Bisnis

Biaya Membengkak, Pemerintah Disarankan Hentikan Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Ilham — Asumsi.co

featured image
Pixabay

PT KAI (Persero) memaparkan kebutuhan investasi proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung membengkak dari US$6,07 miliar atau sekitar Rp86,67 triliun (kurs Rp14.280 per dolar AS) menjadi US$8 miliar atau setara Rp114,24 triliun.

“Tadi perkiraannya berkembang menjadi US$8,6 miliar, waktu itu diestimasi pada November 2020 oleh konsultan KCIC (PT Kereta Cepat Indonesia China),” ungkap Direktur Keuangan & Manajemen Risiko KAI Salusra Wijaya saat rapat bersama Komisi VI DPR, Rabu (1/9/2021).

Ditambah lagi, menurutnya, Indonesia juga belum menyetor modal awal senilai Rp4,3 triliun. Angka ini ditemukan setelah perbaikan dan efisiensi dilakukan di tubuh PT Konsorsium Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) selaku perusahaan induk yang menangani Kereta Cepat Jakarta-Bandung.

Pembengkakan biaya proyek sendiri memang sudah terjadi berkali-kali. Awalnya pihak China menawarkan pinjaman US$5,5 miliar dengan jangka waktu 50 tahun dan tingkat bunga 2% per tahun. Bila ditaksir dalam rupiah dengan kurs terkini jumlah pinjaman yang awalnya ditawarkan sebesar Rp78 triliun.

Kemudian, ketika proyek dijalankan biayanya melonjak menjadi US$5,98 atau sekitar Rp84 triliun. Biaya proyek pun belum berhenti membengkak. Terakhir kali biaya proyek meningkat menjadi US$6,07 miliar atau sekitar Rp86 triliun.

Indikasi membengkaknya biaya proyek kembali terjadi pada September 2020. Saat itu perkembangan pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung mengalami keterlambatan dan juga terkendala pembebasan lahannya. Maka dari itu pemerintah meminta KCIC untuk melakukan peninjauan ulang.

Di peninjauan ulang pertama November silam, pembengkakan biaya proyek tercatat mencapai US$2,5 miliar atau totalnya menjadi US$8,6 miliar.

Perlu Dievaluasi

Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudhistira, menjelaskan bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan keberlanjutan Kereta Cepat Jakarta-Bandung, dari sisi biaya konstruksi hingga biaya yang cukup berat ditanggung pihak operator pasca kereta mulai beroperasi.

Menurutnya, proyek ini sebaiknya dihentikan dan pemerintah perlu melakukan evaluasi ulang terhadap ​feasibility study atau uji kelayakan karena variabel ekonomi mengalami perubahan cukup signifikan.

“Bukan hanya soal krisis akibat pandemi, tapi kemampuan bayar utang pemerintah menurun. Proyek yang dibiayai melalui pinjaman sangat berisiko terhadap keberlanjutan fiskal pemerintah,” katanya saat dihubungi Asumsi.co, Minggu (5/9/2021).

Baca Juga: Transaksi Indonesia-Cina Tak Lagi Pakai Dolar, Menguntungkan atau Tidak?

Ia menambahkan, perlu dipikirkan juga biaya konstruksinya yang bengkak akan ditanggung siapa? Menurutnya beberapa negara seperti Malaysia, Myanmar, Pakistan sudah terlebih dahulu mengurangi ketergantungan pembangunan infrastruktur yang tidak layak dalam kerangka Belt Road Intiatives (BRI).

“Sah-sah saja pemerintah Indonesia melakukan evaluasi lagi, bukan sekedar menunda, tapi dalam rangka penyelamatan keuangan negara opsi pembatalan (cancelation) bisa dilakukan. Apakah ini akan mengubah perspektif investor terhadap kepastian investasi? Saya kira tidak ya, investor yang berorientasi pada tingkat keuntungan (ROI) juga mempertimbangkan apabila suatu proyek biayanya terlampau besar wajar apabila dibatalkan sebelum costnya membengkak lagi dan justru merugikan dalam jangka panjang,” katanya.

Jakarta-Bandung Terlalu Dekat

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menjelaskan bahwa pembangunan kereta cepat tersebut sudah diduga sebelumnya, karena tidak ada urgensinya.

