Internasional

Pertemuan Macron Dengan Jokowi, Antara Diplomasi dan AUKUS

Irfan — Asumsi.co

featured image
Marc-Antoine Déry

Presiden Perancis Emmanuel Macron dinilai gencar menjalin hubungan dengan sejumlah negara setelah tak masuk dalam pakta pertahanan antara Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Australia (AUKUS). Negara yang mulai didekati adalah Indonesia dan India.

Indikasi itu salah satunya dikaitkan dengan pertemuan Macron di sela-sela KTT G20 di Roma, dengan Presiden Indonesia Joko Widodo. Pembicaraan antara keduanya diklaim mencakup tentang isu transisi ekologi, dukungan untuk lapangan kerja, serta pertumbuhan di Indonesia dan kebangkitan pasca pandemi Covid-19.

“Macron dan Jokowi berbicara selama setengah jam dan memutuskan untuk bekerja pada kemitraan strategis sejati di Indo-Pasifik,” kata istana Elysee Perancis.

Sebelumnya, Macron juga bertemu dengan Perdana Menteri India Narendra Modi. Pembicaraannya fokus pada pengaruh ekonomi yang tumbuh di kawasan itu dan persaingan antara AS dan China.

“Ada keinginan bersama untuk melangkah lebih jauh dengan strategi Indo-Pasifik,” kata pihak Perancis setelah berbicara dengan Modi melansir AFP pada Sabtu (30/10/2021).

Dalam beberapa waktu mendatang, Menteri Luar Negeri Perancis Jean-Yves Le Drian juga akan berkunjung ke Jakarta untuk mengambil alih kepresidenan G20 bergilir setelah Italia. Agenda lainnya meninjau koordinasi di ASEAN, blok regional Asia Tenggara, di mana Indonesia, dengan populasi lebih dari 270 juta, memainkan peran penting.

Perancis, saat ini memang nampak berambisi untuk memiliki pengaruh yang lebih besar di kawasan Pasifik, khususnya melalui Asia Tenggara. Perancis menganggap dirinya sebagai kekuatan di Pasifik berkat kepemilikan di luar negeri atas Kaledonia Baru dan Polinesia Perancis. Di Eropa, Perancis sendiri akan menjadi presiden bergilir Uni Eropa pada 2022.

Pintu awal kemitraan

Menanggapi ini, pakar hubungan internasional Universitas Indonesia Evi Fitriani mengatakan terlalu jauh jika hendak mengaitkan pertemuan Jokowi dengan Macron, dengan kebutuhan Perancis menggalang koalisi setelah ditinggal AS, Inggris, dan Australia. Soalnya sampai saat ini belum ada data yang merujuk ke arah sana.

“Prancis memang sedang memperkuat kehadirannya di bidang keamanan di Asia Tenggara. Tapi kredibilitas Prancis belum kuat sebagai aktor keamanan di kawasan ini,” kata Evi kepada Asumsi.

Indonesia dan India juga dinilai belum pas menjadi mitra strategis Perancis apalagi untuk menyaingi AUKUS. Soalnya, antara Perancis, India, dan Indonesia memiliki persepsi ancaman yang berbeda. Indonesia juga bukan traditional allies seperti USA-UK-Australia yang memang sudah membentuk ANZUS dan Five Power Defence Arrangement (FPDA).

“Serta kerja sama intelijen Five Eyes sejak zaman perang dingin 1960-an,” ujar dia.

Oleh karena itu, pertemuan Macron-Jokowi tak perlu dimaknai berlebihan. Menurut dia, ini mungkin awalan saja untuk membuat hubungan antara dua negara lebih baik. Namun terlalu dini satu jam pertemuan ini kemudian dianggap aliansi melawan AUKUS.

Menurut Evi, anggapan itu terlalu ekstrem karena data dan informasi apa yang mereka bicarakan tidak ada atau terbatas. Selain itu, dari aspek sejarah dan fakta pendukung belum pernah ada aliansi di masa lalu antara Indonesia-India, india-Perancis, dan Perancis-Indonesia.

“Jadi tidak semua pertemuan kepala negara diinterpretasikan terlalu ekstrem. Bisa jauh panggang dari api,” ucap dia.

Kekhawatiran

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri telah menyatakan kekhawatiran atas pembentukan kerja sama keamanan trilateral antara Australia, Inggris, Amerika Serikat. Kerja sama itu dinilai berpotensi untuk menimbulkan distabilitas.

