Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia saat ini masih sangat lemah. Hal ini diperparah dengan kondisi layanan yang sangat terbatas mengingat kapasitas menghadapi lonjakan pelaporan kekerasan seksual yang semakin tinggi dengan jenis kasus yang semakin kompleks.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (6/12/2021) menyampaikan, data dari Komnas Perempuan mencatat kekerasan terhadap perempuan kerap terjadi di ranah pribadi, dengan kekerasan seksual berada di tingkat kedua, yakni sebanyak 1.983 kasus atau 30 persen.
Sementara, kekerasan seksual di ranah publik dan komunitas sebanyak 962 kasus atau 55 persen. Bentuk kekerasan seksualnya meliputi perkosaan 229 kasus, pencabulan 166 kasus, pelecehan seksual 181 kasus, persetubuhan 5 kasus, dan percobaan perkosaan 10 kasus.
Kematian Tragis NWR
Andy menyebut kematian tragis Novia Widyasari Rahayu (NWR) sudah seharusnya menjadi pelajaran bagi upaya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.
Seperti diberitakan oleh Asumsi.co sebelumnya, NWR berusia 23 tahun ini ditemukan tewas di dekat makam ayahnya lantaran depresi. Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Gatot Repli Handoko melaporkan, kasus tewasnya NWR diduga karena bunuh diri dengan meminum cairan potasium.
Kasus tersebut sempat viral di media sosial. Para pengguna media sosial beramai-ramai menggunakan tagar #SaveNoviaWidyasari sebagai upaya bentuk dukungan pengusutan kasus NWR.
Kekerasan seksual yang dialami oleh NWR terjadi akibat pemerkosaan yang dilakukan anggota kepolisian di Polres Pasuruan Bripda Randy. Randy dikenal sebagai kekasih NWR dan sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Randy sempat memaksa NWR untuk melakukan aborsi selama pacaran. Diduga, Randy juga menyuruh NWR meminum obat tertentu.
Menurut Komnas Perempuan, NWR adalah korban kekerasan yang bertumpuk dan berulang-ulang dalam durasi hampir dua tahun sejak 2019. Ia terjebak dalam siklus kekerasan di dalam pacaran yang menyebabkannya terpapar pada tindak eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi.
Mirisnya, pelaku juga diketahui memiliki hubungan dengan perempuan lain, namun pelaku bersikeras tidak mau memutuskan relasinya dengan korban. Selain berdampak pada kesehatan fisik, korban juga mengalami gangguan kejiwaan yang hebat.
NWR merasa tidak berdaya, dicampakkan, disia-siakan, berkeinginan menyakiti diri sendiri dan didiagnosa obsessive compulsive disorder (OCD) serta gangguan psikosomatik lainnya.
Kekerasan dalam Pacaran
Komnas Perempuan menilai kekerasan ini terjadi dalam ranah kekerasan dalam pacaran (KDP). Dalam hal ini, Komnas Perempuan mencatat kasus KDP berada di tingkat ketiga laporan terbanyak dalam ruang privat atau personal.
Pada 2015 hingga 2020 tercatat 11.975 kasus yang dilaporkan oleh seluruh pengada layanan di hampir 34 provinsi. Selain itu, sekitar 20 persen dari total kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di ranah privat. Rata-rata terdapat 150 kasus per tahun dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan.
Namun, kasus ini kerap kali buntu diproses hukum. Faktanya, latar belakang relasi pacaran seringkali menyebabkan peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban dianggap sebagai suka sama suka. Sehingga, sering terjadi kasus pemaksaan aborsi.
Komnas Perempuan menilai kasus aborsi seringkali menjadikan pihak perempuan sebagai pelaku dan dijatuhi hukuman. Tercatat kasus NWR menjadi salah satu dari 4.500 kasus kekerasan terhadap perempuan yang diadukan ke Komnas Perempuan dalam periode Januari hingga Oktober 2021. Kasus ini meningkat dua kali lipat dibanding tahun 2020.
Tingkatkan Sarana Konseling
Dalam kesempatan yang sama, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengungkap NWR sempat menemui Komnas Perempuan. Faktanya, NWR telah berkonsultasi dengan dua lembaga bantuan hukum di daerahnya.
NWR juga disarankan untuk segera melaporkan tindakan pelaku ke Propam dan Komnas Perempuan pada pertengahan Agustus 2021. Komnas Perempuan pun berhasil menghubungi NWR pada 10 November 2021 untuk memperoleh informasi secara utuh dari peristiwa yang dialami, kondisi, serta harapannya.
Ia juga berharap masih bisa dimediasi dengan pelaku serta orang tua dan membutuhkan pertolongan konseling karena dampak psikologi yang dialaminya. Namun, Siti mengungkap kapasitas psikolog saat itu terbatas.
“Karena kapasitas psikolog yang terbatas dan jumlah klien yang banyak maka penjangkauan tidak dapat dilakukan sebanyak yang dibutuhkan, tetapi juga sudah dilakukan dan dijadwalkan kembali di awal Desember,” katanya.
Apa daya, takdir berkata lain. NWR memutuskan mengakhiri hidupnya pada 2 Desember 2021.
Berangkat dari peristiwa itu, Komnas Perempuan akan terus melakukan penguatan sistem dalam menyikapi jenis-jenis layanan pengaduan korban seperti verifikasi kasus, pencarian lembaga rujukan, hingga pemberian rekomendasi.
Menurutnya, para aparat penegak hukum, pemerintah, legislatif, dan masyarakat perlu mengambil peran penting mendorong pemberantasan kekerasan seksual di Indonesia. Sehingga, Komnas Perempuan berkomitmen untuk berjuang demi keadilan korban atas nama kemanusiaan.
Segera Sahkan RUU TPKS
Komnas Perempuan menilai kasus NWR dapat menjadi momentum dalam mendorong pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Menurutnya, negara segera ambil sikap untuk membenahi diri termasuk menyegerakan pengesahan RUU TPKS dan mengembangkan ekosistem dukungan pemulihan bagi korban di tingkat nasional.
“Kasus ini merupakan alarm keras pada kondisi darurat kekerasan seksual di Indonesia yang membutuhkan tanggapan serius dari aparat penegak hukum, pemerintah, legislatif dan masyarakat,” kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani.
Komnas Perempuan menilai semua pihak perlu turut mendorong pengesahan RUU TPKS, dengan memberikan dukungan bagi lembaga pengada layanan dan individu pendamping korban kekerasan khususnya kekerasan seksual.
Komnas Perempuan juga ingin mematahkan stigma budaya menyalahkan perempuan sebagai korban kekerasan. Lebih lanjut, pihak kepolisian juga perlu mengambil langkah-langkah tegas untuk menyikapi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.
Dalam kasus NWR yang mana pelakunya justru adalah anggota kepolisian. Pihak kepolisian telah menindak tegas Bripda RB, melalui pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Selain itu, oknum tersebut juga akan diproses pidana sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya.
Komnas Perempuan mencatat hukuman dari kepolisian tidak boleh terbatas dengan demosi seperti pelucutan jabatan atau penghentian keanggotaan. Komnas Perempuan juga mendorong proses hukum dan pemulihan korban secara adil. (zal)
Baca Juga: