Kesehatan

Studi: Masalah Keluarga Jadi Faktor Risiko Orang Bunuh Diri

Joko Panji Sasongko — Asumsi.co

featured image
Pixabay

Masalah keluarga, masalah keuangan dan kesepian termasuk
faktor risiko orang melakukan bunuh diri, demikian diungkap hasil penelitian
yang dilakukan Emotional Health for All Foundation (EHFA), Kementerian
Kesehatan dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Studi yang diklaim terbesar tentang bunuh diri di Indonesia
itu menghadirkan lebih dari 100 jam wawancara mendalam untuk melakukan
investigasi beragam aspek bunuh diri di Indonesia.

“Kami menganalisis data dari pemerintah, termasuk survei
desa potensi, dan data kepolisian, dimana hasil dan rekomendasinya kami
sampaikan pada kesempatan ini,” ujar Ketua EHFA Dr. Sandersan Onie seperti
dilansir Antara.

Hasil temuan menunjukkan angka kejadian bunuh diri di
Indonesia yang tidak dilaporkan diperkirakan lebih dari 300 persen, atau angka
sesungguhnya bisa minimal empat kali lipat dari yang dilaporkan.

“Hal ini merupakan prosentase tertinggi dari jumlah
kejadian yang dilaporkan secara nasional di dunia,” ungkap Sandersan.

Menurut studi, laporan yang tidak tercatat karena beragam
alasan termasuk perbedaan standar dan sistem pencatatan bunuh diri di rumah
sakit, serta banyak keluarga masih menyembunyikan kejadian bunuh diri akibat
rasa malu dan stigma masyarakat.

Hasil riset juga menunjukkan provinsi dengan kejadian bunuh
diri tertinggi yakni di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, Maluku Utara dan
Kepulauan Riau.

Sedangkan provinsi dengan tingkat upaya bunuh diri tertinggi
ditemukan di Sulawesi Barat, Gorontalo, Bengkulu, Sulawesi Utara dan Kepulauan
Riau.

“Untuk setiap kematian akibat bunuh diri, kemungkinan
terdapat 8-24 kali upaya percobaan bunuh diri, dengan penyebab tertinggi
diakibatkan oleh tekanan psikologis, penyakit kronis dan masalah keuangan,”
ujar Sandersan.

Menurut studi, komunitas; akses ke perawatan psikologis;
serta agama dapat menjadi faktor protektif yang dapat mencegah terjadinya bunuh
diri.

Selain itu, kelompok-kelompok independen yang juga berperan
dalam beberapa upaya pencegahan bunuh diri. Namun mayoritas upaya tersebut
tidak maksimal, tidak terkoordinasi dan seringkali tidak didasarkan pada
penelitian kontekstual yang baik.

Rekomendasi

Sandersan menyampaikan, sebagai upaya pengembangan program
“Strategi Pencegahan Bunuh Diri Nasional” yang dimulai pada 2021 dan
dilaksanakan secara kolaboratif antara Direktorat Kesehatan Jiwa dan
Pengendalian NAPZA Kementerian Kesehatan, WHO Indonesia dan EHFA, tim Peneliti
merekomendasikan sejumlah langkah rekomendasi.

Rekomendasi ini yakni perlunya kebijakan nasional melalui
kerjasama dengan institusi terkait, pengentasan moralisasi bunuh diri dari sisi
agama, peningkatan penelitian akademis secara terlatih dan sistemik.

Kemudian, pembentukan asosiasi lintas disiplin sebagai
pengawasan upaya pencegahan bunuh diri, melakukan intervensi dengan pembatasan
sarana bunuh diri, meningkatkan kesadaran dan pengetahuan akademis tentang
bunuh diri sebagai upaya pencegahan bunuh diri berdasarkan situasi, kondisi dan
kearifan lokal setempat.

Baca juga: Psikolog sarankan waktu makan anak tanpa gawai

Tim Peneliti lalu merumuskan “Strategi Pencegahan Bunuh Diri
Nasional” melalui dua langkah utama yaitu membentuk Asosiasi Indonesia untuk
Pencegahan Bunuh Diri (Indonesian Association for Suicide Prevention – INASP)
dan mengangkat tema bunuh diri sebagai stigma berbagai agama.

Menurut Sandersan, Asosiasi Indonesia untuk Pencegahan Bunuh
Diri akan menjadi sarana membangun jaringan para pemangku kepentingan di
seluruh Indonesia, sebagai badan perwakilan nasional untuk Pencegahan Bunuh
Diri Indonesia di panggung internasional, dan sebagai pusat data tentang bunuh
diri yang andal.

Asosiasi melalui laman Inasp.id menunjukkan data termasuk
tingkat bunuh diri dan pencobaan bunuh diri setiap provinsi, dan data krusial
lainnya yang belum pernah dibuka untuk umum.

Baca Juga

Share: Studi: Masalah Keluarga Jadi Faktor Risiko Orang Bunuh Diri