General

WNI Pilih Berobat ke Luar Negeri Imbas Belum Ada Kepercayaan Publik

Tesalonica — Asumsi.co

featured image
ilustrasi/ANTARA FOTO/Fauzan

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat mengungkap kurang lebih 2 juta masyarakat Indonesia pergi ke luar negeri untuk menjalani pengobatan setiap tahunnya. Akibatnya, Indonesia mengalami potensi kerugian hampir Rp100 Triliun.

Masih Belum Merata

Melansir situs Penabulu Foundation, kesehatan masyarakat dinilai sangat penting dalam mengupayakan peningkatan kualitas sumber daya manusia, penanggulangan kemiskinan, dan pembangunan ekonomi. Bahkan, kesehatan adalah komponen paling utama dari sektor pendidikan dan pendapatan.

Lebih lanjut, terdapat faktor yang mempengaruhi kondisi umum kesehatan Indonesia antara lain ialah, faktor lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan. Terkait pelayanan kesehatan juga dibagi lagi menjadi beberapa komponen, yakni ketersediaan dan kualitas fasilitas kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan, tenaga kesehatan, pembiayaan dan manajemen kesehatan.

Di Indonesia, ada fasilitas pelayanan kesehatan dasar, yakni Puskesmas yang diperkuat dengan Puskesmas Pembantu dan Puskesmas Keliling. Bahkan, puskesmas itu telah didirikan di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Sayangnya, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan masih menjadi kendala. Perbaikan sistem penganggaran pelayanan kesehatan dan perbaikan tata kelola layanan kesehatan menjadi poin penting dalam upaya perbaikan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia di masa mendatang.

Personalisasi Layanan Kesehatan Indonesia Rendah

Data dari Personalized Healthcare Index mencatat Indonesia masih berada di peringkat ke-11 dari 11 negara dalam bidang personalisasi layanan kesehatan di Asia-Pasifik. Survei itu diambil atas inisiatif FutureProofing Healthcare oleh panel 15 ahli kesehatan terkemuka di Asia-Pasifik.

Melansir Kompas.com, Principal Research Fellow Eijkman Research Center for Molecular Biology, National Research, and Innovation Agency Herawati Sudoyo mengungkap hasil indeks personalisasi layanan kesehatan itu meliputi empat pilar, yakni informasi kesehatan, layanan kesehatan, teknologi yang dipersonalisasi, dan konteks kebijakan.

Empat pilar ini menggambarkan kalau Indonesia hingga saat ini masih berada pada tahap awal transisi ke personalisasi layanan kesehatan, sehingga masih ada kesenjangan pada akses dan kualitas kesehatan antara perkotaan dan pedesaan.

Sebagai informasi, personalisasi layanan kesehatan menyatukan ilmu kedokteran, teknologi digital, dan ilmu data, sehingga fokus utama dalam hal ini adalah pasien.

Seluruh orang memiliki akses kesehatan yang lebih baik dengan biaya yang relatif rendah dengan hadirnya personalisasi layanan kesehatan. Terutama, hal ini menciptakan sistem pelayanan kesehatan yang berkelanjutan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan kesehatan, inovasi dalam perawatan kesehatan, dan infrastruktur yang semakin signifikan.

Lambat Berkembang

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahandiansyah menilai masyarakat Indonesia kerap berobat ke luar negeri, karena pelayanan kesehatan di Indonesia dari waktu ke waktu tidak mengalami peningkatan signifikan, atau cenderung lambat.

“Pelayanan kesehatan di Indonesia perkembangannya lambat, sehingga tidak kompetitif dengan layanan di Singapura, Malaysia, dan Jepang,” kata Trubus kepada Asumsi.co, Selasa (28/12/21).

Selain itu, Trubus menilai tidak adanya aturan memperbolehkan tenaga kesehatan luar negeri untuk berkontribusi dalam layanan kesehatan di Indonesia. Padahal, menurutnya, faktor ini dapat menunjang kualitas layanan kesehatan yang memadai.

“Faktor lainnya, sumber masalah layanan kesehatan di Indonesia adalah teknik tata kelola yang kurang memadai,” ujar Trubus.

Trubus turut menyinggung digitalisasi layanan kesehatan yang perlu melakukan pemerataan ke berbagai sektor wilayah. Trubus menilai kebijakan ini hanya ada pada layanan kesehatan swasta, tidak dengan rumah sakit pemerintah.

Larangan Berobat ke Luar Negeri

Menurut Trubus perlu adanya aturan larangan berobat ke luar negeri tidak hanya untuk masyarakat, tetapi pejabat juga. Berangkat dari aturan itu, Trubus menyoroti sikap pejabat dan mantan pejabat yang masih berobat ke luar negeri seperti Presiden Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono.

Sebagai informasi, SBY sempat menjalani pengobatan di National University Hospital, Singapura. Sebelumnya, SBY memang terdiagnosis menderita kanker prostat stadium awal.

Sehingga, Trubus menilai langkah mendorong pejabat menghentikan pengobatan ke luar negeri dapat mengurangi mobilitas WNI untuk berobat di luar wilayah Indonesia.

Belum Ada Kepercayaan Publik

Secara terpisah, Ketua Ombudsman RI Mokh Najih melihat sebetulnya layanan kesehatan publik di Indonesia sudah relatif baik, tetapi tingkat kepercayaan publik belum meningkat

“Aspek kepercayaan masyarakat terhadap layanan kesehatan masih rendah, sebab dipengaruhi oleh metode dan alat yang belum canggih. Metode layanan yang terlalu prosedural dan sistem layanan yang kurang nyaman menjadi faktor masalah terhadap kepercayaan publik untuk sehat,” kata Najih kepada Asumsi.co, Selasa (28/12/21).

Selain itu, jumlah SDM yang belum memadai juga menjadi faktor masalah. Beberapa tenaga dokter spesialis di RSUD atau RS swasta belum lengkap. Menurutnya, RS belum mampu menjangkau seluruh masyarakat Indonesia.

Lebih lanjut, Najis menilai jumlah penduduk dan sebaran yang luas ini memerlukan peta jalan atau roadmap untuk kebutuhan terencana yang baik. Ketidakpastian pandemi COVID-19 ini makin membuka realitas tersebut. (zal)

Baca Juga:

Jokowi: Jangan Lagi Masyarakat Berobat ke Luar Negeri

Jokowi Mau Indonesia Tak Ketergantungan Produk Obat Asing

Survei SMRC: 71 Persen Publik Puas Kinerja Jokowi, Pemulihan Ekonomi Dinilai Moncer

Share: WNI Pilih Berobat ke Luar Negeri Imbas Belum Ada Kepercayaan Publik