Muhammad Sholeh paham betul bila diajak bicara soal dunia dangdut. Bagaimana tidak, pendiri Orkes Melayu (OM) Selera Rakyat (SERA) itu sudah berurusan dengan dangdut sejak 1988.
“Hampir semua lagu saya suka. Semua genre dangdut. Dangdut dan koplo menganggapnya hampir sama, cuma hanya warna musiknya saja, irama-iramanya sama, cuma hanya gendangnya yang saja yang menurutku (beda),” ujar Sholeh saat berbincang dengan Asumsi.
Di mata sholeh, dangdut sanggup terus berevolusi. Lagu-lagu dangdut bisa ada di banyak situasi. Perkara ketimpangan ekonomi lagu dangdut hadir, soal kritik sosial lagu-lagu Rhoma Irama empunya.
Tentang nasehat, syair di lagu-lagu Rhoma Irama pun masih juaranya. Belum cukup? dangdut selalu menyediakan tempat khusus untuk orang-orang patah hati.
Menurut Sholeh, saat ini dangdut tak hanya menjadi musik orang kampung. Ia menyebut perkembangan dangdut semakin pesat setelah tahun 2010.
“Dangdut sekarang tidak seperti dulu, dangdut klasik, (sekarang) pop dangdut. Musiknya itu ada DJ juga. Dangdutnya itu sudah dikolaborasi dengan musik-musik modern,” imbuh Sholeh.
Dangdut selalu menyesuaikan pasarnya. Beda generasi, beda selera. Bila anak-anak muda tertarik dengan dangdut kekinian macam Denny Caknan, maka generasi sebelumnya masih kekeh dengan lagu-lagu klasik Rhoma Irama Cs.
Hal itu, kata Sholeh, membuat OM SERA mau tidak mau menyesuaikan diri di setiap acara. Sholeh mengaku setelah belasan tahun berkarya OM SERA mampu melihat peta pasar dangdut.
“Iya. kami harus tahu dan ikutin temanya, ngundang siapa dan apa. kami ikutin. Undangnya orang-orang tua kayak reuni yang lagu klasik, ada campursari,” ujar Sholeh.
Dangdut koplo
Andrew N. Weintraub dalam buku ‘Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia’ menulis, koplo tercipta pada awal hingga pertengahan 1990-an dan meledak pada ‘masa-masa gila’ pasca lengsernya rezim Orde Baru (kepresidenan Soeharto). Koplo tercipta di masa ketidakstabilan dan kekacauan, tetapi penuh dengan energi dan harapan.
Kepopuleran koplo terjadi setelah penyanyi dangdut asal Pasuruan, Jawa Timur, Inul Daratista dengan ‘goyang ngebor’-nya terkenal di televisi nasional. Pasca ketenaran Inul Daratista, dangdut dengan ‘goyangan’ erotis yang telah lama menjadi bagian dari praktik pertunjukan pedesaan Jawa semakin diminati. Khususnya, di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Gaya pertunjukan itu dapat ditemui dalam konser grup musik dangdut, seperti Trio Macan (Lamongan), Palapa (Sidoarjo), Monata (Mojokerto), Sera (Gresik), Evita (Gresik), Sanjaya (Blora), Sakatto (Probolinggo), dan Putra Dewa (Tuban). Karakter pertunjukan koplo berakar dari tari ronggeng pedesaan Jawa. Sedangkan musiknya dipengaruhi berbagai genre musik, termasuk metal, house, dangdut, hingga jaipongan.
Sementara itu, pengamat musik Ryan Kampua menilai, dangdut semakin disukai berbagai kalangan seiring dengan perkembangan teknologi dan keterbukaan informasi.
“Yang tadinya mungkin hanya ada di angkot ya dan itu sebenarnya sudah ada mungki 90-an. Cuma karena lingkupnya masih kecil sekali, karena tidak ada sosial media,” tutur Ryan.
Kecanggihan teknologi sebabkan pengaplikasian suatu musik menjadi semakin beragam. Notasi (titi nada) dangdut sangat ringan, sehingga bisa diaplikasikan ke genre apapun. “Dia mau beat (irama) yang seperti apa, mau cengkoknya dibagaimanakan bisa. Bahkan, bisa dikasih efek apapun, menarik sekali,” ujar Ryan.
Perkembangan teknologi dan keterbukaan informasi menyebabkan dangdut bisa di-remake (dibuat ulang) seperti apapun dan bisa mengaplikasikan musik hits saat ini agar bisa diterima anak muda.
“Orang akan penasaran kan musik aslinya kek gimana. Malah lebih enak musik barunya kadang-kadang, karena musik dulunya terlalu biasa banget,” ucapnya.
Musik yang merakyat
Dangdut dapat menjadi media komunikasi partai politik (parpol) saat kampanye karena dekat dengan segala lapisan masyarakat. Konser dangdut dapat menjadi magnet untuk meraih simpati masyarakat.
“Yah, tinggal taruh di situ musik dangdut. Ada suatu suara apa dari mana, ini apa kok seru sekali atau diinformasikan ada siapa-siapa itu udah otomatis kayak ada magnet sendiri ‘wah ini musik gue’ otomatis datang. Hiburan yang sangat merakyat itu musik dangdut,” tutur Ryan.
Kalau ingin lebih merakyat lagi, kata dia, konser dangdut itu perlu mengakomodir genre musik campur sari, koplo, pop, hingga rock. Bagi para calon pejabat di pemerintahan yang bersaing di pemilu, musik dangdut bisa merelaksasikan ketegangan selama kampanye.
Menurut Ryan, aransemen dan lirik musik memungkinkan dangdut diterima di berbagai kelas sosial masyarakat. Aransemen dan lirik musik dangdut sederhana serta mewakili semua penikmat musik.
“Cuma masalah gengsi aja sebenarnya. Jadi, kita enggak perlu heran kalau sekelas Presiden aja bisa senyum dan goyang,” ucapnya.
Lirik lagu dangdut biasanya bersinggungan dengan kehidupan sehari-hari. Lirik lagu dangdut memiliki diksi yang bersahaja dan menyentuh.
“Kalau susah, ya susah banget. Kalau senang, apa adanya. Enggak ditutupi. Beda dengan (musik) pop yang kalau senang hiperbolanya luar biasa,” ujar Ryan.
Disisi lain, tabuhan gendang dalam musik dangdut sangat natural dan manusiawi. “Ketika mendengar beat dari sebuah gendang yang menarik, itu bisa lho orang sekelas pejabat goyang gitu ya. Itu secara tidak langsung,” tutur Ryan.
Setali tiga uang, peneliti musik dangdut, Rubiyanto menilai, lirik lagu dangdut mudah dimengerti. Lirik lagu dangdut mewakili pengalaman semua manusia tanpa memandang kelas sosialnya. Misalnya, persoalan percintaan, perselingkuhan, hingga keluhan hidup di rumah mertua.
Sedangkan diksi lirik lagu dangdut tidak terlalu puitis, tetapi filosofis.
“Karena dangdut itu adalah rakyat. Budaya rakyat. Jadi, liriknya enggak sulit, (enggak membuat) orang berpikir keras. Bahasa-bahasa yang identik (akrab) dengan mereka,” ucapnya.
Baca Juga:
Tahun Politik Datang, Dangdut Berdendang