Isu Terkini

Eks Dirut Garuda Emirsyah Satar Didakwa Rugikan Negara Rp9,3T

Manda Firmansyah — Asumsi.co

featured image

Eks Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, didakwa merugikan keuangan negara hingga mencapai Rp9,37 triliun, terkait kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600. 

Satar melakukan tindak pidana bersama Executive Project Manager Aircraft Delivery PT Garuda Indonesia periode 2009-2014 dan Direktur Teknik dan Pengelolaan Armada PT Garuda Indonesia periode 2007-2012, Hadiono Soedigono.

Selain itu, Satar juga melakukan tindak pidana bersama Soetikno Soedarjo selaku eks pemilik PT Mugi Rekso Abadi, PT Ardyaparamita Ayuprakarsa, dan Hollingworth Management Internasional. 

Soetikno Soedarjo merupakan pihak intermediary (commercial advisor) yang mewakili kepentingan Avions De Transport Regional (ATR) dan Bombardier.

“Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu memperkaya diri terdakwa Emirsyah Satar atau memperkaya orang lain,” ujar Jaksa di ruang sidang Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus), Senin (18/9/2023).

Adapun nama-nama yang disebutkan jaksa antara lain Agus Wahjudo Hadinoto Soedigno, Soetikno Sedarjo atau memperkaya korporasi yaitu Bombardier, ATR, EDC/Alberta sas dan Nordic Aviation Capital Pte, Ltd (NAC).

“Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yaitu merugikan keuangan negara Cq PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, seluruhnya sebesar USD609.814.504 (Rp 9,37 triliun) atau setidak-tidaknya sejumlah tersebut,” imbuhnya.

Jaksa menilai, Satar telah menyalahi hukum karena secara tanpa hak menyerahkan rencana pengadaan armada (fleet plan) PT Garuda Indonesia ke Soetikno Soedarjo untuk selanjutnya diteruskan kepada Bernard Duc yang merupakan Commercial Advisor dari Bombardier

Padahal, rencana tersebut adalah rahasia perusahaan. Jaksa menyebut, Satar mengubah rencana kebutuhan pesawat Sub 100 seater, dari yang semula be asitas 70 seats menjadi 90 seats tipe jet tanpa ditetapkan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP).

Pengubahan itu tidak sesuai dengan hasil kajian Feasibility Study Additional Small Jet Aircraft Juli 2010 yang ditetapkan dalam RJPP 2011-2015 dan disetujui oleh para Pemegang Saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 15 November 2010. 

Satar memerintahkan Vice President Strategic Management Office PT Garuda Indonesia periode 2011-2012, Setijo Awibowo dan eks VP Fleet Acquisition PT Garuda Indonesia, Adrian Azhar membuat feasibility study (kajian kelayakan) pengadaan Pesawat Sub-100 seater tipe Jet kapasitas 90 seater yang belum ditetapkan dalam RJPP. 

Kemudian, juga tidak dilengkapi dengan Laporan Hasil Analisa Pasar dan Laporan Hasil Analisa Kebutuhan Pesawat.

Lalu, Satar memerintahkan Albert Burhan, Setijo Awibowo, Agus Wahjudo, dan Adrian Azhar yang bertindak sebagai tim pengadaan untuk mengubah kriteria pemilihan dalam pengadaan pesawat jet Sub-100 dari pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP) menjadi pendekatan Economic sub kriteria Net Value Present (NVP) dan Route Result tanpa persetujuan dari dewan direksi. 

Satar bersama Agus Wahjudo dan Hadinoto Soedigno melakukan persekongkolan dengan Soetikno Soedarjo untuk memenangkan Bombardier dan ATR dalam pemilihan pengadaan pesawat pada PT. Garuda Indonesia.

“Meskipun, jenis pesawat Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600 tidak sesuai dengan konsep bisnis PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk sebagai perusahaan penerbangan yang menyediakan layanan full service,” tutur jaksa.

Satar, Albert Burhan, M. Arif Wibowo dan Hadinoto Soedigno tanpa melalui rapat direksi memberikan persetujuan untuk pengadaan pesawat Turbopropeller tanpa ada kajian yang memadai serta belum ditetapkan dalam RJPP maupun RKAP (rencana kerja dan anggaran perusahaan).

“Di mana Tipe pesawat tersebut tidak sesuai dengan sistem layanan penerbangan Low Cost Carrier PT. Citilink Indonesia yang kemudian dalam pengadaannya diambil alih oleh PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk,” ucapnya.

Diberitakan, Satar bersekongkol dengan Direktur Keuangan PT Citilink, Albert Burhan, melakukan pembayaran pre-delivery payment (PDP) pembelian pembelian pesawat ATR 72-600 kepada Manufactur ATR sebesar USD3.089.300,00. Padahal, mekanisme pengadaan ATR dilakukan secara sewa. 

Ia juga bersekongkol dengan Albert Burhan yang dalam konteks ini, disebut sebagai VP Treasury PT. Garuda Indonesia melakukan pembayaran PDP pembelian Pesawat CRJ-1 000 kepada Bombardier sebesar USD33.916.003,80.

Padahal, mekanisme pengadaan CRJ-1000 dilakukan secara sewa.

Atas perbuatannya, Emirsyah Satar dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Share: Eks Dirut Garuda Emirsyah Satar Didakwa Rugikan Negara Rp9,3T