Isu Terkini

Akhir Episode 57 Eks Pegawai KPK: Kami Akan Kembali!

Irfan — Asumsi.co

featured image
Asumsi/ Irfan Muhammad

Tanggal 30 September mungkin akan dicatat berbeda oleh bangsa Indonesia. Jika narasi Orde Baru selalu mengaitkan 30 September dengan kup komunis, maka mulai hari ini mungkin akan dicatat sebagai hari pembungkaman Komisi Pemberantasan Korupsi –yang ironisnya dilakukan– oleh negara.

Hari ini, 57 pegawai KPK yang dinyatakan tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan, resmi tak lagi berstatus sebagai pegawai lembaga anti-rasuah itu. Namun alih-alih keluar gedung Merah Putih dengan kepala tunduk, mereka justru tampil dengan kepala tegak. Sesekali kepalan tangan mereka acungkan ke langit, tanda melawan. Senyum diuntai, tanda lega.

Sebaliknya, tangis justru pecah dari kawan-kawan mereka yang masih di dalam. Sesaat setelah 57 eks-pegawai KPK keluar dari Gedung Merah Putih, usai menyelesaikan administrasi, sejumlah pegawai KPK yang aktif ikut keluar seakan mengantar.

Suasananya haru. Mereka melambaikan tangan. Pipi basah karena cucuran air mata. Beberapa bahkan sesenggukan. 

Sementara 57 pegawai meninggalkan gedung. Melintasi bendera yang dipasang setengah tiang. Seorang dari mereka berteriak “We will be back!

Kalah bukan karena salah

“Waktu pertama tahu, tentu sedih,” kata Novariza membuka pembicaraannya dengan Asumsi.co. Ia mengenang hari ketika dirinya diumumkan menjadi satu dari 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK.

Padahal, saat proses asesmen, pertanyaan yang ditanyakan biasa saja. Tidak ada pertanyaan sensitif seperti yang beredar di publik ditanyakan oleh asesor kepadanya. 

Namun toh ternyata dirinya masuk ke kelompok yang semula berjumlah 75 itu. Ia dicap tidak memiliki wawasan kebangsaan.

“Padahal 14 tahun kan saya. Dari tahun 2007 di Indonesia Memanggil 2. Masak dilepeh begini aja,” kata dia.

Tetapi kesedihan Nova tak berlangsung lama. Ia sadar dirinya “kalah” bukan karena salah. Nova bersama 57 teman lainnya dikalahkan oleh sistem yang seolah disiapkan untuk menyingkirkan orang-orang sepertinya. Orang yang punya komitmen memberantas korupsi.

“Kami kan tidak salah. Toh semangat pemberantasan korupsi tetap ada di kami,” kata dia tegas.

Semangat ini yang membuat hari-hari terakhirnya di KPK menjadi lebih ringan dan tanpa beban. Perempuan yang menjabat sebagai Spesialis Kerja Sama di KPK ini menyebut keharuan justru datang dari teman-teman yang masih aktif.

Berujung ‘direformasi’

Koordinator Bidang Pengembangan Wadah Pegawai KPK ini menilai keharuan dan kecanggungan yang diperlihatkan oleh kawan-kawan KPK yang masih aktif mungkin memperlihatkan kebingungan mereka.

Soalnya, meski secara moral mendukung perjuangan pegawai KPK yang dipecat, secara instusional para pegawai aktif ini justru mendapat tekanan.

“Karena mungkin mereka merasa enggak bisa ngapa-ngapain. Bahkan ngasih bentuk dukungan surat saja dipanggil oleh pengawas internal,” ucap dia.

Penyidik Madya KPK, Praswad Nugraha juga berbagi ceritanya kepada Asumsi.co. Saat pertama kali mendengar dirinya tak lolos TWK, ia sudah tahu kalau karirnya di KPK akan segera kelar.

Apalagi ia berada di sejumlah posisi penting yang mungkin dianggap “mengancam”. Praswad ikut menyidik kasus korupsi Bansos, ia juga bagian dari Kepala Advokasi Wadah Pegawai KPK dan tim advokasi Novel Baswedan.

“Jadi sudah jelas lah. Praswad Nugraha sudah jelas. Andai kata ada nama bang Novel, setelah itu pasti saya,” kata Praswad.

Sejak era kepemimpinan Firli, Praswad memang sudah merasakan banyak hal yang berbeda di KPK. Tradisi kesederhanaan di KPK tak lagi sama. Ia punya perbandingan karena sudah 15 tahun berkiprah di KPK.

Sejak kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, beralih ke Antasari Azhar, lalu Abraham Samad, hingga Busyro Muqoddas.