Salah satu dasar kekhawatiran itu terkait dengan pembuatan kapal selam bertenaga nuklir untuk memperkuat angkatan laut Australia.

“Karena tak ada yang namanya akuisisi kapal selam tenaga nuklir yang tanpa kemungkinan munculnya perlombaan senjata nuklir,” kata Direktur Jenderal Kementerian Luar Negeri RI untuk Asia-Pasifik dan Afrika, Abdul Kadir Jailani, dikutip dari Antara.

Dikutip dari Reuters, Kepala Badan Energi Atom Internasional (IAEA) Rafael Grossi menilai kesepakatan AUKUS yang memfasilitasi Australia untuk memperoleh teknologi kapal selam nuklir dari Amerika Serikat akan menyulitkan proses inspeksi.

Kesepakatan kapal selam adalah bagian dari perjanjian pertahanan yang diumumkan Australia, Inggris, dan AS bulan lalu. Pengumuman itu memicu kemarahan Prancis karena Australia akan membatalkan pesanan kapal selam bertenaga diesel yang dibuat perusahaan Perancis, Naval Group.

Berdasarkan data, terdapat enam negara yang memiliki kapal selam nuklir, yakni AS, Rusia, China, Perancis, Inggris, dan India. Namun, hanya India yang belum menandatangani Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT).

Dampak dan solusi

Dikutip dari Antara, pengamat intelijen Ngasiman Djoyonegoro menilai pakta AUKUS merupakan respons terhadap ketegangan militer di kawasan Laut China Selatan. Bantuan berupa kapal selam kepada Australia dinilai memperkuat asumsi itu.

Kapal selam nuklir Australia berpotensi dikerahkan ke wilayah perairan yang sedang diperebutkan, seperti Laut Cina Selatan, di mana beberapa negara Asia, termasuk Indonesia berselisih dengan China.

Ngasiman berkata AUKUS lebih dari sekadar kelas kapal selam. Sebab, dia mengatakan Presiden AS Joe Biden pernah berbicara tentang perlunya mempertahankan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka

“Artinya, kepentingan global AS terhadap negara-negara demokrasi di kawasan Asia masih signifikan. Oleh karena itu, tidak salah jika China menyebut pakta AUKUS sebagai manifestasi mental perang dingin,” ujar Ngasiman.

Di ASEAN, sikap terhadap AUKUS terpecah. Singapura dan Filipina menyatakan mendukung. Sedangkan Malaysia dinilai masih bersikap diplomatis. Hanya Indonesia yang sudah menyatakan AUKUS berpotensi menimbulkan perlombaan senjata di kawasan.

Lebih lanjut, Ngasiman menilai Indonesia perlu mengambil langkah yang tidak berorientasi pada salah satu blok, baik Blok China maupun Aliansi AUKUS. Namun, dia mengaku hal itu akan sulit karena negara-negara Aliansi AUKUS maupun China memiliki investasi yang cukup besar di Indonesia.

Ngasimin menyarankan Indonesia menempuh dua jalur diplomasi. Pertama, mempertegas bahwa ancaman kapal selam tenaga nuklir Australia dapat dijinakkan seraya memperhitungkan nilai manfaat dari interaksi lintasan laut kapal selam tenaga nuklir Australia, termasuk interaksi militer negara-negara ASEAN yang mendukung AUKUS, yaitu Singapura dan Filipina.

Kapal selam nuklir Australia kemungkinan akan banyak berinteraksi dengan Indonesia, terutama di kawasan Laut Indonesia, Laut Arafuru, Laut Sulawesi, dan Laut China Selatan. Hal itu dinilai bentuk nyata ancaman baru bagi kedaulatan.

“Kedua, diplomasi militer dengan penguatan sistem pertahanan negara maritim. Roadmap pertahanan negara yang ada, perlu dirumuskan ulang mengingat perubahan lingkungan strategis di kawasan. Negara ini perlu dilindungi dengan sabuk pertahanan yang mengikat dari Sabang sampai Merauke dan di seluruh Alur Laut Kepulauan Indonesia atau Sabuk Pertahanan Negara Kepulauan,” ujarnya.

Share: Pertemuan Macron Dengan Jokowi, Antara Diplomasi dan AUKUS