Isu Terkini

Hari Disabilitas dan Banyaknya Masalah Hak yang Tak Kunjung Selesai

Irfan — Asumsi.co

featured image
null

Tanggal 3 Desember diperingati sebagai Hari Disabilitas Internasional. Peringatan ini diproklamirkan pada tahun 1992 oleh Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk mempromosikan hak dan kesejahteraan penyandang disabilitas di semua bidang masyarakat.

Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 2006, pasal-pasal Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) diadopsi PBB. Pada prinsipnya, CRDP mengedepankan hak dan kesejahteraan penyandang disabilitas dalam implementasi Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan.

Tujuan utamanya meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas dalam masyarakat, mengakhiri diskriminasi dan menciptakan kesempatan yang sama untuk mereka.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut Hari Disabilitas Internasional merupakan momen tepat untuk mengampanyekan pentingnya kesetaraan akses bagi penyandang disabilitas. Dalam situs resminya, WHO menyebut ada lebih dari 1 miliar orang di dunia yang mengalami disabilitas.

WHO melaporkan jumlah penyandang disabilitas meningkat dari tahun ke tahun dengan berbagai sebab. Meski penyakit bukan menular, disabilitas bisa disandang siapa saja termasuk kita.

Sayangnya, peningkatan jumlah penyandang disabilitas masih belum diimbangi dengan program-program untuk mereka agar mendapatkan layanan kesehatan yang baik.

Kondisi di Indonesia

Hampir tiga dekade Hari Disabilitas Internasional diperingati, sudahkan peringatan ini memberi dampak positif bagi pemenuhan hak disabilitas dunia terkhusus Indonesia?

Kepada Asumsi.co, Hari Kurniawan dari Lembaga Bantuan Hukum Disabilitas mengatakan, peringatan Hari Disabilitas Internasional cukup memberi dampak. Di Indonesia, kata Hari, sebenarnya sudah banyak angin segar yang diberikan pemerintah melalui berbagai kebijakan untuk memenuhi hak disabilitas.

Namun, hal itu belum maksimal. Menurut Hari, banyak langkah yang dilakukan pemerintah baru sebatas menggugurkan kewajiban saja. Sementara implementasi menyejahterakan penyandang disabilitas belum merata.

“Dalam banyak aspek, penyandang disabilitas masih mendapatkan stigmatisasi dan diskriminasi,” kata Hari, Jumat (3/12/2021).

Dalam isu penegakan hukum, misalnya, dia mengatakan banyak penyandang disabilitas masih kerap mengalami ketidakadilan. Begitu pun dengan peraturan yang tidak berpihak pada disabilitas.

Dia mengambil contoh soal pendidikan. Penyandang disabilitas, masih sulit mengakses pendidikan yang inklusif.

“Ini bukti kalau kami masih sering mendapat diskriminasi dalam memenuhi hak dasar kami,” kata Hari.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. ANTARA/HO

Di Masa Pandemi

Penyandang disabilitas juga banyak mendapat diskriminasi saat pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu. Menurut Hari, banyak penyandang disabilitas kebingungan mendapatkan akses kesehatan. Itu biasanya terjadi karena tidak semua rumah sakit menyediakan asisten bagi mereka.

“Persoalan untuk menyediakan care-giver ini bagian penting untuk pemerintah. Selama ini (care-giver) kan ditangani sendiri (oleh penyandang), tapi tidak semua mampu membayar kan. Biasanya keluarga, tetapi kalau keluarganya positif Covid, siapa yang mau jadi care-givernya?” ucap dia.

Hari juga menemukan laporan adanya pencatutan nama penyandang disabilitas untuk menerima bansos Covid-19. Padahal, laporan yang ia dapatkan dari 10 penyandang disabilitas di Surabaya itu, tidak pernah didata dan tidak pernah mendapatkan bansosnya.

Di bidang ketenagakerjaan pun kurang lebih sama. Meski ada kuota untuk penyandang disabilitas, mereka kerap ditempatkan di posisi yang tidak sesuai dengan posisi yang mereka lamar. Seolah-olah penyandang disabilitas tidak berdaya untuk mengerjakan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan akademiknya.

“Ini yang saya sebut masih berusaha menggugurkan kewajiban saja. Sisi positifnya memang banyak peraturan yang memberi angin segar pada penyandang disabilitas. Tetapi pemahaman pada pemenuhan hak disabilitas masih kurang. Pendekatannya masih medis, padahal mestinya pendekatan Hak Asasi Manusia yang digunakan,” kata Hari tegas.

Kondisi ini diperburuk oleh adanya pernyataan Menteri Sosial Tri Rismaharini yang memaksa seorang anak disabilitas tunarungu untuk berbicara. Menurut Hari, hal ini menunjukkan setidaknya dua ironi.

Yang pertama, ironi seorang pejabat negara yang seperti tidak punya empati. Sementara yang kedua, pejabat negara itu adalah Menteri Sosial yang mestinya paham bagaimana penyandang disabilitas.

“Dia malah mengeluarkan pernyataan seperti ini. Ini kan tindakan yang tidak bisa dibenarkan,” kata Hari.

Sebelumnya, Tri Rismaharini dikritik seorang penyandang tunarungu karena memaksa anak tuli berbicara di depan banyak orang saat peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI) 2021.

Komite Harus Independen

Di tanggal 1 Desember 2021 kemarin, Presiden Jokowi juga membentuk Komisi Nasional Disabilitas (KND). Ini tentu menjadi harapan baru bagi pemenuhan hak-hak disabilitas.

Namun, Hari berpesan agar KND tidak hanya menjadi corong pemerintah. KND harus mampu bergerak independen agar pemahaman atas pemenuhan hak disabilitas di Indonesia bisa dibenahi lebih baik lagi.

“Sudah saatnya KND bekerja untuk mengontrol pemenuhan hak disabilitas. Jangan dibiarkan presden buruk bahwa pendekatan pemerintah masih biomedikal model. Ini kemuduran,” kata Hari.

Jokowi sudah melantik 7 orang sebagai anggota KND. Mereka terdiri atas empat komisioner dengan disabilitas dan tiga komisioner non-non-difabel.

KND memiliki beberapa peran di antaranya, menyusun rencana kegiatan dalam upaya pelaksanaan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas, memantau dan mengevaluasi, mengadvokasi, dan melakukan kerjasama dengan pemangku kepentingan dalam penanganan isu penyandang disabilitas.


Baca Juga

Share: Hari Disabilitas dan Banyaknya Masalah Hak yang Tak Kunjung Selesai