Internasional

Demi Lindungi Budaya Nasional, Negara Mayoritas Muslim Tajikistan Larang Penggunaan Hijab

Yopi Makdori — Asumsi.co

featured image
Unsplash/Habib Dadkhah/Hijab

Pemerintah Tajikistan mengesahkan undang-undang yang melarang jilbab baru-baru ini. Pemerintah mengatakan bahwa langkah itu sebagai upaya untuk melindungi nilai-nilai budaya nasional dan mencegah takhayul dan ekstremisme di negaranya.

Undang-undang tersebut disetujui oleh majelis tinggi parlemen Majlisi Milli pada Kamis (20/6/2024) lalu. UU itu melarang penggunaan “pakaian asing” termasuk jilbab, atau penutup kepala yang dikenakan oleh wanita Muslim. Sebaliknya, warga negara Tajikistan didorong untuk mengenakan pakaian nasional Tajikistan.

Mereka yang melanggar aturan tersebut akan dikenakan denda mulai dari 7.920 somoni Tajikistan (hampir Rp12,3 juta) untuk warga negara biasa, 54.000 somoni (Rp82,6 juta) untuk pejabat pemerintah, dan 57.600 somoni (sekitar Rp88 juta) jika mereka adalah tokoh agama.

Undang-undang terbaru tersebut dikatakan dipicu oleh serangan mematikan di Balai Kota Crocus di Moskow pada bulan April lalu. Empat penyerang yang ditangkap oleh penegak hukum Rusia yang diklaim anggota ISIS cabang Khorasan itu, memiliki paspor Tajikistan.

Presiden Rahmon, yang mengatakan bahwa ia bermaksud menjadikan Tajikistan “demokratis, berdaulat, berdasarkan hukum, dan sekuler.” Ia mengutip kalimat pembukaan Konstitusi 2016 dengan menasihati rakyat untuk “Mencintai Tuhan dengan (hati) mereka”.

“Jangan lupakan budaya kalian sendiri,” ujarnya.

Undang-undang serupa yang disahkan awal bulan ini memengaruhi beberapa praktik keagamaan, seperti tradisi berusia berabad-abad yang dikenal di Tajikistan sebagai “iydgardak.” Tradisi ini adalah ketika anak-anak mendatangi rumah-rumah untuk mengumpulkan uang saku pada hari raya Idulfitri.

Dilansir dari Euro News, keputusan itu dianggap mengejutkan, karena negara Asia Tengah dengan penduduk sekitar 10 juta jiwa itu, 96 persennya beragama Islam. Namun, hal itu merupakan cerminan garis politik yang telah ditempuh pemerintah sejak 1997.

Di Tajikistan, pemerintahan presiden seumur hidup Emomali Rahmon telah lama mengarahkan pandangannya pada apa yang mereka gambarkan sebagai ekstremisme.

Setelah kesepakatan damai untuk mengakhiri perang saudara selama lima tahun pada tahun 1997, Rahmon, yang telah berkuasa sejak tahun 1994, pertama kali menemukan cara untuk hidup berdampingan dengan partai oposisi Partai Kebangkitan Islam Tajikistan (TIRP), yang diberikan serangkaian konsesi.

Berdasarkan perjanjian yang ditengahi PBB, perwakilan TIRP yang pro-Syariah akan berbagi 30 persen pemerintahan, dan TIRP diakui sebagai partai politik pasca-Soviet pertama di Asia Tengah yang didirikan atas dasar nilai-nilai Islam.

Namun, Rahmon berhasil menyingkirkan TIRP dari kekuasaan meskipun partai tersebut menjadi lebih sekuler dari waktu ke waktu. Pada tahun 2015, ia kemudian berhasil menutup TIRP sepenuhnya, dan menetapkannya sebagai organisasi teroris setelah partai tersebut diduga terlibat dalam upaya kudeta yang gagal yang mengakibatkan Jenderal Abdulhalim Nazarzoda, seorang birokrat penting pemerintah, tewas.

Sementara itu, ia mengalihkan perhatiannya pada apa yang pemerintahnya gambarkan sebagai pengaruh “ekstremis” di antara warga negara.

Setelah pertama kali melarang jilbab di lembaga-lembaga publik, termasuk universitas dan gedung-gedung pemerintah, pada tahun 2009, rezim di Dushanbe mendorong sejumlah aturan formal dan informal yang dimaksudkan untuk mencegah negara-negara tetangga memberikan pengaruh yang dapat memperkuat kendalinya atas negara tersebut.

Meskipun tidak ada batasan hukum terkait jenggot di Tajikistan, berbagai laporan menyatakan bahwa penegak hukum telah secara paksa mencukur pria yang memiliki jenggot lebat, yang dianggap sebagai tanda potensial pandangan agama ekstrem seseorang.

Undang-Undang tentang Tanggung Jawab Orang Tua, yang mulai berlaku pada tahun 2011, memberikan sanksi kepada orang tua yang menyekolahkan anak-anaknya di pendidikan agama di luar negeri. Sementara menurut undang-undang yang sama, mereka yang berusia di bawah 18 tahun dilarang memasuki tempat ibadah tanpa izin.

Pernyataan tahun 2017 oleh Komite Urusan Agama Tajikistan mengatakan bahwa 1.938 masjid ditutup hanya dalam satu tahun, dan tempat ibadah diubah menjadi kedai teh dan pusat medis.

 

Share: Demi Lindungi Budaya Nasional, Negara Mayoritas Muslim Tajikistan Larang Penggunaan Hijab