Budaya Pop

88rising Tak Bisa Lari dari Konsekuensi Kehidupan Nyata

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Semisal kamu berpikir berkibarnya 88rising terdengar seperti mimpi siang bolong, kamu tidak sendirian. Ia bermula sebagai proyek nekat seorang bocah gaul yang tidak kelar kuliah, dan berkembang jadi rumah untuk nama-nama mentereng seperti Kris Wu, Rich Brian, Niki Zefanya, Higher Brothers, serta Joji.

Festival garapan mereka, Head in the Clouds, telah dua kali diselenggarakan di Amerika Serikat dan dihadiri puluhan ribu orang. Head in the Clouds tadinya akan melipir ke Jakarta akhir pekan (7/3) ini–kali pertama diselenggarakan di luar negeri. Meski pada akhirnya festival edisi Jakarta terpaksa ditunda akibat Coronavirus, euforia 88rising telah terasa sejak jauh-jauh hari. Dengan harga tiket jutaan rupiah sekalipun, acara tersebut sold out. Kini, mereka berhasil merebut perhatian publik mancanegara dan jadi salah satu kolektif hip hop paling diperhitungkan.

Namun, pada mulanya tidak begitu. Lebih dari satu dekade lalu, Sean Miyashiro, pendiri 88rising, memutuskan cabut dari kampus dan berkonsentrasi pada pekerjaannya sebagai manajer band dan pengorganisir konser di kancah musik independen California, Amerika Serikat. Ia kemudian dikenal sebagai salah satu pemrakarsa THUMP, situs musik yang dikelola oleh Vice.

Pada 2015, ia angkat kaki dari THUMP bermodalkan pengalaman di industri musik, koneksi luas, dan satu pertanyaan: bagaimana caranya pemuda Asia-Amerika sepertinya bisa merasa keren? Dalam sebuah wawancara, ia berkisah bahwa semasa mudanya, orang Asia-Amerika sepertinya cenderung tak ingin cari gara-gara dan tak mau menonjol sebab ngeri bahwa citra mereka sebagai komunitas akan tercoreng.

Kesuksesan komedian Margaret Cho dan musisi Jin, misalnya, diikuti dengan penuh syak wasangka oleh orang-orang Asia-Amerika, termasuk keluarga Sean. “Kami mati-matian berusaha tidak menyinggung atau melangkahi siapapun dan main aman,” tuturnya. “Padahal kalau kami merasa tidak keren, kamilah yang harus melakukan sesuatu dan mengangkat diri kami sendiri.”

Di kancah musik, barangkali satu-satunya preseden musisi Asia berhasil mengobrak-abrik industri musik Amerika adalah PSY, yang terkenal pada 2012 karena single viral “Gangnam Style”. Bagi Sean, orang-orang Asia telah terlalu lama mendekam di arus pinggir budaya populer kontemporer. Padahal dari pengalamannya sebagai manajer dan jurnalis musik, ia tahu betul bahwa talenta musik Asia berhamburan di mana-mana.

Pada 2015, gagasan ini mendorong Sean mendirikan 88rising. Sebab ia banyak mau dan punya energi berlebih, kerjaan 88rising awalnya tak jelas. Mereka mengelola karier musisi selayaknya manajemen biasa, tetapi juga memproduksi konten media macam rumah produksi. Mereka bermain-main dengan ide menjadi produsen konten dan sempat menggagas beberapa situs media yang tak dipublikasi. Meski sudah mendapat investor skala kecil, Sean masih tinggal di kos-kosan mahasiswa, ngantor dari Dunkin Donuts, dan menjawab panggilan rapat dari mobilnya.

Penyelamat mereka cuma satu: Sean Miyashiro tahu betul apa yang bisa bikin suatu musisi jadi keren. Formulanya jelas. Ia akan berkenalan dengan seorang musisi muda yang bertalenta secara musikal, punya gaya fesyen khas, dan jagoan menapaki jagad media sosial. Kemudian ia akan mempertemukan karya sang musisi muda dengan artis hip hop Amerika Serikat yang punya kredibilitas tinggi atau terkenal di ranah independen.

Tiba-tiba, artis-artis garapannya tak hanya dapat perhatian lebih. Mereka dicitrakan sebagai musisi yang berbahaya, dihormati oleh artis-artis dengan bobot kekaryaan tinggi, dan punya potensi jadi viral.