“Dulu ajudan cuma satu, enggak kayak sekarang bermobil-mobil, pakai pengawalan dan lain-lain. Memang budaya kita kan enggak begitu. Kita kan memang lembaga anak kandung reformasi. Menjauhkan dari birokrasi. Termasuk menjauhkan dari ASN,” kata dia.

Namun dengan adanya revisi UU KPK, pegawai KPK yang semula independen malah dinilai sebagai pegawai tidak jelas yang mesti dikuatkan statusnya dengan status ASN. Padahal, salah satu semangat pembentukan KPK adalah mereformasi birokrasi yang selama ini dinilai tidak sehat.

“Makanya harus dibuat reformasi birokrasi. Yang satu-satunya punya program reformasi birokrasi itu kan pertama kali KPK. Kok malah sekarang kami yang direformasi,” kata dia.

Disambut hangat

Setelah menyelesaikan administrasi kepegawaian di Gedung Merah Putih, 57 eks-pegawai KPK mengadakan long march ke Gedung KPK lama yang jaraknya tak begitu jauh dari Gedung Merah Putih. Long March ini seolah menjadi simbol kalau semangat pemberantasan korupsi dimulai dari Gedung KPK yang lama, bukan yang baru. 

Ke-57 eks-pegawai ini dibina, ditempa, dan kemudian berkiprah memberantas korupsi dari Gedung KPK lama. Dalam pernyataan publiknya, mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto bahkan menyebut, gedung KPK lama adalah titik nol pemberantasan korupsi.

Dalam perjalanan menuju Gedung KPK lama, tampak sejumlah Polisi berjaga. Namun itu tak menyurutkan langkah sejumlah masyarakat sipil untuk menyambut 57 eks-pegawai KPK ini. 

Membawa bunga tanda simpati dan memberi pelukan hangat tanda solidaritas, mereka datang dari berbagai kelompok masyarakat. Ada Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid, Ketua YLBHI Asfinawati, hingga mantan pimpinan KPK sendiri.

Selain Bambang, terlihat juga Saut Situmorang, Busyro Muqoddas, hingga Abraham Samad. Tampak pula sejumlah keluarga 57 eks-pegawai KPK. Salah satunya, Rina Emilda, istri Novel Baswedan yang berjalan di samping suaminya.

Kekecewaan

Sesampainya di Gedung Lama KPK, sejumlah mantan pimpinan memberikan pernyataannya. Saut mungkin menjadi yang paling keras. Tampil necis dengan topi fedora, Saut tampak kecewa dengan respons Presiden Joko Widodo dalam menyikapi pemecatan 57 pegawai KPK. Ia kecewa karena mantan Wali Kota Solo itu seolah angkat tangan dan tak mau ambil pusing.

“Sayangnya Presidennya hanya diam dan bilang itu bukan urusan saya. Itu urusan siapa? Pemberantasan korupsi, pedangnya itu dipegang oleh presiden. Jadi kalau dia bilang ini bukan urusan saya, lantas urusanmu apa?,” kata Saut lantang.

Terlihat emosional, Saut pun melabeli orang yang menyebut pemberantasan korupsi di Indonesia tengah berada di jalan yang benar sebagai pembohong. Menurut dia, alih-alih berjalan baik, justru terjadi kemunduran besar dalam penanganan korupsi di negeri ini. 

“Ini ada 57 orang yang portofolionya baik, punya pengalaman memberantas korupsi, malah disia-siakan cuma karena TWK,” ucap dia.

Kendati demikian, Saut percaya, 57 pegawai KPK yang dipecat tidak akan mundur dari kerja-kerja pemberantasan korupsi di negeri ini. Ia juga memastikan ini adalah awal, dan mereka tak akan kemana-mana.

“Terima kasih kepada 57 pegawai. Anda adalah prajurit-prajurit saya yang saya banggakan selama ini. Hari ini kita mulai, dan siapa yang berhenti memberantas korupsi, itu bukan ada di barisan kita dan sebaiknya dia mundur,” kata Saut.

“Orang-orang yang ada di barisan kita adalah orang yang bertanggung jawab terhadap negeri ini. Tidak mengatakan: Ini bukan tanggung jawab saya. Tidak begitu kepemimpinan. Jangan pernah berhenti apalagi takut!,” ucap dia.

Ya, hari ini 57 pegawai KPK mungkin telah pergi dari lembaga anti-rasuah itu. Tetapi seperti kata Saut, kerja-kerja pemberantasan korupsi tak boleh berakhir. Mereka baru mulai. Suarnya dinyalakan oleh 57 eks-pegawai KPK yang disisihkan oleh proses TWK.

Share: Akhir Episode 57 Eks Pegawai KPK: Kami Akan Kembali!