Isu Terkini

Dosen Terlibat Pelecehan Seksual, Antara Pendidikan dan Moral Tak Seimbang

Tesalonica — Asumsi.co

featured image
Ilustrasi/Istockphoto

Beberapa bulan belakangan ini media sosial terus digemparkan dengan kasus-kasus kekerasan atau pelecehan seksual di dunia pendidikan. Bahkan, pelaku adalah sosok yang seharusnya dijadikan sebagai panutan seperti dosen.

Parahnya, korban dari kasus tersebut adalah mereka yang masih memiliki masa depan menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Terlihat tindakan kekerasan atau pelecehan seksual dapat terjadi kepada siapapun tanpa pandang bulu.

Ironisnya, beberapa dosen yang memiliki status pendidikan yang tinggi, namun ternyata moral mereka anjlok dan kerap melakukan aksi bejatnya kepada korban. Pelaku seolah tidak peduli dirinya siapa dan di mana bisa melakukan tindakan tidak terpuji tersebut.

Padahal untuk menjadi seorang dosen, setidaknya perlu menempuh pendidikan hingga level master atau S-2. Peristiwa tersebut seolah-olah memberi cambuk dan pembelajaran bagi semua pihak, kalau sebenarnya tenaga pendidik atau seseorang yang telah mengenyam pendidikan tinggi belum tentu memiliki moral atau sikap yang baik.

Peribahasa mengatakan seperti padi, makin berisi makin runduk, seharusnya manusia yang menempuh pendidikan, semakin tinggi pendidikannya moral atau perilakunya juga seharusnya semakin baik dan rendah hati.

Kampus Tak Lagi Aman

Satu persatu kasus pelecehan yang dilakukan dosen kepada mahasiswinya terungkap. Bahkan, kasus yang terungkap ini dianggap barulah puncak dari gunung es. Kampus yang seharusnya menjadi tempat menimba ilmu, justru menjadi tempat yang tidak aman lagi, khususnya bagi para kaum perempuan.

Mahasiswi Universitas Sriwijaya (Unsri) berinisial DR mendapat perlakukan tidak mengenakan dari dosennya yang berinisial AR, dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unsri. Ia dilaporkan mencabuli DR dengan mencium, meraba, namun tidak sampai berhubungan badan dengan korban.

Lebih parah lagi, AR melakukan aksi tidak senonohnya itu ketika tengah menjalankan bimbingan skripsi.

Kasus serupa juga terjadi di Universitas Riau (Unri). Mahasiswi Unri berinisial L mengaku mengalami pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh dosen pembimbingnya, yakni Syafri Harto.

Korban yang sebagai mahasisiwi jurusan Hubungan Internasioanl Unri itu tengah menjalankan bimbingan skripsi dengan SH. Namun, SH semakin lama menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi hingga menyentuh korban.

Bahkan, SH menggenggam bahu, memegang kepala, dan mencium pipi kiri serta kening korban ketika hendak berpamitan. Sontak korban tidak nyaman dan segera mendorong SH berupaya kabur melarikan diri keluar dari kampus.

Tak hanya secara langsung, pelecehan seksual juga bisa dilakukan dengan medio aplikasi percakapan WhatsApp. Seorang dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) berinisial DA diduga melakukan aksinya melalui pesan rayuan atau sexting.

DA dilaporkan kerap melakukan hal itu kepada banyak mahasiswi sejumlah 10 orang. Bahkan, sebagian besar korban merupakan alumni. Salah satu korban yang berinisial A melaporkan ketika ia mengirim pesan kepada DA untuk bimbingan skripsi, pelaku malah mengirimkan pesan rayuan seperti “I love you”, “Slamat malming (malam minggu) yg indah”, “Sayangku”, hingga ajakan untuk menikah.

