Banyak masyarakat Tiongkok tertarik untuk mengloning secara digital orang-orang terkasih mereka yang telah wafat menggunakan metode deepfake. Upaya ini dilakukan guna melestarikan, menghidupkan, dan berinteraksi dengan orang-orang terdekat saat mereka berusaha melipur lara.
Laporan MIT Technology Review mengungkap, setidaknya setengah lusin perusahaan kini menawarkan teknologi tersebut dan ribuan orang telah membayar demi menghidupkan orang-orang yang mereka cintai secara digital dalam wujud avatar. Meskipun teknologinya masih belum sempurna mengingat avatar masih kaku dan seperti robot, tetapi teknologinya sudah semakin matang, dan semakin banyak alat yang tersedia melalui lebih banyak perusahaan.
Sebaliknya, harga yang harus dibayar untuk “menghidupkan kembali” seseorang telah turun secara signifikan. Kini teknologi ini sudah bisa diakses oleh masyarakat umum.
Kloning digital seseorang, yang digadang-gadang dapat menciptakan keabadian bagi seseorang, salah satunya dilakukan Sun Kai, salah satu pendiri Silicon Intelligence. Ia seminggu sekali melakukan video call dengan ibunya.
Dia terbuka tentang pekerjaan, tekanan yang dia hadapi sebagai pria paruh baya, dan pemikiran yang bahkan tidak dia diskusikan dengan istrinya. Ibunya sesekali berkomentar, seperti menyuruhnya menjaga dirinya sendiri. Tapi kebanyakan, ibunya hanya mendengarkan.
Itu karena ibu Sun meninggal lima tahun lalu. Dan orang yang dia ajak bicara sebenarnya bukanlah manusia, melainkan replika digital yang dia buat, yakni sebuah gambar bergerak yang dapat melakukan percakapan dasar.
Setelah ibunya meninggal karena sakit mendadak pada 2019, Sun ingin menemukan cara untuk menjaga hubungan mereka tetap hidup. Jadi, dia menghubungi tim di Silicon Intelligence, perusahaan AI yang berbasis di Nanjing, Tiongkok.
Dia memberi mereka foto dirinya dan beberapa klip audio dari percakapan WeChat mereka. Meskipun sebagian besar perusahaan berfokus pada pembuatan audio, stafnya menghabiskan empat bulan untuk meneliti alat sintetis dan membuat avatar dengan data yang disediakan Sun. Kemudian dia dapat melihat dan berbicara dengan versi digital ibunya melalui aplikasi di ponselnya.
“Ibuku sepertinya tidak terlalu natural, tapi aku masih mendengar kata-kata yang sering dia ucapkan: ‘Apakah kamu sudah makan?’” Sun mengenang interaksi pertama dengan avatar ibunya.
Karena AI generatif adalah teknologi yang baru lahir pada saat itu, replika ibunya hanya dapat menyebutkan beberapa baris yang telah ditulis sebelumnya. “Dia selalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan itu berulang kali, dan itu membuat saya sangat emosional ketika mendengarnya,” katanya.
Meskipun demikian, beberapa orang mempertanyakan apakah berinteraksi dengan replika AI orang mati sebenarnya merupakan cara yang sehat untuk memproses kesedihan. Sejauh ini implikasi hukum dan etika atas teknologi ini juga tidak sepenuhnya jelas.
Untuk saat ini, ide tersebut masih membuat banyak orang risih. Namun pangsa pasarnya di Tiongkok cukup besar.
“Meskipun hanya 1 persen masyarakat Tiongkok yang dapat menerima [kloning AI terhadap orang mati], hal tersebut masih merupakan pasar yang sangat besar,” ujar CEO Silicon Intelligence, Sima Huapeng.
Avatar orang mati pada dasarnya adalah deepfake, yakni teknologi yang digunakan untuk mereplikasi orang hidup dan orang mati. Model difusi menghasilkan avatar realistis yang dapat bergerak dan berbicara.
Model bahasa besar dapat dilampirkan untuk menghasilkan percakapan. Semakin banyak data yang diserap model ini tentang kehidupan seseorang—termasuk foto, video, rekaman audio, dan teks—semakin mirip hasilnya dengan orang tersebut, baik dalam keadaan hidup maupun mati.