Tim Advokasi Bersihkan Indonesia, menyampaikan pernyataan sikapnya soal laporan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, kepada Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekarasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti, dan Direktur Lokataru Haris Azhar ke Polda Metro Jaya.
Keduanya dilaporkan, usai Luhut merasa difitnah ketika mereka mengulas video Ada Lord Luhut Dibalik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!.
Video itu berisi hasil riset sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) soal keterlibatan sejumlah pejabat negara dan purnawirawan TNI AD, di balik bisnis tambang emas atau rencana eksploitasi daerah Blok Wabu di Intan Jaya, Papua.
Potensi Kriminalisasi
Koordinator Tim Advokasi #BersihkanIndonesia Asfinawati menilai, tindakan tersebut dapat dimaknai sebagai upaya kriminalisasi atas hak kebebasan berekspresi dan berpendapat, sekaligus dapat dimaknai sebagai pembungkaman kritik.
Pelaporan yang dilakukan Luhut menurutnya, semakin menunjukkan bahwa ada resistansi peran sebagai pejabat publik yang enggan menerima kritik dari masyarakat.
“Tindakan pelaporan yang dilakukan pejabat publik semakin menegaskan bahwa kondisi kebebasan sipil semakin menyusut,” kata Asfinawati melalui konferensi pers virtual, Rabu (22/9/2021).
Hal ini kata dia, tidak bisa dibiarkan karena berpotensi terjadinya kriminalisasi. Oleh sebab itu, tim advokasi menyatakan siap memberikan pendampingan hukum untuk Fatia dan Haris.
“Jika terus dibiarkan, maka potensi kriminalisasi terhadap para pembela hak asasi manusia akan semakin meningkat.
Kami melihat yang melaporkan adalah pejabat publik. Pejabat publik harus bisa dikritik,” terangnya.
Ia menegaskan, pejabat publik harus bersedia dikritik oleh masyarakat. Bila tidak mau dirkitik, maka tidak ada suara rakyat yang artinya, tidak akan tercipta iklim demokrasi yang baik.
“Kalau LBP atau kuasa hukumnya mengatakan mereka punya hak sebagai individu, benar, tapi yang dikritik Fatia adalah LBP sebagai pejabat publik, bukan sebagai individu. Kemudian, kami juga mempertanyakan respons-respons yang tidak bisa dibedakan, antara disampaikan oleh juru bicara individu atau kementerian,” tuturnya.
Ciri Otoriter
Asfinawati pun mengingatkan, Fatia dan Haris selaku pihak yang dilaporkan oleh Luhut tidak bisa digugat secara hukum atas nama pribadi masing-masing.
Sebab, keduanya mewakili masing-masing lembaga saat berbicara di dalam video yang dipersoalkan oleh mantan Menko Polhukam itu.
“Kedua pihak yang dilaporkan bertindak ketua mewakili organisasi, maka tidak bisa diindividualisasi lewat Undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Konstitusi kita juga mengatakan ada peranan setiap orang dalam merespons urusan pemerintahan,” imbuhnya.
Ia mengungkapkan, sebetulnya publik mesti berterima kasih ke Fatia dan Haris Azhar karena menyuarakan suara publik yang selama ini tak berani diungkapkan secara terbuka.
“Tentu yang mensomasi seharusnya masyarakat. Ini kan terbalik, artinya aparat penerintah mengawasi dan mengkriminalisasi rakyat. Ini adalah ciri-ciri otoriter,” ucapnya.
Tak Akan Minta Maaf
Nurkholis Hidayat selaku kuasa hukum Haris Azhar menyesalkan adanya laporan ini. Sebab selama ini, ia mempertanyakan itikad baik pihak Luhut yang berkali-kali enggan menunjukkan adu data yang dimilikinya dengan kajian yang dinilai sebagai fitnah.
“Dari setiap somasi, kami berikan jawaban yang menyatakan kami meminta data yang dianggap LBP sebagai fitnah, temasuk undangan yang kami sampaikan pada 14 September lalu, untuk memberikan klarifikasi,” terangnya dalam kesempatan yang sama.
Namun, Nurkholis mengungkapkan kalau pihak Luhut menolak undangan tersebut. Hal ini dianggap sebagai tidak adanya itikad untuk mendiskusikan persoalan ini secara baik-baik.
“Kalau tujuannya supaya klien kami meminta maaf, klien kami bersikap ksatria kalau salah minta maaf. Kalau tidak, maka akan mempertahankan haknya, apapun risikonya termasuk gugatan ini,” ujarnya
Ia menegaskan, sampai saat ini, belum ada bantahan melalui data yang valid sebagai bentuk pembelaan Luhut yang merasa difitnah oleh kajian KontraS.
Oleh sebab itu, dirinya memastikan tidak ada niatan dari Haris Azhar untuk mengoreksi atau menyampaikan permintaan maaf kepada Luhut.
“Maka, kami tetap meminta data itu terkait tudingan LBP. Gugatan ini merupakan kesempatan kita untuk membuka seluas-luasnya kepada publik yang akan melihat, bagaimana sosok LBP dan jejak langkahnya dalam konflik kepentingan di Papua, yang berdampak pada kehidupan masyarakat di sana,” jelas dia.
Harap Tak Ditindaklanjuti Polisi
Sementara itu, Direkrut Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid, yang juga tim kuasa hukum Fatia menyebut, gugatan yang disampaikan Luhut kepada kliennya tidak etis.
“Tidak etis seorang pejabat negara menuntut warga negara sendiri. Ini kecenderungan pemerintah menjwab kritik dengan ancaman pidana. Tentu bertolak belakang dengan pernyataan Presiden Jokowi yang menjamin kebebasan masyarakat berpendapat,” ujarnya.
Sebetulnya, kata dia, Luhut tak perlu sampai membawa persoalan ini ke ranah hukum. Menyampaikan klarifikasi dengan membuka data yang valid soal perusahaan mana saja yang berinvestasi di Blok Wabu, merupakan langkah yang lebih tepat dilakukan.
Menurutnya, kekuasaan Luhut sebagai menteri koordinator di pemerintahan, tidak semestinya digunakan untuk mengancam aktivis melalui hukuman pidana atau perdata dalam perkara semacam ini.
“Ini bisa mengurangi aspirasi masyararakat kita dalam memberikan masukannya atau kritik kepada pemerintah,” tegasnya.
Oleh sebab itu, Usman mengharapkan, pihak kepolisian tidak menindaklanjuti laporan ini demi menjaga kepentingan bangsa.
“Jangan berada di atas pemerintah yang berkuasa. Kami berharap, laporan ini tidak ditindaklanjuti demi menjaga kemerdekaan masyarakat untuk berpendapat,” tandasnya.