokus pada ide-ide di balik peristiwa sejarah, bukan hanya tokohnya, untuk menghindari pengulangan kesalahan yang sama.

Menjelajahi Mitos dalam Sejarah

Dalam dua sesi terakhir, peserta yang hadir diajak untuk menggali mitos dan legenda yang melekat pada masyarakat Indonesia. Fajar Aditya memaparkan mengenai mitos  Gunung Kemukus, yang mengisahkan bagaimana mitos dapat mempengaruhi pola sosial dan ekonomi masyarakat. Fajar menjelaskan bahwa meskipun era teknologi telah maju, mitos seperti “pohon keramat” atau “Nyi Roro Kidul” masih memiliki dampak besar. Mitos juga telah menjadi bagian dari struktur kebudayaan setempat. Fajar memaparkan bahwa mitos sengaja dipertahankan untuk alasan tertentu seperti motif ekonomi, dengan menarik peziarah dan mendukung bisnis penginapan lokal. Melalui mitos, kita bisa belajar banyak tentang pola sosial dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat.

Sesi ditutup oleh Hanafi Wibowo dari Neo Historia yang membahas tentang “Genderuwo: Hantu yang Tak Lekang oleh Zaman.” Hanafi menjelaskan bagaimana genderuwo, entitas mistis yang telah ada sejak era Hindu-Buddha, menjadi bagian dari kebudayaan dan politik Indonesia. Ia menekankan bahwa entitas mistis ini memiliki bipolaritas antara kebaikan dan kejahatan, tergantung pada perspektif kita. Menurut Hanafi, penting untuk mencari kebenaran di balik cerita-cerita mistis dan melihatnya dari berbagai sudut pandang untuk mendapatkan pemahaman yang utuh.

Dengan suksesnya acara ini, diharapkan Bernalar Berdaya x Neo Historia dapat terus menginspirasi dan mendidik generasi muda Indonesia tentang pentingnya sejarah sebagai fondasi masa depan yang lebih cerah.

Share: Sejarawan Usul Ganti Istilah ‘Pribumi’ jadi ‘Orang Indonesia’