Eksperimen pertamanya adalah Keith Ape, rapper asal Korea Selatan yang ia temui pada 2015. Dengan muka bangor, tato bertebaran, dan estetika amburadul, ia tampak seperti calon bintang di lanskap hip hop yang didominasi subgenre trap. Tenar akibat lagu “It G Ma”, Sean langsung didapuk jadi manajer Keith Ape. Tak lama kemudian, Sean mengajak rapper pilih tanding seperti Waka Flocka, ASAP Ferg, dan Father untuk turut serta dalam remix lagu “It G Ma”.

Jurus serupa ia lakukan kepada Kris Wu. Sebetulnya, Wu bukan bocah ingusan yang ditemukan Sean di internet. Kris Wu sudah jadi aktor dan musisi megabintang di negara asalnya, Cina. Tetapi ia kesulitan menembus pasar Amerika Serikat dan mulai jengah dengan industri musik di negaranya sendiri. Ketika Wu menghubungi Sean, manajemennya memelas ingin Wu tampil di acara televisi gede seperti Good Morning America.

Usul ini ditolak mentah-mentah oleh Sean. Ia tahu bahwa agar Wu dihormati sebagai musisi dan rapper, ia harus mengejar audiens akar rumput, berkolaborasi dengan rapper yang sedang naik daun (bukan rapper yang sudah jadi), dan muncul di publikasi hip hop macam XXL Magazine. Formulanya terbukti berhasil. Kris Wu merilis lagu “Deserve” yang menampilkan rapper muda Travis Scott, dan sukses jadi artis asal Cina pertama yang memuncaki tangga lagu rap iTunes.

Melalui caranya mendongkrak nama Kris Wu dan Keith Ape, peta yang dijabarkan Sean terang benderang. Ia ingin rapper Asia didikannya mendompleng subgenre dan gaya yang tengah naik daun. Seperti ditulis The New Yorker, artis-artis 88rising “kerap meminjam istilah budaya kulit hitam, tetapi dengan cara yang berjarak dengan akar musik tersebut di jalanan dan kemelaratan.” Meski merayakan identitas Asia dan segala suka dukanya, lirik serta gaya artis 88rising lebih erat dengan arus bebas internet, di mana “pembauran budaya terjadi secara cepat, mulus, dan lepas dari konteks kesejarahan”.

Namun, secerdik-cerdiknya 88rising mengenalkan dunia pada angkatan baru musisi hip hop dan R&B, identitas Asia menjadi kunci kesuksesan sekaligus kendala utama. Dualitas ini nampak dalam kesuksesan Rich Brian, rapper muda asal Indonesia yang tenar gara-gara lagunya, “Dat Stick”.

Dunia melihat gaya slengean Rich Chigga, nama panggung Brian kala itu, dan liriknya yang menggambarkan kekerasan berlebihan dan berkonklusi bahwa ini cuma parodi. Ia merayakan sekaligus mengejek budaya hip hop yang sarat kekerasan dan machismo. Namun, Sean cerdik. Ia telah lama mengikuti Brian di media sosial Vine dan tahu bahwa bocah ini dibesarkan oleh selera humor kelam dan blak-blakan khas internet. Lebih penting lagi, Sean tahu bahwa diam-diam Brian seorang rapper yang beneran bertalenta dan punya visi menjadi musisi serius.

Ceritanya menarik: Brian tadinya ingin merilis lagu bertema serupa dengan tajuk “Hold My Strap”, lagi-lagi dengan lirik yang memparodikan kultur kekerasan dan gangster. Sean tidak setuju. Ia paham bahwa kehadiran bocah Indonesia yang pakai nama Chigga dan menyebut kata N di liriknya telah menyulut kontroversi. Ketimbang memperparah perdebatan atau menghindari perkara, ia memutuskan untuk menghadapi percakapan sulit tersebut dengan kepala tegak.

88rising mengumpulkan rapper kawakan seperti Flatbush Zombies, 21savage, Desiigner, dan Ghostface Killah dan meminta mereka bikin video reaksi terhadap “Dat Stick”. Hanya dengan satu video, Sean sukses melakukan tiga hal sekaligus. Ia mengenalkan Brian kepada audiens luas dan fans hip hop, ia menerjang kontroversi terkait nama dan lirik Brian, dan ketika para rapper senior ini ternyata suka lagunya, 88rising sukses mencitrakan Brian sebagai bakal rapper serius. Dalam bulan-bulan berikutnya, 21savage dan Ghostface Killah berkolaborasi dengan Brian dan dunia rap mendadak dapat pemain baru.

