Sains

Data Emisi Karbon yang Dilaporkan ke PBB Tidak Sesuai dengan Fakta

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Unsplash/Marcin Jozwiak

Investigasi yang dilakukan Washington Post menyebutkan banyak negara yang membuat laporan data emisi karbon ke Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Hal ini membuat keseriusan untuk menjaga lingkungan dengan menekan emisi karbon mulai dipertanyakan.

Pemeriksaan terhadap 196 laporan negara mengungkapkan perbedaan yang sangat signifikan antara negara-negara yang mengungkap tingkat emisi karbon dan gas rumah kaca yang mencemari atmosfer.

“Kesenjangan berkisar dari setidaknya 8,5 miliar hingga setinggi 13,3 miliar ton per tahun emisi yang tidak dilaporkan. Ini cukup besar untuk menentukan seberapa besar pengaruhnya pada pemanasan Bumi,” tulis laporan tersebut.

Akurasi Data

PBB menegaskan pentingnya menyelamatkan dunia dari perubahan iklim terburuk berbasiskan data. Sayangnya, banyak data yang disampaikan berbagai negara dunia tidak akurat.

Contohnya seperti laporan emisi gas rumah kaca yang disampaikan Malaysia. Laporan ini mengklaim pohon-pohon yang ada di Malaysia menyerap karbon empat kali lebih cepat daripada hutan serupa di negara tetangga Indonesia.

Klaim ini memungkinkan Malaysia untuk mengurangi lebih dari 243 juta ton karbon dioksida yang terjadi pada tahun 2016 atau memangkas 73 persen emisi karbon.

Sementara data yang dikumpulkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menyebutkan sebanyak 422 juta ton gas rumah kaca dihasilkan Malaysia sepanjang 2016. Hal ini menempatkan Negeri Jiran di antara 25 penghasil emisi teratas di dunia tahun itu.

Akan tetapi karena Malaysia mengklaim pohon-pohonnya mengkonsumsi sejumlah besar CO2, emisi yang dilaporkan ke PBB hanya 81 juta ton. Akurasi yang ada pada laporan ini dianggap tak sesuai dengan data internal yang dimiliki FAO.

Beda Antara Negara Maju dan Berkembang

Menurut PBB, kesenjangan data statistik emisi terjadi di berbagai negara, terutama antara negara maju dan negara berkembang.

Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa dinilai memiliki standar perhitungan data yang jelas dalam mengukur emisi karbonnya. Sementara negara-negara berkembang memiliki pandangannya sendiri dalam menentukan aspek mana saja yang perlu dilaporkan dan tidak.

“Perbedaan dalam pelaporan mencerminkan kenyataan bahwa negara-negara maju secara historis bertanggung jawab atas sebagian besar gas rumah kaca yang telah dibangun di atmosfer sejak Revolusi Industri,” jelas Washington Post.

Laporan emisi karbon yang disampaikan negara maju, dalam penilaian PBB memiliki kapasitas teknis yang lebih luas untuk menganalisis emisi karbon yang dihasilkan negara masing-masing dibandingkan negara-negara berkembang.

“Jika kita tidak tahu keadaan emisi saat ini, kita tidak tahu apakah langkah kita untuk mengurangi emisi sudah bermakna dan substansial,” kata Rob Jackson, profesor dari Stanford University dan Ketua Global Carbon Project.

Langkah PBB

Hasil investigasi menerangkan pemicu terjadinya kesenjangan data tersebut sebagian besar disebabkan jumlah emisi karbon dioksida dan metana yang tak dilaporkan berbagai negara.

Pelaporan yang tidak lengkap termasuk kesalahan data yang disampaikan beberapa negara dianggap disengaja. Dalam beberapa kasus, berbagai aktivitas manusia yang berdampak pada iklim Bumi dianggap tidak perlu dilaporkan kepada PBB.

Juru Bicara PBB, Alexander Saier memastikan pihaknya berencana mengatasi kesenjangan data dengan berupaya memperkuat proses pelaporan emisi karbon yang disampaikan negara-negara di dunia.

Mereka mengakui masih banyak yang perlu diperbaiki, terutama dalam sistem pelaporan agar kesenjangan data serta standar emisi karbon yang dilaporkan.

“Kami mengakui bahwa lebih banyak yang perlu dilakukan, termasuk menemukan cara untuk memberikan dukungan kepada negara berkembang untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan kemampuan teknis mereka,” jelasnya.

Bagaimana dengan Indonesia?