Miris, tenaga pendidik yang seharusnya menjadi pembimbing bagi pelajarnya untuk mengajarkan bagaimana memiliki perilaku dan pendidikan yang baik, justru sebaliknya tidak sesuai. Komisi Nasional Perempuan mencatat telah terjadi sekitar 27 persen aduan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus sejak 2015 hingga 2020.

Pada 2019, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melakukan survei dengan hasil 15 persen kejadian tindak kekerasan seksual terjadi di kampus, menjadi kampus berada di urutan ketiga lokasi terbanyak terjadinya tindak kekerasan seksual.

Perlu Evaluasi dan Refleksi Nilai Moral

Pengamat pendidikan Doni Koesoema menilai kedewasaan moral dapat terlihat dari bagaimana seseorang berjuang untuk menghidupi nilai-nilai moral dengan mengevaluasi dan merefleksikannya sehari-hari.

“Jika seseorang tidak mengevaluasi atau merefleksikan kehidupan moralnya, maka ia tidak akan beranjak menjadi manusia yang lebih baik,” ujar Doni kepada Asumsi.co, Selasa (14/12/21).

Doni mengajak seluruh pihak untuk mendorong tiap individu dalam merefleksikan serta mengevaluasi moralnya menjadi lebih baik. Doni menilai faktor usia terkadang tidak menentukan kualitas moral yang dimilikinya.

“Bisa jadi anak muda sudah punya perspektif moral bagus, justru yang sudah tua hingga pensiun tetap saja tidak beranjak dari moral yang tidak baik. Intinya bagaimana kedewasaan moral dari seseorang, bukan sekadar usia,” ucap Doni.

Founder Pendidikan Karakter Education Consulting itu juga melihat pendidikan tinggi tidak menentukkan tingkat moral yang dimiliki oleh individu.

Pendidikan Tak Melulu Soal Materi

Secara terpisah, Pengamat Sosial Devie Rahmawati kepada Asumsi.co menilai pendidikan seharusnya tidak hanya mempelajari soal materi kejuruan, namun etika dan moral juga. Bahkan, pemahaman tentang kekerasan seksual seringkali dianggap hanya pemerkosaan.

Padahal, tindakan bersiul, menghina, dan melihat pun dapat diartikan tindakan pelecehan seksual. Pemahaman inilah yang seharusnya sudah diajarkan sejak dini. Begitu pula dengan etika dan moral yang harusnya diajarkan sejak dini.

“Jika etika dan moral tidak diajarkan sejak dini, setinggi apapun pendidikannya tidak akan dibarengi dengan moral,” ucap Devie.

Devie menilai para pelaku tidak memiliki keterampilan dalam menghargai atau menghormati sesama manusia. Menurutnya, faktor-faktor yang mendorong mereka untuk bebas melakukan aksi tersebut karena lingkungan, individual, dan sosial. 

“Penting melakukan pembelajaran terhadap definisi praktik-praktik kekerasan non fisik atau fisik. Terutama, otoritas kampus harus melakukan sosialisasi terhadap warga civitas akademik,” kata Devie.

Moral Harus Diajarkan Kepada Semuanya

Bahkan, pendidikan moral tidak hanya diajarkan pada mahasiswa, namun juga karyawan, staff, atau dosen meskipun sudah jauh berpengalaman dalam dunia pendidikan.

Meskipun, otoritas kampus telah memberikan test psikologi sebelum calon dosen atau karyawan masuk menjadi anggota kampus tersebut, perlu juga bagi mereka memahami hukuman yang diperoleh bila tidak sesuai aturan yang berlaku.

Namun, Devie sekali lagi mengingatkan pihak kampus harus melakukan sosialisasi secara berkala.

“Jangan hanya sekali atau dua kali lalu selesai. Sehingga, kasus kekerasan dan pelecehan seksual dapat berkurang dan berhenti melalui sosialisasi tersebut,” pungkasnya. (zal)

Share: Dosen Terlibat Pelecehan Seksual, Antara Pendidikan dan Moral Tak Seimbang