Persoalannya, percakapan tentang lirik dan nama Brian tetap berseliweran dan mereka tak dapat mengelak dari kenyataan sederhana: mau tidak mau, Brian harus mengalah. Tidak ada trik kehumasan atau lagu brilian yang bisa menangkal fakta bahwa menamai dirimu sendiri dengan imbuhan -igga dan menyanyikan kata N di lagumu sementara kamu tidak ada kaitannya dengan budaya kulit hitam sama sekali tidak patut dilakukan, apalagi di Amerika Serikat. Akhirnya, nama panggungnya berganti jadi Rich Brian. Berdasarkan kesuksesannya dan dua album apik yang kemudian diluncurkan Brian, kita dapat bilang bahwa ini keputusan tepat.

Nasib mujur serupa tidak dialami Kris Wu. Pada Januari 2018, ia sedang pongah sebab 88rising akan merilis proyek mentereng: sebuah lagu anyar bertajuk “18” yang menampilkan Wu bersama Joji, Rich Brian, produser tenar Baauer dan rapper Trippie Redd. Hanya berselang beberapa hari sebelum lagu tersebut rilis, 88rising tersandung kontroversi karena karya visual lawas yang dulu pernah dipakai untuk promosi. Pangkal masalahnya: gambar tersebut menampilkan bendera dari berbagai negara Asia, termasuk Tibet.

Ini masalah besar buat Wu. Pemerintah Cina tak pernah mengakui kemerdekaan Tibet, dan jika artis kelas dunia macam Bjork saja bisa dicekal dari Cina gara-gara mendukung Tibet merdeka, apalagi artis domestik macam Wu. Kontan, 88rising diserang dengan tuduhan menyimpan sentimen anti-Cina.

Petaka bertambah ketika pemerintah Cina mulai lebih gigih menyensor lirik-lirik musisi hip hop setelah kesuksesan ajang pencarian bakat “The Rap of China”. 88rising akhirnya merilis “18” tanpa promo gede-gedean, dan lagu yang harusnya jadi hits berujung biasa-biasa saja. Sejak saat itu, Wu dan 88rising tak pernah bekerjasama lagi.  Insiden Rich Brian dan Kris Wu menunjukkan bahwa meski 88rising pandai mencari jalan menuju kesuksesan, mereka tetap tak mampu menyiasati jarak antara kebudayaannya sendiri dan kebudayaan yang ingin mereka ikuti.

Terbaru, upaya mereka “pulang kampung” ke Asia terpaksa gagal akibat perkara genting: Coronavirus. Head in the Clouds Festival Jakarta semestinya menjadi bukti sahih kesuksesan artis-artis 88rising. Terbukti bukan sekadar jagoan kandang, kini mereka akan pulang ke tanah asalnya dan merayakan kesuksesan mereka bersama-sama.

Namun, tak sedikit kendala yang menerpa. Hanya sepekan jelang acara, Chungha, salah satu penampil Heads in the Clouds, terpaksa batal berangkat ke Jakarta. Dua orang staff artis asal Korea Selatan itu terpapar virus COVID-19, dan seluruh timnya dikarantina. Sehari kemudian (2/3), Indonesia mengumumkan dua kasus COVID-19 pertama.

Hari itu juga, tersiar kabar bahwa festival Head in the Clouds ditunda sampai waktu yang belum ditentukan. Dalam siaran pers, Sean Miyashiro menyampaikan: “Prioritas kami adalah kesehatan dari semua fans kami di seluruh Indonesia,” sementara Edi Taslim, CEO dari KASKUS selaku penyelenggara festival, menyatakan bahwa tanggal baru festival tersebut akan diumumkan “sejalan dengan perkembangan situasi yang ada.”

Dengan 88rising, Sean Miyashiro dan kawan-kawan berhasil mewujudkan mimpi yang lama terpendam. Namun seiring dengan kesuksesan, tanggungjawab mereka bertambah berat pula. Apropriasi budaya, politik kelas wahid, hingga wabah mematikan mesti mereka hadapi dalam perjalanan mereka ke puncak. Sederhananya, sejauh-jauhnya 88rising melangkah, masalah yang mereka hadapi tetap saja masalah-masalah khas Asia.

Share: 88rising Tak Bisa Lari dari Konsekuensi Kehidupan Nyata