Laporan emisi karbon yang disampaikan pemerintah Indonesia ke PBB sejauh ini memang tidak ada data spesifik. Akan tetapi, ada dugaan pula laporan yang disampaikan tidak sesuai fakta di lapangan, merujuk pada kajian profil karbon Indonesia yang disampaikan peneliti Carbon Brief, Daisy Dunne pada tahun 2019.

Dalam catatannya, Indonesia diperingatkan untuk terus menurunkan tingkat deforestasi dan mengendalikan kebakaran lahan gambut yang menghasilkan emisi karbon sangat tinggi. Sebagai negara dengan ekonomi terbesar peringkat ke-16 di dunia dan terbesar di Asia Tenggara, Indonesia dilaporkan merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar keempat di dunia pada tahun 2015.

“Sumber emisi tertinggi berasal dari deforestasi dan kebakaran hutan gambut yang kemudian diikuti oleh emisi dari pembakaran bahan bakar fosil untuk energi,” jelas Dunne.

Sumber yang sama menyebut Indonesia baru-baru ini melampaui Australia menjadi negara pengekspor batu bara termal terbesar di dunia. Bahkan, rencana Indonesia untuk menambah pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara juga menjadi sorotan.

“Salah satu alasannya yaitu sebagai upaya untuk mengurangi kesenjangan listrik antara pulau-pulau yang sudah maju dan pulau-pulau yang masih kurang terhubung. Komitmen Indonesia saat ini, menargetkan pengurangan emisi karbon sebesar 29 sampai 41 persen pada tahun 2030,” jelas Dunne.

Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Wahyu Perdana mengaku tak heran dengan adanya kesenjangan data tingkat emisi karbon antara negara maju dan berkembang. Ia mengamini dugaan data emsisi karbon Indonesia yang disampaikan ke PBB tak sesuai dengan fakta di lapangan. 

Menurutnya, model ketertutupan data yang tidak jelas dan simpang siur ini disebabkan oleh mekanisme carbon pricing dan carbon trading yang dipilih banyak negara di dunia.

“Sederhananya dari dua istilah itu ketika perusahaan, korporasi, atau negara tetap memproduksi sesuatu, maka harus mengkompensasinya dalam bentuk proyek lain berupa uang transfer, seperti ke negara Indonesia. Model ini tidak menghentikan emisi, malahan pemanasan global dan kerusakan iklim tetap terjadi,” jelasnya kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Selasa (9/11/2021).

Dibiayai Asing

Wahyu menilai, hingga saat ini Indonesia sama sekali tidak berupaya mendorong dihentikannya produksi energi kotor dengan melakukan transisi energi bersih dan melepas ketergantungan pada energi fosil.

“Memang muncul dalam RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) untuk fokus pada energi bersih. Namun kenyataannya tidak sesuai fakta di lapangan. Tetap saja yang dibangun saat ini adalah PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap),” tuturnya.

Bahkan, sampai sekarang banyak negara yang tetap membiayai pembangunan PLTU di Indonesia. Maka menurutnya percuma saja bila investasi asing yang berjalan saat ini mendukung terjadinya peningkatan emisi karbon di Indonesia.

“Korea dan Jepang misalnya, sejauh ini tetap membiayai pembangunan PLTU di Indonesia. Ini sama saja memindahkan bencana di negara mereka ke negara yang masih menerima energi kotor. Masalah bisnis ini yang akhirnya menyebabkan terjadinya main-main data emisi karbon,” ujar Wahyu.

Peneliti Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari menimpali kalau basis dasar pengurangan emisi karbon di Indonesia selama ini sudah bermasalah. Pasalnya, menurut arahan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), emisi karbon di Indonesia semestinya sudah dikurangi 45 persen dari tahun 2005.

“Dari based line saja kita longgar. IPCC meminta emisi karbon dikurangi 45 persen dari tahun 2005. Namun baseline Indonesia adalah ‘business as usual’ ditahun 2030. Semestinya tahun 2030 bisa lebih besar targetnya. Ini kurang ambisius dan tak serius sama sekali,” katanya

Ia menyayangkan niat Indonesia untuk mengurangi emisi karbon yang tak terlihat dengan terus melanggengkan produksi batu bara, alih-alih mencari sumber daya energi terbarukan.

“Komitmen Indonesia kurang memang. Masih jauh sekali dari yang kita harapkan. Dari sektor energi saja, baseline Indonesia di NDC (Nationally Determinet Contribution) 100 persen masih mengandalkan batu bara sebagai energi dan 0 persen renewable energy. Data existing masih 65 persen mengandalkan batu bara. Ini tentu harus menjadi perhatian,” tandasnya.

Baca Juga:

Share: Data Emisi Karbon yang Dilaporkan ke PBB Tidak Sesuai dengan Fakta