Pemerintah daerah dapat memberikan dana hibah kepada lembaga atau organisasi kemasyarakatan berbadan hukum, sebagaimana diatur Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2018. Apalagi, pendanaan pemajuan kebudayaan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah berdasarkan Pasal 48 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017.
Namun, program hibah dengan dana dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) rentan disalahgunakan. Program tersebut rawan diselewengkan penerima hibah untuk kepentingan pribadi. Misalnya, Ketua Dewan Kesenian Banten (DKB) periode 2015-2018, Chavchay Saefullah menyalahgunakan dana hibah sebesar Rp800 juta dari pemerintah daerah provinsi Banten untuk organisasi yang dipimpinnya.
Di sisi lain, program dana hibah juga berpotensi diselewengkan dengan berbagai modus korupsi. Di antaranya, dengan memotong dana hibah secara terang-terangan, menyertakan organisasi kemasyarakatan fiktif sebagai penerima, sampai mengalirkannya kepada lembaga atau organisasi yang dipimpin kerabat pejabat. Misalnya, kasus korupsi dana hibah sebesar Rp3,9 miliar untuk 21 lembaga keagamaan yang disalahgunakan beberapa aparatur sipil negara (ASN) dari kalangan pejabat pemerintah kabupaten (Pemkab) Tasikmalaya pada 2017.
Namun, penyalahgunaan dana hibah bukan hanya dilakukan ASN dari kalangan pejabat. ASN berpangkat rendah melakukannya dengan pungutan liar (pungli) terhadap calon penerima dana hibah. Hibah termasuk sektor pelayanan publik paling rawan pungli karena bersentuhan langsung dengan masyarakat. Padahal, program hibah sudah semestinya tidak dipungut biaya apapun atau dituntut balas jasa. Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), hibah berarti pemberian secara sukarela dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.
Kenyataannya banyak laporan dugaan pungli dalam program dana hibah yang diselenggarakan pemerintah daerah. Misalnya, kasus pungli dalam penyaluran dana hibah sebesar Rp 12 miliar dari APBD Provinsi Banten tahun 2018 untuk 69 lembaga pendidikan. Sebanyak lima dari 69 lembaga pendidikan sudah menyerahkan total Rp150 juta kepada empat pelaku dengan alasan untuk biaya administrasi. Para pelaku terdiri dari tiga orang swasta dan seorang ASN yang bekerja di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten.
Korupsi bertentangan dengan tujuan dari pemberian hibah. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) Permendagri Nomor 13 Tahun 2018, pemberian hibah ditujukan untuk menunjang pencapaian sasaran program dan kegiatan pemerintah daerah dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas, dan masyarakat untuk masyarakat. Sedangkan korupsi justru menyebabkan harga pelayanan publik semakin mahal, merongrong peluang masyarakat dalam memperoleh sumber daya, sampai memperparah kesenjangan sosial. Jika dikelola dalam sistem dengan potensi korupsi yang kuat, maka program dana hibah malah melanggengkan permasalahan ketimpangan kesejahteraan.
Korupsi dalam program dana hibah tersebut sebenarnya mempengaruhi kredibilitas pemerintah daerah. Padahal, keberadaan pemerintah daerah bukan sekadar menjalankan kewenangan desentralisasi, melainkan juga kewenangan dekonsentrasi sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2024. Korupsi dalam program dana hibah bisa dirunut dari penyimpangan standar pelayanan publik. Pemerintah daerah sudah semestinya mengelola program dana hibah dengan melibatkan partisipasi publik serta menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Selain itu, pemerintah daerah juga perlu menerapkan standarisasi tata kelola dalam penyaluran dana hibah untuk meminimalisir atau bahkan mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.
Integrasi Dana Hibah
Program pemberian dana hibah tersebar di berbagai organisasi perangkat daerah (OPD). Termasuk, program pemberian dana hibah dari pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek (fasilitasi bidang kebudayaan/FBK) dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Indonesia Tourism Fund/ITF).
Hibah bidang kebudayaan tidak melulu diselenggarakan oleh OPD pada bidang kebudayaan. Terkadang, ada pula hibah kebudayaan yang dikelola oleh OPD ekonomi kreatif. Oleh karena itu, integrasi program pemberian dana hibah kebudayaan yang lintas sektor diperlukan untuk mendorong pembangunan yang lebih efisien, efektif, dan optimal.
Integrasi bukan berarti menghilangkan karakteristik khas dari tujuan program pemberian dana hibah kebudayaan itu. Namun, integrasi dimaksudkan untuk membuat akses informasi terhadap program hibah kebudayaan lebih mudah karena dibuat seperti pelayanan satu pintu.
Dengan terintegrasinya layanan hibah kebudayaan di pemerintah daerah, pengawasan akan semakin mudah. Inspektorat terpaksa harus mengawasi banyak program sekaligus kalau hibah kebudayaan diselenggarakan oleh berbagai OPD. Jika program hibah kebudayaan diselenggarakan secara terintegrasi, maka pengawasannya diasumsikan akan lebih sederhana dan terfokus.
