Polres Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT) menangkap delapan pengungsi etnis Rohingya di Desa Takirin, Kecamatan Tasifeto Timur pada Minggu (10/12/2023). Mereka berangkat dari Bangladesh ke Malaysia, kemudian menuju Medan dan berakhir di NTT.
Bahkan, para pengungsi tersebut fasih berbahasa Indonesia dan mempunyai kartu tanda penduduk (KTP) dengan alamat di berbagai kabupaten di NTT. KTP tersebut dibuat di Medan, Sumatra Utara, dengan membayar Rp300.000 per orang. Kedelapan warga negara asing (WNA) tersebut tiba di NTT untuk mencari pekerjaan dan bukan pengungsi Rohingya yang kabur dari Aceh.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menganggap birokrasi di Indonesia kecolongan.
“Tetapi saya termasuk orang yang sangat menyesalkan sampai terjadi. Dan itu berarti birokrasi kita itu telah kecolongan dengan kasus itu,” ujar Muhadjir dalam keterangannya, Senin (18/12/2023).
Ia curiga sudah banyak pengungsi etnis Rohingya yang melakukan naturalisasi secara diam-diam. Kata dia, pemerintah harus tegas meminta pertanggungjawaban kepada United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR).
Ia meminta UNHCR segera mencarikan tempat bagi para pengungsi. Apalagi, baru-baru ini, sudah ada upaya penyelidikan dugaan pidana perdagangan orang dari banyaknya pengungsi Rohingya yang masuk ke Indonesia.
“Dan ini saya kira tidak boleh terjadi karena bagaimanapun kedatangan para pengungsi Rohingya ini adalah kedatangan yang tidak kita kehendaki. Dan kita tidak memiliki keterikatan dengan UNHCR untuk menampung dia sebagai status pengungsi,” tutur Muhadjir.
Baca Juga:
KPK Bakal Usut Temuan PPATK Terkait Transaksi Mencurigakan di Pemilu 2024