Viral Ustaz Adi Hidayat (UAH) mengklaim, rumah di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 – yang merupakan lokasi proklamasi 17 Agustus 1945 – sebagai hibah dari seorang pengusaha keturunan Yaman, Faradj Martak atau Faradj bin Said bin Awad Martak.
Sejarawan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Asvi Warman Adam menilai, tidak cukup bukti untuk menyimpulkan demikian.
“Ada ucapan terima kasih dari Kementerian PU (Pekerjaan Umum) kepada Martak atas hibah rumah di Pegangsaan Timur 56 kepada pemerintah. Ini jelas bukan bukti kepemilikan rumah,” ujar Asvi kepada Asumsi.co, Kamis (18/8/2022).
Menurut Asvi, kemungkinan Martak sempat menghuni rumah Pegangsaan Timur Nomor 56 yang kosong setelah Soekarno pergi ke Yogya pada Januari 1946 hingga Desember 1949. Lalu, pada tahun 1950, Martak menyerahkannya kepada Kementerian PU.
Surat kabar Nieuwe Courant edisi 24 Februari 1950 membenarkan, bahwa Faradj Martak memang menghuni rumah di Pegangsaan Timur, Jakarta. Sayangnya, laporan itu hanya membahas polisi menangkap adik Faradj Martak, Ahmad Martak, di rumah itu karena dugaan kasus pembunuhan.
Disisi lain, ada versi cerita terkait rumah di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 yang telah disiapkan Jepang untuk Soekarno.
“Versi semula, Chairul Basri, yang bekerja pada kantor propaganda Jepang, disuruh mencari rumah yang berhalaman luas. Rumah Pegangsaan Timur 56 milik orang Belanda ditukar dengan rumah lain di Jalan Lembang. Jadi rumah itu memang disiapkan Jepang untuk Bung Karno,” tutur Asvi.
Madu untuk Soekarno: Selain rumah hibah, UAH juga mengklaim, Faradj Marak memberikan madu kepada Sukarno yang saat itu sedang demam. Asvi membenarkan, Soekarno memang demam menjelang membacakan teks proklamasi.
“(tetapi) apakah ada orang yang memberi madu? Wallahualam,” ucapnya.
Siapa Faradj Martak: Faradj Martak dapat ditelusuri dari jejak keluarga bin Martak (Marta’) yang membangun bisnis grosir Hadhrami (merujuk warga diaspora dari wilayah Hadramaut, Yaman) paling sukses di Indonesia. Namun, data dan daftar goris Hadhrami itu tidak terdaftar sebagai perusahaan saham gabungan di Hanboek 1940.
Austin Gareth dalam buku Industrial Growth in the Third World, c.1870-c.1990: Depressions, Intra-Regional Trade, and Ethnic Networks menyebut, jejaring bisnis keluarga bin Martak sebagai asosiasi perdagangan Arab terbesar yang memiliki cabang di seluruh Nusantara dan Indonesia.
Perusahaan gabungan (firma) keluarga bin Martak, N.V Handelmaatschappij Antara-Asia berdiri setelah perang dunia II. Keluarga bin Martak terlibat geliat perubahan terbesar pada tahun 1930-an terkait penciptaan pabrik tekstil modern. Keluarga bin Martak mendirikan pabrik tenun pertama di Surabaya pada 1934. Lalu, pada 1935, Faradj Martak dan Ahmad Martak mendirikan pabrik tenun berikutnya di Kesono, Mojokerto, Jawa Timur.
John O. Sutter dalam buku Indonesianisasi; Politics in a changing economy, 1940-1955 menulis, firma keluarga bin Martak mendirikan pabrik tenun atas saran Ir Darmawan Mangoenkoesomo, seorang insinyur Jawa yang bekerja sebagai penasihat industri pemerintah. Pabrik di Kesono, Mojokerto mengoperasikan 1.000 alat tenun (600 di antaranya dimekanisasi) di bawah kendali seorang manajer Belanda. Sebelum bergerak ke industri tenun, firma keluarga bin Martak merupakan sebuah perusahaan konstruksi di Surabaya.
Surat kabar De Indische Courant edisi 2 Desember 1932 melaporkan, firma keluarga bin Martak memenangkan tender pengadaan bahan perkerasan jalan (paving) provinsi Jawa Timur pada 1933. Disebutkan, firma keluarga bin Martak berhasil mendapatkan tender pengadaan bahan perkerasan jalan di Surabaya.
Baca Juga:
Misteri Penguburan Tempat Tidur Abad ke-7 di Inggris Terbongkar
Peringatan HUT Ke-77 RI Bakal Berkonsep Sejarah Bangsa
Keberuntungan Kokura, Kota Jepang yang Luput dari Bom Atom