Keuangan

Pemungutan Pajak Fasilitas Kantor Dinilai Bakal Rugikan Karyawan

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Rencana pemerintah yang akan mulai memungut pajak terhadap fasilitas kantor menuai kontroversi. Pemungutan pajak fasilitas untuk karyawan seperti mobil, rumah, laptop, hingga handphone dinilai tidak tepat oleh para ekonom.

Sebelumnya, pada temu media Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu di Bali pertengahan pekan lalu, Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Yon Arsal mengatakan pengenaan pajak terhadap fasilitas ini dilakukan seiring dengan perubahan aturan terkait penghasilan natura dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang sebelumnya tidak dikenakan pajak.

Dikutip dari ANTARA, dalam UU HPP, pemerintah mengubah tarif Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi menjadi lebih progresif, di mana PPh OP hanya dikenakan bagi OP dengan penghasilan di atas Rp60 juta. Di samping itu PPh OP dengan penghasilan di atas Rp5 miliar per tahun dikenakan PPh sebesar 35 persen atau lebih tinggi dari sebelumnya 30 persen.

Untuk menambah progresivitas itu, DJP pun memajaki penghasilan natura yang bernilai tinggi. Selama ini DJP tidak memajaki natura tersebut karena menilainya bukan penghasilan.

Nantinya, nilai fasilitas yang dihitung sebagai penghasilan ini bukan seharga barang yang diterima. Sebab, ada biaya penyusutan barang dan hanya akan dihitung senilai biaya sewa. Tidak ada batasan waktu pemungutan pajaknya selama para karyawan masih diberikan fasilitas-fasilitas tertentu untuk menunjang pekerjaan mereka dari kantor.

Selain itu, Meski demikian, ada lima penerima natura yang dikecualikan dari fasilitas ini, yaitu Penyedia makan/minum, bahan makanan/minuman bagi seluruh pegawai, natura di daerah yang memiliki potensi ekonomi tetapi tergolong sulit dijangkau menggunakan alat transportasi, natura karena keharusan pekerjaan. Contoh: alat keselamatan kerja atau seragam, natura yang bersumber dari APBN/APBD/APBDes, dan natura dengan jenis dan batasan tertentu.

Dinilai Tidak Tepat

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics CORE Indonesia, Mohammad Faisal menilai hal ini merupakan kebijakan yang tidak tepat karena fasilitas kantor tidak menjadi milik karyawan secara personal.

“Lain cerita kalau itu jadi milik dia pribadi. Itu dikenakan PPh (pajak penghasilan) wajib pajak. Kalau fasilitas kantor ya, semestinya pajaknya dikenakan ke institusi atau perusahaannya,” kata Faisal kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Jumat (5/10/2021).

Ia memahami adanya kebijakan ini karena kondisi perekonomian yang terdampak pandemi COVID-19 mulai pulih perlahan-lahan. Namun perlu diingat, tidak semua orang kondisi finansialnya membaik.

Bagi yang saat ini masih tetap bisa bekerja kantoran dan penghasilannya masih baik, mungkin memiliki utang yang tetap mesti dibayarkan.

“Tentu ini tidak tepat karena dikenakan ke orangnya, karyawannya,” ucapnya.

Faisal juga memahami digagasnya kebijakan ini karena pemerintah juga sedang mencari-cari bahan untuk mencapai target penerimaan pajak di tahun 2022. Namun menurutnya mengambil langkah dengan memungut pajak karyawan dari fasilitas kantor tak patut dilakukan.

“Buat karyawan yang jadi wajib pajak fasilitas kantor tentu merugikan mereka,” ungkapnya.

Belum Tentu Signifikan

Adanya kebijakan fasilitas kantor dikenakan pajak, lanjut dia membuat para karyawan justru jadi berpikir lebih baik punya mobil, laptop atau ponsel sendiri daripada memakai fasilitas kantor. Sebab, sekali tercatat memakai fasilitas perusahaan mereka secara otomatis mesti membayar pajaknya. Hal ini tentu merugikan karena fasilitas kantor pada akhirnya harus dikembalikan kepada perusahaan.

“Nah, soal apakah pajak ini bagi kas negara ada kontribusinya tentu iya. Cuma kalau dikatakan signifikan saya rasa belum tentu juga karena bisa saja nilai yang didapatkannya tidak sebesar cukai misalnya,” imbuhnya.

Senada, peneliti Indef Bidang Perdagangan, Industri, dan Investasi Ahmad Heri pun mempertanyakan dasar perlunya fasilitas kantor dipungut pajak. Pasalnya, pajak fasilitas kantor selama ini tentu bukan menjadi kewajiban karyawan.

“Kalau kita dapat fasilitas kantor dan bayar pajak ini kan membingungkan kecuali untuk member parkir karyawan enggak apa-apa dibebani ke para pekerja, meski lahan parkirnya itu fasilitas cuma karena status lahannya disewa oleh perusahaan sah-sah saja ada pajaknya,” jelas Heri saat dihubungi terpisah.

Ia menambahkan, selama ini di Undang-undang pun tidak ada aturan yang mengkategorikan fasilitas perusahaan sebagai bagian dari pajak yang harus dibayarkan pekerja. Bila tujuan pemerintah menerapkan kebijakan ini demi menggenjot pemasukan kas negara dari pajak, menurutnya merupakan hal yang tak bisa ditoleransi.

“Mungkin maksud pemerintah mau mengoptimalkan pendapatan pajak dengan cara seperti ini, tentu kebijakan yang tidak umum dengan memungut pajak fasilitas. Prinsipnya harus melakukan optimalisasi pajak negara yang umum dilakukan,” kata dia.

Lebih lanjut, ia mengatakan bila pungutan pajak dari fasilitas kantor dihitung sebagai pajak penghasilan karyawan tentu hal yang membingungkan dan membebani para karyawan.

“Fasilitas dari kantor kan, statusnya barang modal bukan gaji bulanan yang kita dapat per bulan. Ini adalah instrumen yang berbeda. Logikanya juga belum bisa diterima oleh dunia usaha. Bisa jadi perusahaan menyiasatinya dengan malah membiarkan karyawan supaya beli sendiri daripada membebani mereka dengan pajak fasilitas,” jelasnya.

Baca Juga

Share: Pemungutan Pajak Fasilitas Kantor Dinilai Bakal Rugikan Karyawan