Integrasi program pemberian dana hibah kebudayaan pemerintah daerah memperkuat kolaborasi dan sinergi antar sektor, serta menghindari tumpang tindih dan pemborosan sumber daya. Integrasi program pemberian hibah kebudayaan pemerintah daerah menunjukkan pelayanan publik sebagai hasil reformasi birokrasi. Ini mengingat tuntutan masyarakat terhadap pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang lebih profesional, mudah, dan cepat. Bahkan, program pemberian dana hibah kebudayaan pemerintah daerah yang terintegrasi juga berpotensi menghasilkan pembangunan berkelanjutan.
Integrasi program pemberian dana hibah kebudayaan pemerintah daerah juga memungkinkan kepentingan dan aspirasi masyarakat dapat terakomodasi. Apalagi, integrasi program pemberian dana hibah kebudayaan pemerintah daerah memudahkan proses sosialisasi program. Imbasnya, informasi tentang program dana hibah kebudayaan pemerintah daerah dapat dengan gampang dicerna.
Integrasi program pemberian dana hibah kebudayaan pemerintah daerah memungkinkan lini masa serta mekanisme pemberian hibah terpublikasi secara serentak dan seragam. Integrasi tersebut juga memungkinkan lini masa menjadi terencana, tidak menumpuk, dan bertabrakan antar satu program dengan lainnya. Jadwal kegiatan dalam program pemberian dana hibah kebudayaan pemerintah daerah menjadi terstruktur dan sistematis, sehingga berdampak meningkatkan partisipasi masyarakat yang pada gilirannya mempengaruhi kualitas akuntabilitas dan transparansi publik.
Program pemberian dana hibah kebudayaan terintegrasi memang sudah sepatutnya untuk menggunakan standar yang sama agar memudahkan masyarakat dalam memahami persyaratan. Standarisasi dapat diberlakukan dalam metode seleksi, format dokumen proposal, rencana anggaran biaya (RAB), dan bentuk pertanggungjawaban permohonan dana hibah kebudayaan yang diajukan. Standarisasi bisa pula diberlakukan dalam penggunaan biaya dan tata cara administrasi seperti transaksi non tunai atau bukti pembayaran yang disertakan.
Sistem pengelolaan program pemberian dana hibah kebudayaan pemerintah daerah yang terintegrasi di seluruh OPD juga perlu didukung teknologi informasi agar mempercepat pencegahan dan penanganan dugaan korupsi. Integrasi membuat pengelolaan program pemberian dana hibah kebudayaan pemerintah menjadi tersistem dan tidak parsial, sehingga pencegahan dan penanganan dugaan korupsi bukan lagi diwujudkan dalam kegiatan yang bersifat rutinitas. Integrasi program pemberian dana hibah kebudayaan pemerintah daerah harus berbasis data supaya perencanaan, pengorganisasian, pengawasan, sampai penyaluran tergambarkan dan kinerja yang kurang maksimal bisa segera diperbaiki.
Integrasi program tersebut bermanfaat untuk mencegah penerima hibah bermasalah melakukan pelanggaran secara berulang. Imbasnya, jika penerima hibah kebudayaan yang bermasalah pernah masuk daftar hitam, maka permohonan berikutnya bisa ditolak. Jika program diselenggarakan secara terpisah-pisah, ada kemungkinan penerima hibah bermasalah akan mencoba di program hibah berbeda penyelenggara tanpa terdeteksi.
Integrasi Minimalisir Korupsi
Integrasi untuk meminimalisir atau bahkan mencegah terjadinya tindak pidana korupsi berlaku pula bagi program pemberian dana hibah di bidang kebudayaan. Pemberian hibah di bidang kebudayaan dari pemerintah pusat melalui program Dana Indonesiana tidak ujug-ujug terintegrasi. Dana Indonesiana berawal dari program FBK yang diluncurkan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek pada 2020. Dana FBK berasal dari seluruh anggaran hibah yang dikelola berbagai departemen di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek. Mulanya, FBK dirancang sebagai pilot project dari metode pengelolaan dana perwalian kebudayaan yang diamanatkan dalam Pasal 49 UU 5/2017.
Pelaksanaan dana perwalian kebudayaan itu ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya aturan turunan yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2021 tentang Dana Abadi Pendidikan. Peluncuran program Dana Indonesiana pada 2022 menjadi perwujudan konkret dari pelaksanaan dana perwalian kebudayaan tersebut. Hibah dari Dana Indonesiana bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) melalui program FBK, serta pemanfaatan dana abadi kebudayaan dan dana abadi pendidikan. Program Dana Indonesiana dikelola Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Sistem pengelolaan Dana Indonesiana bisa ditiru pemerintah daerah yang hendak mengintegrasikan berbagai program pemberian dana hibah agar terwujud good governance.
Pada 2023 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendorong pembentukan dana abadi daerah dengan merinci pengaturannya melalui penyusunan aturan turunan dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah. Wacana pembentukan dana abadi daerah yang didorong Presiden Jokowi membuka kemungkinan adanya integrasi model pengelolaan dana hibah kebudayaan. Dengan model tata kelola yang terstandarisasi dan terintegrasi, pemberian dana hibah kebudayaan di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah akan mewujudkan good governance secara menyeluruh.