Isu Terkini

Pengamat: Kalau Pejabat Tak Mau Dikritik, Tak Ada Demokrasi

Irfan — Asumsi.co

featured image
Foto: ANTARA/Fianda Sjofjan Rassat

Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan resmi melaporkan pendiri lembaga HAM Lokataru, Haris Azhar, dan koordinator KontraS, Fatia. Laporan ini Luhut layangkan, setelah sebelumnya ia mengajukan somasi terkait tayangan bincang daring Fatia dan Haris yang menyebut ada relasi ekonomi dalam Operasi Militer di Intan Jaya.

Pelaporan aktivis oleh pejabat kepada polisi, atas penelitian dan kajian yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bukan kali ini saja terjadi. Begitu juga dengan somasi.

Masih hangat diingatan kita, ketika Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko yang mensomasi dan melaporkan dua peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) karena merilis kajian soal dugaan kepentingan di promosi Ivermectin. Alih-alih mengklarifikasi, jalan somasi kemudian langkah yang mengarah kriminalisasi justru diambil para pejabat ini. Hal-hal tersebut lantas dinilai menjadi sebuah kemunduran dalam demokrasi di Indonesia.

Menanggapi ini, Asfinawati dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menyebut, yang dilakukan oleh para pejabat ini adalah bentuk ketidakmauan mereka menanggapi kritik. Padahal sebagai pejabat publik, mereka terikat dengan etika, kewajiban hukum, dan harus bisa dikritik.

“Kalau mereka tidak mau dikritik, tidak ada suara rakyat. Kalau tidak ada suara rakyat, tidak ada demokrasi,” kata Asfi, dalam diskusi virtual, baru-baru ini.

Asfi tak memungkiri kalau sebagai individu, Luhut punya hak untuk melaporkan. Namun, yang dikritik oleh Fatia terkait temuan koalisi masyarakat sipil, perihal indikasi kepentingan ekonomi dalam serangkaian operasi militer ilegal di Intan Jaya, Papua bukanlah merujuk Luhut sebagai individu, melainkan Luhut sebagai pejabat publik.

Publik juga bisa melihat, ada respons-respons yang tidak bisa dibedakan antara juru bicara sebagai pejabat atau individu.

“Begitu pun Fatia, dia bertindak sebagai koordinator KontraS, bekerja untuk organisasi, dengan begitu dia tidak bisa dilihat sebagai individu. Kalau merujuk UU ITE kan disebut ‘setiap orang’, dan Fatia bukan sebagai individu tapi bergerak dengan mandat organisasi,” ucap dia.

Apalagi, apa yang disampaikan oleh Fatia dan Haris adalah tentang kepentingan publik. Dengan begitu, publik makin tahu dan mestinya laporan ini dijawab oleh pemerintah bukan dilaporkan.

Asfi pun menyebut, kalau kondisinya seperti ini, maka bukan lagi masyarakat yang mengawasi kerja pemerintah tetapi sebaliknya, aparat mengawasi kerja rakyat.

“Ini adalah salah satu ciri negara yang otoriter,” kata Asfi yang juga jadi bagian tim kuasa hukum Haris dan Fatia.

Pernyataan yang sama disampaikan oleh Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid. Menurut Usman, pelaporan ini malah menunjukkan kecenderungan pejabat pemerintah yang sukanya menjawab kritik, bukan dengan klarifikasi tetapi ancaman pidana. Ini bertolak belakang dengan pernyataan Presiden yang berulang kali bilang berkomitmen pada kebebasan berpendapat.

Upaya Luhut pun dinilai akan memperburuk citra pemerintah dan mengurangi partisipasi masyarakat. Berbagai survei belakangan ini termasuk survei Indikator Politik Indonesia pada Oktober 2020 menunjukkan mayoritas masyarakat, yaitu 79,6% responden, semakin takut menyatakan pendapat.

“Pelaporan ini akan meningkatkan ketakutan tersebut, sehingga enggan memberikan masukan kepada pemerintah, apalagi mengungkapkan kritik terhadap pihak berkuasa,” ujar Usman.

Padahal, bila ada data yang kurang akurat, pejabat cukup mengoreksi dengan data kementerian yang dipimpinnya daripada melakukan kriminalisasi. Menurut Usman, tidak sulit bagi kementerian untuk membuka data tentang perusahaan mana saja yang berinvestasi di Blok Wabu, baik negara maupun swasta, serta siapa saja pihak yang terkait.

Berdasarkan Riset

Untuk diketahui, pernyataan yang disampaikan Fatia dalam bincang daring bersama Haris didasarkan pada riset yang diluncurkan KontraS bersama Walhi Eknas, Jatam Nasional, YLBHI, Yayasan Pusaka, LBH Papua, WALHI Papua, Greenpeace, Bersihkan Indonesia dan Trend Asia.

Riset ini mengkaji keterkaitan operasi militer ilegal di Papua, dan industri ekstraktif tambang dari sudut pandang ekonomi-politik.

Dalam kajian koalisi, ada empat perusahaan di Intan Jaya yang teridentifikasi dalam laporan ini yakni PT Freeport Indonesia (IU Pertambangan), PT Madinah Qurrata’ain (IU Pertambangan), PT Nusapati Satria (IU Penambangan), dan PT Kotabara Mitratama (IU Pertambangan).

Dua dari empat perusahaan itu yakni PT Freeport Indonesia, dan PT Madinah Qurrata’ain adalah konsesi tambang emas yang teridentifikasi terhubung dengan militer/polisi termasuk bahkan dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.

Sempat Disomasi

Sebelum melayangkan laporan ke Polisi, Luhut melalui kuasa hukunnya sempat mengirim somasi. Namun karena tidak diindahkan, Luhut memilih mengambil jalur hukum.

Menurut dia, pilihan ini ia ambil karena merasa mesti mempertahankan nama baiknya dan keluarganya. Ia pun menilai, Fatia dan Haris keterlaluan karena tak kunjung minta maaf.

“Tidak mau minta maaf, sekarang kami ambil jalur hukum, saya pidanakan dan perdatakan,” ujar Luhut.

Luhut menyebut, tidak ada kebebasan absolut. Lewat pelaporan ini, ia ingin ingatkan kepada publik bahwa semua kebebasan bertanggung jawab.

“Saya punya hak membela hak asasi saya, karena saya tak melakukan (yang dituduhkan) itu,” imbuh Luhut.

Share: Pengamat: Kalau Pejabat Tak Mau Dikritik, Tak Ada Demokrasi