Kesehatan

Waspadai Gejala OSA, Gangguan Mendengkur dan Henti Napas Saat Tidur

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Ilustrasi. Foto: Unsplash.

Mendengkur keras yang diikuti henti napas sejenak saat tidur, merupakan hal yang mesti diwaspadai. Sebab, hal ini bisa menjadi tanda seseorang mengalami gangguan Obstructive Sleep Apnea (OSA).

Terjadi Pada Perempuan dan Anak

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dokter spesialis neurologi, Dr. Rimawati, menjabarkan fakta bahwa gangguan OSA lebih banyak dialami perempuan, bukan laki-laki.

Riset yang dipresentasikan di ASEAN Sleep Congress pada 2015 ini, menyebutkan OSA terjadi pada 17% perempuan di Indonesia, sedangkan 16,8% terjadi pada laki-laki.

Parahnya, banyak yang tidak menyadari gejala dan bahaya OSA, terlebih laki-laki atau perempuan yang tidur sendirian, dan tidak ada yang memperhatikan intensitas dengkurannya.

Menyikapi hasil penelitian ini, Konsultan Laring Faring Departemen THT-KL FKUI RSCM, Fauziah Fardizza, mengatakan OSA memang bisa terjadi pada siapa pun. Namun, tak semua orang yang mendengkur menunjukkan sebagai gejala OSA.

“Mendengkur, kata dia terjadi saat sebagian jalan pernapasan seseorang tertutup,” ucap Fauziah seperti dikutip dari Antara.

Menurutnya, selama bunyi napas teratur saat mendengkur, bisa dibilang pernapasan masih normal dan bukan gejala OSA. Namun, masih sedikit orang yang memeriksakan diri ke dokter spesialis Telinga Hidung Tenggorok (THT), untuk memastikan dirinya mengalami OSA atau tidak.

Fauziah menambahkan, OSA juga bisa dialami oleh anak-anak. Biasanya, ditandai dengan gelisah selama tidur karena berusaha mencari posisi yang nyaman untuk bernapas.

“Bagian belakang hidung pada anak-anak terkadang ada kelenjar adenoid, yang dapat mempengaruhi hambatan jalan napas. Kelenjar adenoid biasanya akan menghilang ketika anak berusia 7 hingga 8 tahun,” jelasnya.

Gejala OSA

Fauziah menerangkan, orang yang mengalami OSA adalah saat seluruh jalan napasnya tertutup selama 10 detik saat mendengkur. Selain itu, diikuti dengan penurunan kadar oksigen. Selain itu, OSA memiliki gejala lain seperti, batuk-batuk, serta tersedak saat tidur.

Saat ini, penelitian gangguan OSA belum banyak dilakukan praktisi kesehatan Indonesia. Maka menurutnya, perlu lebih banyak penelitian lagi sehingga dapat memetakan data yang lebih akurat.

Akan tetapi, secara umum OSA dapat terjadi karena jalan napas tersumbat atau terhalang oleh struktur lunak atau otot di belakang tenggorokan, seperti kelenjar adenoid, concha, atau struktur lekukan bagian dalam hidung yang membesar.

Uvula yang panjang serta amandel, bahkan posisi lidah yang terjatuh ke bagian dalam saat tidur juga dapat mempengaruhi keluar masuknya udara yang menyebabkan OSA,” terangnya.

Ia menuturkan, OSA dapat menyebabkan penurunan oksigen di dalam tubuh. Akibatnya, menyebabkan orang menjadi stres. Selain itu, jantung akan berdebar lebih cepat dan pembuluh darah menyempit.

Hal ini, lanjut dia, memicu tekanan darah menjadi tinggi, nadi semakin cepat, volume darah yang tinggi, hingga inflamasi.

Risiko Kematian

Menurut Fauziah, OSA tidak menyebabkabkan henti napas permanen. Namun, serangan jantung yang disebabkan OSA mengakibatkan kematian pada penderitanya.

Ia pun mengutip penelitian dari Journal of the American College of Cardiology pada 2013 yang mengungkapkan, penderita OSA memiliki risiko tinggi kematian akibat komplikasi jantung. Fakta lainnya, didukung riset dari Yale School of Medicine pada 2007.

Riset ini menyebutkan, OSA meningkatkan risiko serangan jantung atau kematian sebesar 30% dalam periode waktu empat sampai lima tahun.

Penelitian yang dirilis American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine pada 2010, gangguan OSA menyebabkan dua hingga tiga lebih tinggi terkena serangan stroke.

Kondisi Obesitas

Fauziah Fardizza mengingatkan, bila melihat gejala berhenti napas saat tidur terjadi pada keluarga atau orang terdekat kita, maka perlu segera diminta untuk segera memeriksakan diri. Selain itu, bila melihat orang yang mudah mengantuk di siang hari, sebaiknya juga segera ditegur karena bisa jadi bagian dari gejala OSA.

“Lakukan pemeriksaan dan self-assessment sehingga akan membawa pasien tersebut untuk berobat, dan akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas dari kasus OSA ini,” imbuhnya.

Kondisi obesitas atau kegemukan menurutnya juga dapat meningkatkan faktor risiko OSA. Sebab, penumpukan lemak di daerah belakang faring sehingga dapat menghambat aliran napas saat tidur.

“Pada penderita OSA yang obesitas, kadar hormon leptin cukup rendah. Sementara grelin cukup tinggi, membuat orang OSA itu sering merasa lapar dan susah sekali untuk menurunkan berat badan,” katanya.

Pengobatan dan Terapi

Fauziah mengatakan, penanganan pada penderita OSA dapat dilakukan dengan cara modifikasi gaya hidup lewat diet atau menurunkan berat badan. Bila OSA yang diderita semakin parah, maka perlu penanganan medis.

Salah satu alat medis yang bisa digunakan untuk menangani penderita OSA adalah Continous Airway Pressure (CPAP). Alat bantu ini untuk memasukkan tekanan udara pada saluran napas.

Oral appliances juga dapat menjadi alat medis untuk pengobatan penderita OSA, yang tidak bisa menoleransi pemakaian CPAP. Oral appliances berguna untuk membuat lidah pasien tidak menghalangi bagian belakang jalan pernapasannya.

Fauziah menambahkan, ada juga terapi untuk menangani penderita OSA, yakni dengan cara positional theraphy. Terapi ini dilakukan dengan membaringkan pasien pada satu sisi, lalu diletakkan bola di belakang punggungnya.

“Supaya ketika berbaring telentang, dia akan terasa mengganjal dan akan kembali dalam posisi miring ke kanan atau kiri,” ucapnya.

Pembedahan

Pembedahan dengan metode cautery assisted palato stiffening operation (CAPSO) menjadi jalan terakhir untuk penderita OSA parah. Fauziah menjelaskan, pembedahan pada pasien OSA dewasa bisa dilakukan dengan memperbaiki sumbatan hidung dan mengurangi ukuran lidah.

“Serta memperbaiki posisi tulang rahang, memperbaiki gigi, serta memperluas rongga jalan napas atas,” ucapnya.

Selain itu, kata dia, pembedahan juga bisa dilakukan dengan mengangkat uvula yang panjang di daerah langit-langit lunak, serta concha reduction untuk mengempeskan struktur lekukan bagian dalam hidung yang membesar.

“Sementara itu, tindakan medis pada pasies OSA anak, dilakukan dengan pengangkatan amandel dan adenoid,” pungkasnya.

Share: Waspadai Gejala OSA, Gangguan Mendengkur dan Henti Napas Saat Tidur