Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merilis sepuluh provinsi yang dinilai, berpotensi memiliki kerawanan netralitas aparatur sipil negara (ASN) dalam gelaran Pemilu 2024.
Anggota Bawaslu Lolly Suhenty mengatakan, alasan pihaknya merilis daftar tersebut supaya aparat dan pihak-pihak terkait siaga dalam menentukan langkah yang tepat, dalam menyikapinya.
Ia mengungkapkan, kesepuluh provinsi itu adalah Maluku Utara (Malut), Sulawesi Utara (Sulut), Banten, Sulawesi Selatan (Sulsel), Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Timur (Kaltim), Jawa Barat, Sumatera Barat (Sumbar), Gorontalo, dan Lampung.
“Inilah posisi provinsi yang kerawanannya tinggi, maka pada sepuluh provinsi ini pastikan upaya pencegahannya tepat,” kata Lolly melalui keterangan persnya di Manado, Jumat (22/9/2023).
Lolly mengharapkan, pemerintah daerah di sepuluh provinsi dengan potensi kerawanan tertinggi soal netralitas ASN melakukan pencegahan dengan ketat.
Ia menyebutkan, salah satu pencegahan dapat dilakukan adalah dengan komunikasi yang baik.
“Pencegahan ini dikencangkan tidak boleh berjarak di pemerintahan, baik yang ada di provinsi maupun kabupaten/kota. Alasannya, upaya pencegahan yang baik yaitu dengan membangunnya melalui komunikasi yang bertujuan mencegah melakukan pelanggaran,” terangnya.
Sementara itu, di tingkat kabupaten/kota tercatat 20 daerah yang memiliki kerawanan tinggi, antara lain:
– Kabupaten Siau Tagulandang Biaro,
– Kabupaten Wakatobi,
– Kota Ternate,
– Kabupaten Sumba Timur,
– Kota Parepare,
– Kabupaten Bandung,
– Kabupaten Jeneponto,
– Kabupaten Mamuju,
– Kabupaten Halmahera Selatan,
– Kabupaten Bulu Kumba,
– Kabupaten Maros,
– Kota Tomohon,
– Kabupaten Konawe Selatan,
– Kota Kotamobagu,
– Kabupaten Kediri,
– Kabupaten Konawe Utara,
– Kabupaten Poso,
– Kabupaten Kepulauan Sula,
– Kabupaten Tolitoli, dan
– Kabupaten Nias Selatan.
“Dua puluh (20) kabupaten/kota potensi rawan tertinggi ini, siapkan program pencegahan terbaik, siapkan upaya mitigasi risiko terkuat supaya tidak terjadi di 2024,” ujar Lolly.
Pelanggaran netralitas ASN yang kerap terjadi, kata dia antara lain mempromosikan calon tertentu, pernyataan dukungan secara terbuka di media sosial, serta media lainnya.
Lolly juga menyebutkan, ada ASN yang menggunakan fasilitas negara untuk mendukung petahana, teridentifikasi dukungan dalam bentuk grup WhatsApp, dan terlibat secara aktif maupun pasif dalam kampanye calon.
“Paling banyak terjadi dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah,” tandasnya.