Isu Terkini

Video Santri Tutup Telinga Saat Dengar Musik Viral, Hati-hati Jangan Menstigma

Irfan — Asumsi.co

featured image
Ilustrasi santri. Foto: Unsplash.

Video para santri penghafal Alquran yang menutup telinga saat antre di tempat vaksinasi, sedang ramai diperbincangkan. Alasan para santri ini menutup telinganya, karena ada musik yang diputar.

Video berdurasi 0:23 detik itu, lantas jadi sorotan. Sebagian warganet menilai hal tersebut merupakan bentuk indoktrinasi pengharaman atas musik. Sebagian bahkan terburu-buru menyamakan perilaku santri-santri ini dengan gerakan Islam radikal seperti Taliban, ISIS, Al Qaeda, pemahaman Wahabi Takfari, hingga menyuruh para santri untuk pindah saja ke Afghanistan.

Yang lain, ada juga yang mendukung para santri itu. Beberapa warganet berpendapat bahwa apa yang dilakukan para santri ini, justru bentuk toleransi. Mereka boleh meyakini bahwa musik itu haram. Tetapi alih-alih meminta panitia mematikan musik, mereka lebih memilih untuk menutup telinga mereka sendiri.

Bentuk stereotip

Ragam pendapat menyikapi video ini pun membuat sejumlah pakar turut buka suara. Kepada Asumsi.co, sosiolog Universitas Indonesia Rissalwan Habdy Lubis menilai, cap radikal berlebihan yang disematkan oleh warganet soal perilaku para santri tersebut adalah bentuk stereotip.

Menurut Rissalwan, kecenderungan ini memang kerap dibangun dalam kelompok sosial budaya tertentu. Misalnya, suku A adalah pedagang ulung, atau suku B di-stereotip sebagai pelaut handal. Stereotip ini didasarkan pada simbol-simbol yang terlihat pada interaksi sehari-hari.

“Dalam kasus ini, stereotyping kepada para santri tersebut ditudingkan oleh kelompok yang dangkal pemahamannya. Di benak mereka, simbol Islam adalah identik dengan radikalisme bahkan terorisme,” kata Rissalwan.

Menurut dia, penuding terlanjur punya anggapan salah. Padahal, bisa jadi untuk menjaga hafalannya, para santri ini membutuhkan pembatasan audio yang tidak berhubungan dengan target hafalan.

“Itu adalah proses dari belajar menghafal Alquran,” katanya.

Lain dari itu, ada definisi mayoritas-minoritas yang ambigu karena peran otoritas negara yang justru, memfasilitasi kelompok minoritas untuk menekan mayoritas. Dalam konteks ini, Rissalwan menjelaskan tudingan radikal misalnya, hanya ditujukan pada mayoritas.

“Padahal, stigma yang diberikan mungkin hanya relevan pada bagian kecil dari kelompok mayoritas. Jadi, pihak yang menuding perilaku santri ini berhubungan dengan radikalisme adalah stigma yang keliru atau false stigma. Dan sangat disayangkan karena otoritas negara tidak dengan cepat meluruskan kekeliruan ini,” ucap Rissalwan.

Rissalwan menyebut, hal ini terjadi imbas dari pecah belah politik. Namun kini, pecah belah itu bukan lagi tentang Capres 1 atau 2, tetapi lebih kepada penguasa dengan rakyat.

“Rakyat menginginkan perubahan atas indikasi pembiaran pada ketidakadilan, dan juga arogansi kelompok elit yang berkuasa,” ucap dia.

Bukan indikator radikal

Sementara itu, founder Wahid Foundation, Yenny Wahid, menilai kalau apa yang dilakukan oleh santri-santri itu bukanlah indikator dari radikalisme. Melalui akun Instagram @Yennywahid, putri Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini pun membagikan pengalaman kawan baiknya Gus Fatir.

Ia merupakan seorang penghafal Quran sejak kecil dari Pesantren Al-Kenaniyah, yang memang mengakui perlunya ketenangan untuk menjaga hafalan Alquran.

“Jadi kalau anak-anak ini oleh gurunya diprioritaskan untuk fokus pada penghafalan Alquran, dan diminta untuk tidak mendengar musik, itu bukanlah indikator bahwa mereka radikal,” kata Yenny.

Yenny malah senang para guru dari santri-santri ini masih mau datang ke tempat vaksinasi. Dengan divaksin, mereka bukan saja melindungi dirinya, tetapi juga orang-orang sekeliling dari ancaman Covid-19.

Yenny pun meminta semua pihak, lebih proporsional dalam menilai orang lain. Jangan begitu mudahnya memberi cap seseorang radikal, sebagaimana jangan pula mudah mengecap orang lain kafir.

“Menyematkan label pada orang lain hanya akan membuat masyarakat terbelah. Mari kita belajar untuk lebih saling mengerti satu sama lain, dan itu bisa dimulai dengan memahami dan menerima bahwa nilai yang kita anut tidak perlu sama, untuk bisa tetap bersatu sebagai bangsa Indonesia,” ucap Yenny seraya memanjatkan doa agar para santri penghafal Quran ini mendapat berkah yang melimpah.

Melalui akun Twitter @na_dirs, cendekiawan NU yang bermukim di Australia, Nadirsyah Hosen, juga ambil suara. Pria yang akrab disapa Gus Nadir ini, memaparkan kemajukan hukum Islam dalam memandang musik.

Menurut Gus Nadir, mereka yang memilih mengharamkan musik hendaknya tidak buru-buru dianggap seperti Taliban. Karena pada kenyataannya, memang ada ulama yang mengharamkan musik, sebagaimana ada juga yang membolehkannya.

Sementara yang mengharamkan pun, punya dasar rujukan. Pada titik ini, kata Gus Nadir, sikap yang perlu diambil adalah saling hormat pada pilihan masing-masing.

Gus Nadir pun tak memungkiri buat yang mengharamkan, mendengar musik adalah sebuah dosa selain bisa membuat hafalan Quran si penghafal jadi lupa. Sementara penghafal Quran yang membolehkan musik pun mengakui, kalau musik bisa melalaikan mereka untuk murajaah (mengulang hafalan).

“Jadi, belum tentu semua santri yang enggak mau dengar musik karena sedang menghafal Quran itu akibat menganggap musik haram. Sikap para santri di video yang menutup telinganya itu bagus. Mereka tidak ngamuk atau memaksa musik dimatikan,” ucap dia.

Gus Nadir bahkan memuji sikap para ustad dan santri yang bertoleransi dengan cara menutup telinga, ketimbang memaksakan paham mereka dengan cara kekerasan.

“Bukankah esensi tolerasi ada di sana? Jadi jangan buru-buru mengaitkan mereka dengan paham Islam garis keras hanya karena perbedaan pemahaman,” kata Gus Nadir.

Share: Video Santri Tutup Telinga Saat Dengar Musik Viral, Hati-hati Jangan Menstigma