“Mengapa? Pertama, karena jaraknya terlalu dekat dan trasportasi ke Bandung sudah banyak,” katanya saat dihubungi Asumsi.co, Minggu (5/9/2021).

Menurutnya, kereta cepat harusnya bersaing dengan maskapai pesawat, sehingga direkomendasikan bukan Jakarta-Bandung melainkan Jakarta-Surabaya. “Jadi Jakarta-Surabaya selama ini menggunakan pesawat, maka dengan kereta cepat bisa ditempuh dengan cepat. Misal tiga jam,” katanya.

Apalagi proyek kereta cepat tersebut merupakan proyek yang tidak jelas dalam perencanaan, sehingga biayanya membengkak. Ditambah, PTPN ikut terlibat dalam proyek kereta cepat tersebut. Sehingga menurutnya bengkaknya biaya tersebut adalah konsekuensi dari pemerintah yang tidak melakukan rencana yang matang dan hanya mengikuti kemauan investor.

Senada dengan Trubus, Prof Leksmono Suryo Putranto, Guru besar Tetap ilmu transportasi dan rekayasa lalu lintas dari Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara, mengatakan Jakarta-Bandung terlalu dekat dan moda transportasi sudah banyak.

“Kalau dengan Argo Parahyangan sudah oke, ditambah dengan jalan tol sudah cukup. Jika ditambah lagi dengan Kereta Cepat dengan biaya perkiraan tiket Rp200 ribu. Mungkin, enggak diminati orang,” katanya saat dihubungi Asumsi.co, Minggu (5/9/2021).

Baca Juga: Reformasi Pajak Mulai 2022, Apa yang Jadi Catatan?

Ia khawatir karena teknologi China tidak terlalu cukup bagus dalam hal perkeretapian. Apalagi banyak terjadi kecelakaaan kereta api di China.

“Termasuk dalam hal konstruksi kereta cepat. Secara kasat mata ada banyak pipa menjulur konstruksi. Itu untuk apa drainase? Tapi kok terlalu kecil,” katanya.

Diperluas ke Surabaya

Menurut Trubus sebaiknya diperluas hingga ke Surabaya, karena jika hanya sampai Bandung jadi proyek mubazir. “Jadi dilanjutkan, karena sudah kerja sama bilateral sampai ke Surabaya. Tapi perlu dipikirkan juga anggarannya,” katanya

Senada dengan Trubus, Leksomono mengatakan memang lebih pantas proposal pertama dengan Jepang, yaitu ke Surabaya. Menurutnya tidak semua orang menggunakan maskapai penerbangan ke Surabaya. “Jadi, jika Jakarta Surabaya lebih diterima,” katanya.

Ia menambahkan meski akan menambah utang, kalau trafiknya jelas dan masuk akal maka itu perlu dibangun. “Apalagi jalur kereta sudah double track dan bebas persilangan di permukaan tanah” katanya.

Perlu Investigasi

Trubus mengatakan perlu juga melakukan investigasi mengenai proyek tersebut termasuk penyelesaian dengan warga yang terdampak dari proyek tersebut. “Seperti penyelesaian sengketa tanah dengan warga,” katanya.

Sedangkan Leksmono mengatakan bahwa yang paling penting untuk diinvestigasi dan di audit adalah keselamatan. “Memang saya setuju soal investigasi soal menyeluruh. Tapi bukan hanya keuangan tapi keselamatan konstruksi, karena tanah Jakarta Bandung adalah tanah yang tidak stabil. Makanya Tol Cipularang sering longsor. Bukan sesuatu yang aneh,” katanya.

Menurutnya ini berkali kali terjadi. Seharusnya pemerintah merencanakan dengan baik. “Kerja, kerja boleh, tapi perlu cermat,” katanya.

Ia menambahkan bahwa proyek tersebut tidak boleh ditunda tapi diperluas dipikirkan pengembangannya.  “Misalnya dipasang iklan keretanya, apakah bisa di sekitar stasiun bisa dibuat area komersial. Jadi skema meninimalkan dampak buruk kesalahan ini perlu dilakukan. Karena ini sudah terlanjur dan terbangun strukturnya. Beda dengan di Jakarta yang dibangun Monorel. Jadi harus diteruskan,” katanya.

Share: Biaya Membengkak, Pemerintah Disarankan Hentikan Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung