Eksklusif

Yang Manis Tak Selalu Baik

Yopi Makdori — Asumsi.co

featured image
Ilustrasi minuman manis

Sulaeman masih ingat betul ketika diabetes merenggut dua kerabatnya. Ingatan Sulaeman merekam jelas bagaimana keduanya cukup lama menahan sakit sebelum benar-benar pergi.

Setiap duka menyisakan cerita. Pengalaman itu membuat Sulaeman memutuskan untuk mengurangi asupan gula. Setidaknya, niat itu sudah berjalan delapan bulan belakangan.

“Awal-awal sulit, jadi mualnya pelan-pelan tidak langsung blas (sama sekali) tidak makan gula,” ujar Sulaeman kepada Asumsi.co.

Menemukan cara untuk berhenti dari ketagihan manis bukan perkara sederhana. Percayalah itu hal rumit, Sulaeman merasakannya.

“Sempat gak makan nasi, tapi cuman bertahan gak lama. Tapi gula sudah sama sekali gak makan. Sekarang kalau nasi paling lebih ke porsinya saja dikurangi, dan sehari cuman dua kali makan nasi,” katanya.

Susah payah upaya Sulaeman untuk mengurangi gula kadang kandas saat ia bertamu. Laki-laki berusia 28 tahun itu seringkali menghadapi banyak hidangan manis, dan tak jarang jebol juga tembok pertahanannya.

Gula pada dasarnya menjadi zat yang dibutuhkan manusia. Gula sendiri terbagi menjadi beberapa jenis, yakni gula kompleks yang berasal dari makanan seperti nasi, jagung, kentang dan umbi-umbian; serta gula sederhana seperti dari gula pasir dan sirop yang terkandung dalam kebanyakan makan maupun minuman dalam kemasan.

Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat  Institut Pertanian Bogor (IPB) Ali Khomsan mengatakan, kompleksitas gula memengaruhi tingkat kadar gula dara darah. Makanan dengan gula kompleks lebih lambat diproses dalam tubuh manusia, sehingga gula darah dalam tubuh meningkat namun secara bertahap.

Hal itulah yang membuat makanan dengan sumber gula kompleks dianggap lebih sehat bagi mereka yang mengidap penyakit gula darah. Lain halnya dengan gula sederhana seperti dari gula pasir, gula pasir merupakan jenis gula sederhana, yang mana dapat secara instan dipecah menjadi gula darah. Hal itu membuat lonjakkan gula darah secara instan.

Ali Khomsan menjelaskan, makanan seperti nasi ketika masuk ke dalam tubuh akan diolah menjadi polisakarida, kemudian dipecah menjadi disakarida, dan baru selanjutnya menjadi monosakarida. Sementara gula pasir, kata Ali masuk ke dalam tubuh sudah dalam bentuk disakarida sehingga proses untuk menjadi glukosa atau gula darah itu lebih cepat.

“Poli (polisakarida) itu sifatnya kompleks, kompleks itu berarti proses pencernaannya lama. Seperti kita makan nasi, sereal, umbi-umbian. Kalau kita mengenal buah-buahan, susu, itu disakarida yang prosesnya menjadi gula lebih cepat,” kata Ali kepada Asumsi.co beberapa hari lalu.

Kendati gula tergolong dalam gula kompleks, namun menurut Ali namun di antara makan sumber gula kompleks, nasilah yang paling cepat untuk diubah menjadi gula darah.

Fungsi bagi tubuh

Ali menerangkan bahwa gula juga berperan sebagai makanan bagi otak. Makanan utama otak manusia adalah gula yang dikombinasikan dengan oksigen. Ketika manusia kekurangan gula, maka akan menimbulkan rasa kantuk. Hal ini terjadi ketika mereka merasa lapar sehingga membuat tubuh terasa lemas.

Selain buat energi bagi tubuh, gula yang berlebih dalam tubuh manusia dapat disimpan dalam bentuk lemak. Jika timbunan lemak ini berlangsung secara berkesinambungan, maka bakal memicu kegemukan atau obesitas. Obesitas inilah yang nantinya akan membuka kotak pandora dari berbagai macam penyakit.

“Obesitas itu merupakan faktor risiko dari berbagai macam penyakit, hipertensi, penyakit jantung, diabet (diabetes) itu kaitannya dengan obesitas. Jadi bukan semata-mata gula itu menjadi jahat ketika kita minum, namun ketika kita konsumsi berlebihan kemudian menjadi obes (obesitas), maka gula itu menjadi jahat,” katanya.

Yang terjadi pada Otak

Peneliti di BrainsCAN, Western University, Kanada, Amy Reichelt mengatakan konsumsi gula berlebih memang bukan tanpa konsekuensi. Eksperimen terhadap tikus menunjukkan bahwa tikus-tikus yang diberikan makanan tinggi gula kurang mampu mengendalikan perilaku mereka dan membuat keputusan. Amy menegaskan, penelitian ini mengonfirmasi bahwa makan makanan tinggi gula dapat mengubah neuron penghambat pada tikus.

Neuron ini terkonsentrasi di korteks prefrontal, area utama otak yang terlibat dalam pengambilan keputusan, kontrol impuls, dan menunda kepuasan. Jaringan neuron penghambat sangat penting untuk mengendalikan perilaku pada hewan maupun manusia.

Amy Reichelt menjelaskan, konsumsi gula tinggi juga membuat para tikus kehilangan sebagian kemampuan memorinya. Penelitian menunjukkan bahwa tikus yang mengonsumsi makanan tinggi gula kurang dapat mengingat apakah mereka pernah melihat objek di lokasi tertentu sebelumnya.

Gula terindikasi membuat pengurangan neuron baru pada hippocampus, yakni pusat memori utama pada otak. Padahal neuron baru ini dibutuhkan guna pengkodean ingatan. Gula darah yang tinggi pada tubuh manusia dalam jangka waktu berkepanjangan juga memicu terganggunya kemampuan pankreas menghasilkan insulin.

Guru Besar Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Ari Fahrial Syam, menerangkan insulin dibutuhkan guna mengubah gula menjadi energi bagi tubuh.

“Penyakit yang berhubungan dengan gula jelas diabetes mellitus. Apabila kadar gula darah kita di dalam tubuh itu tinggi terus akhirnya terjadi kemampuan daripada insulin untuk memanfaatkan gula dalam tubuh juga terganggu, akhirnya memang dalam waktu panjang gula itu dalam keadaan tinggi. Insulin tidak mampu lagi menyerap,” kata Ari Fahrial Syam kepada Asumsi.co.

Jika hal demikian berlangsung lama, maka menurut Ari akan memicu komplikasi penyakit lain. Bisa mengalami gangguan pada organ ginjal, mata, pembuluh darah, dan syaraf.

Baca Juga:

Tak Selamanya Gula itu Jahat

Mengintip Akibat Kebanyakan Mengkonsumsi Gula

Share: Yang Manis Tak Selalu Baik