EksklusifIsu Terkini

Rela Berlumur Lumpur di TikTok

Yopi Makdori — Asumsi.co

featured image
Ilustrasi

Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini mencak-mencak mendapati fenomena meminta-minta yang mulai merebak di media sosial (medsos).

Belakangan ini sejumlah pengguna platform medsos TikTok menampilkan siaran langsung yang berisi seseorang yang tengah mandi lumpur. Kerap kali mereka yang tampil tengah mandi lumpur ialah para lansia.

Tujuannya adalah mengharapkan pengguna mengirimkan stiker selama siaran langsung itu. Stiker itu nantinya bakal bisa dijadikan rupiah.

Aksi itu terkesan disengaja untuk melibatkan orang tua guna memantik iba para pemirsa. Melansir Antara, Risma melihat aksi itu cenderung berbau eksploitasi terhadap lansia.

Risma menyebut aksi pelaku yang membuat orang tua mengemis di itu dapat dipolisikan. Sebab hal semacam itu merupakan bentuk dari eksploitasi, karena memperalat orang tua.

“Pelaku bisa ditangkap polisi, itu kayaknya ada undang-undangnya,” ujar Risma.

Risma mengaku bakal bersurat dengan pihak-pihak terkait untuk menangani temuan kasus tersebut.

Faktor ekonomi

Pengamat Sosial Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati melihat sejumlah motivasi dibalik perilaku meminta-minta tersebut. Faktor ekonomi tidak hanya menjadi motif tunggal dari perilaku tersebut.

Kondisi terdesak yang muncul tiba-tiba, kata Devie juga bisa menjadi salah satu pendorong perilaku tersebut. Misalnya seseorang terpaksa meminta-minta lantaran tiba-tiba diberhentikan dari pekerjaannya atau mengalami musibah.

Bahkan menurut sejumlah riset yang ia baca, kecanduan zat-zat haram juga menjadi satu dari sekian pendorong bagi seseorang untuk mendapatkan dana segar secara instan.

“Dalam penelitian-penelitian di lapangan secara global, orang-orang kecanduan juga menggunakan cara meminta-minta untuk bisa mendapatkan dana yang cepat dan mudah,” ujar Devie kepada Asumsi.co, Selasa (17/1/2023).

Menurut Devie ada juga dorongan karena ingin memenuhi gaya hidup dengan cara yang cepat dan mudah.

Dalam temuan sejumlah riset, kata Devie praktik meminta-minta di dunia nyata ada juga yang dilakukan secara terorganisir. Di mana mereka sengaja mengeksploitasi dan memanipulasi rasa iba manusia dengan cara menipu.

“Karena dalam penelitian global bahkan ditunjukkan, para pelaku peminta-minta ini bahkan bisa memutilasi anggota tubuhnya demi bisa mendapatkan ‘impresi’ bahwa mereka adalah individu yang layak diberikan bantuan .” ujar Devie.

“Itu penelitiannya, oleh karenanya ketika aktivitas itu pindah ke online dan kita melihat hal ekstrem bagi akademisi itu bukan hal baru. Karena di dunia offline saja sudah sangat ekstrem ya upaya mereka untuk memanipulasi rasa iba orang lain” sambungnya.

Dari sana Devie melihat bahwa maraknya aktivitas meminta-minta di dunia dalam jaringan (daring) sebetulnya praktik lama. Hanya saja mediumnya saja beralih dari dunia luar jaringan (luring) ke daring.

“Artinya dunia offline saja sudah sebegitu ekstremnya orang untuk mengeksploitasi rasa iba orang lain. Jadi kalau ini terjadi, berpotensi ini adalah praktik-praktik yang ‘bisa jadi mengikuti apa yang terjadi di dunia offline’” katanya.

Dia mendesak pemerintah untuk merangkul mereka yang meminta-minta supaya dimasukkan ke dalam panti guna mengidentifikasi motivasi meminta-minta mereka.

Namun begitu, Devie menekankan bahwa cara paling ampuh demi membasmi praktik meminta-minta di medsos adalah dengan mengedukasi masyarakat. Edukasi dilakukan dengan memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa mereka harus memberikan bantuannya kepada lembaga yang dapat mengelolanya.

Sebab lembaga-lembaga yang fokus mengelola hal itu akan memastikan bahwa orang-orang yang membutuhkan itu tidak lagi bergantung.

“Selama masih ada masyarakat yang menjadi korban eksploitasi rasa iba tadi, maka akan terus ada orang-orang yang melakukan hal ini. Kalau di beberapa negara tetangga misalnya, bahkan di dunia offline-nya masyarakatnya ketika melihat pengemis mereka tidak memberikan uang, tetapi langsung menelepon call center pemerintah agar pemerintah mengelola orang tersebut,” katanya.

Bukan barang baru

Sementara itu, Pengamat Media Sosial Enda Nasution menilai bahwa fenomena ini bukanlah hal baru dalam dunia siber. Fenomena ini di luar negeri terkenal dengan sebutan internet begging.

Enda melihat bahwa merebaknya fenomena mengemis di medsos karena dua hal, pertama keberadaan platform media sosial, kemudian yang kedua lantaran fasilitas transfer dana yang dimudahkan.

Enda mencontohkan di Amerika Serikat (AS) yang mana ada situs-situs yang memfasilitasi hal itu, seperti Gofundme. Sementara di Indonesia dipelopori oleh Kitabisa.com. Namun berbeda dengan di AS, platform crowdfunding di Indonesia lebih fokus ke charity/donasi kemanusiaan ketimbang meminta-minta.

“Tapi prinsipnya sebenarnya sama, memohon/meminta dana untuk sesuatu, tapi sesuatu itu bisa untuk pendidikan, keagamaan, bencana alam, orang sakit dan lain-lain,” kata Enda kepada Asumsi.co, Selasa (17/1/2023).

Fenomena ini menjamur di Indonesia, kata Enda juga dilatarbelakangi karena sikap masyarakat Tanah Air yang murah hati. Sehingga banyak yang mengambil peruntungan yang sama guna mencari rupiah lewat meminta-minta.

“Problem-nya, biasanya kalau ada yang berpura-pura untuk dikasihani atau menyentuh itu, ibu-ibu bawa bayi yang bukan bayinya di lampu merah, kaki yang dibungkus ke atas supaya kelihatan cacat. Kita jadi merasa tertipu karena rasa kasihan kita di manipulasi,” ujar Enda.

Ia meminta pihak terkait menggalakkan literasi digital demi memberi pemahaman kepada masyarakat.

“Melakukan pendidikan literasi digital aja, agar masyarakat mengerti apa yang tengah terjadi, menjaga agar tidak ada pihak yang dieksploitasi,” katanya.

Baca Juga:

Twitter Coba Fitur Video ala Tiktok

Twitter Punya Fitur For You, Disebut Mirip FYP TikTok

Taiwan Tuding TikTok Bantu China Sebarkan Disinformasi

Share: Rela Berlumur Lumpur di TikTok