Kepala Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana memperingatkan pemerintah untuk mewaspadai dan mengantisipasi adanya politik uang (money politics) melalui e-money dan e-wallet pada Pemilu 2024.
“Berkembangnya teknologi juga sejalan dengan berkembangnya tindak pidana ekonomi dengan information and communication technology (ICT) sebagai enabler. Salah satu dampak yang terasa di Indonesia adalah meningkatnya tindak pidana pencucian uang yang berasal dari judi online, business email compromise, pig butchering atau online scam, seperti romance scam dan ransomware, robot trading, serta potensi money politics dengan menggunakan e-money dan e-wallet,” ujar Ivan dalam PPATK 4th Legal Forum: Urgensi Regulatory Technology & Digital Evidence, yang disiarkan secara virtual, Selasa (7/11/2023)..
Menurut Ivan, perkembangan teknologi berdampak pada peningkatan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Maka, pemerintah harus mengantisipasi dampak perkembangan teknologi pada sektor ekonomi, termasuk potensi politik uang melalui e-money dan e-wallet.
“Penyalahgunaan teknologi juga perlu diantisipasi oleh pemerintah dan sektor kripto pada politik uang di tahun politik 2023 dan 2024. PPATK menilai bahwa adanya potensi money politics dengan menggunakan e-money dan e-wallet,” katanya.
Ivan menilai, rentannya politik uang melalui e-money dan e-wallet terjadi karena profil pengguna diperbolehkan tidak tertera saat transaksi. Tidak adanya informasi profil yang terverifikasi dapat menyulitkan pengawas Pemilu, intelijen, dan penegak hukum.
“Salah satu hal yang menjadi kerentanan penggunaan e-money dan e-wallet dikarenakan diperbolehkannya tidak dilakukannya know your customer atau customer due diligence terhadap transaksi dengan jumlah tertentu,” ujar Ivan.
Sebelumnya, Ivan mengatakan, sekarang sudah terjadi best of the best financial crime. Modus TPPU semakin canggih seiring perkembangan teknologi. Misalnya, TPPU melalui non-fungible token (NFT). Lalu, menyuap orang melalui metaverse.
“Bagaimana kalau saya pelaku crime dan menyuap seseorang di dalam metaverse. Bukan saya, (tetapi) avatar saya yang menyuap. Lalu, kalau mau dijadikan virtual currency, tinggal di-convert saja. Itu sudah terjadi sekarang,” katanya.
Ia mengingatkan bahaya perkembangan teknologi yang tidak dapat diikuti kemajuan di bidang hukum. “Repotnya kalau teknologi tidak bisa diikuti oleh orang-orang hukum. Kita balik lagi ke morality. Seperti jaman batu dulu, moral yang main, kan hukumnya di tulis di batu-batu. Yang repotnya lagi, moralnya tidak ada, hukumnya sudah tidak ada,” kata Ivan.