Ratusan jamaah Masjid Aolia di Dusun Panggang III, Giriharjo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta menggelar salat Idulfitri 1445 Hijriah, Jumat (5/4/2024). Para jemaah menggelar perayaan Idulfitri lebih awal dibanding mayoritas umat Islam pada umumnya di Indonesia.
Jamaah Masjid Aolia menetapkan jatuhnya 1 Syawal 1445 H pada Jumat (5/4/2024) didasari petunjuk dari pimpinan jamaah Masjid Aolia, KH Raden Ibnu Hajar Sholeh atau yang biasa dikenal dengan nama Mbah Benu. Mereka melaksanakan salat Id’ sekitar pukul 06.58 WIB, dilanjutkan mendengarkan khotbah, dan diakhiri saling bersalam-salaman.
Tampak sejumlah personel Polri, TNI, serta Banser melakukan pengamanan di kawasan itu. Usai memimpin salat Id’, Imam Jamaah Masjid Aolia, Mbah Benu berpesan agar masyarakat terus merawat persatuan dan kerukunan satu sama lain.
“Saling rukun, jaga persatuan dan kesatuan dengan siapa saja,” ujar pria berusia 82 tahun itu, seperti dikutip dari ANTARA.
Dia meminta jamaahnya tak mudah menyalahkan orang lain, termasuk soal perbedaan penetapan Hari Raya Idulfitri.
“Jangan menyalahkan orang. Ya kalau salah, tapi kalau benar malah dia yang untung kita yang jadi tertuduh,” ujar dia.
Berdasarkan ‘Keyakinan’
Penetapan Idulfitri lebih awal oleh para jemaah di sana berdasarkan keyakinan spiritual Mbah Benu selaku pimpinan jamaah. Selain merayakan Idulfitri lebih awal, mereka juga memulai puasa Ramadan sejak 7 Maret 2024.
Dukuh Panggang III Agung mengatakan jamaah Masjid Aolia sudah ada sejak lama dan hidup berdampingan dengan masyarakat lainnya di dusun setempat.
Perbedaan awal Ramadan dan 1 Syawal antara jamaah Masjid Aolia dengan masyarakat lainnya sudah biasa dan hingga saat ini tidak pernah menimbulkan perpecahan.
“Tidak pernah ada gesekan. Sebelum saya lahir sudah ada (Jamaah Masjid Aolia),” kata dia.
Kepala Bidang Urusan Agama Islam (Urais) Kantor Wilayah Kementerian Agama DIY Jauhar Mustofa menuturkan Jamaah Masjid Aolia pada dasarnya memiliki amalan atau tata cara beribadah layaknya warga Muslim pada umumnya.
Hanya saja, dalam penetapan awal Ramadan dan 1 Syawal mereka memiliki keyakinan atau prinsip sendiri, tanpa menggunakan metode hisab maupun rukyat.
“Mereka punya dalil sendiri yang itu diyakini oleh pemimpinnya, Pak Ibnu dan pengikutnya,” kata dia.
Menurut Jauhar, Kemenag DIY tidak dapat memaksa mereka mengikuti aturan yang selama ini telah ditentukan pemerintah.
“Meskipun tahun ini agak mencolok karena bedanya sampai lima hari. Ini sangat-sangat mencolok. Kalau biasanya kan hanya (selisih) satu dua hari, tapi tahun ini memang agak mencolok sehingga memang menjadi perhatian,” kata dia.
Menurut dia, Kemenag DIY bakal terus melakukan pendekatan dan silaturahmi dengan pemimpin jamaah itu melalui KUA maupun Kemenag kabupaten. “Agar saling silaturahmi antara pemerintah dan ulama tetap terjaga,” ujar Jauhar.