Isu Terkini

Faktor SKB Tiga Menteri di Balik Persekusi Jemaah Ahmadiyah

Admin — Asumsi.co

featured image
Pixabay

Perusakan masjid milik Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Sintang, Kalimantan Barat menjadi sorotan sejumlah pihak. Pejabat negara pun meminta aparat untuk menindak tegas kelompok yang melakukan perusakan.

Akan tetapi, jika masalah diskriminasi terhadap penganut Ahmadiyah di Kalbar terselesaikan, tak menutup kemungkinan bakal terjadi lagi masa mendatang di tempat berbeda. Hal itu tak lepas dari Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga pimpinan lembaga tentang larangan menganut Ahmadiyah yang belum dicabut. 

Kelompok-kelompok tertentu bakal tetap berani melakukan diskriminasi dengan dalih mematuhi peraturan tersebut. Di sisi yang lain, aparat pun kerap abai menanggapi peristiwa semacam itu..

Penyerangan di Sintang

Masjid Miftahul Huda milik Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat diserbu massa pada Jumat kemarin (3/9). Kepolisian bergeming meski ada di lokasi.

Kala itu, masjid sedang kosong karena memang ditutup sejak 14 Agustus atas perintah MUI dan Pemkab Sintang usai didesak kelompok tertentu.Mengutip siaran pers JAI, massa yang menamakan diri Aliansi Umat Islam memecehkan kaca hingga merusak tembok-tembok masjid. 

Bagian dalam masjid pun berantakan. Mereka lalu mengultimatum pemerintah untuk merubuhkan masjid dalam rentang waktu 30 hari ke depan. Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, mengkritik polisi yang bergeming ketika massa menyerbu masjid milik jemaah Ahmadiyah padahal berada di lokasi.

Sejauh ini, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dan Menko Polhukam Mahfud MD sudah meminta aparat menindak tegas kelompok yang melakukan perusakan. Kepolisian pun langsung menempatkan 300 personel di lokasi kejadian untuk menjaga situasi.

SKB 3 Menteri

Masalah diskriminasi terhadap penganut Ahmadiyah kerap terjadi di berbagai daerah. Masalah itu berkenaan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga pimpinan lembaga yakni, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung yang terbit pada 2008 lalu.

SKB itu berisi tentang peringatan dan perintah kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan semua kegiatannya. Terutama yang tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW.

Penganut atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan aturan tersebut bisa dikenakan sanksi karena termasuk perbuatan melanggar hukum. Penerbitan SKB itu juga tak lepas dari fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyebut Ahmadiyah termasuk aliran sesat. Fatwa itu terbit pada 1995 dan dikuatkan pada 2005.

“Kekerasan terhadap JAI bersumber dari SKB meskipun di lapangan terjadi hal yang lebih parah yaitu apa yang tidak dilarang menjadi dilarang,” tutur Direktur YLBHI Asfinawati saat dihubungi.

Baca Juga: Kronologi Masjid Ahmadiyah Diserbu Warga di Kalbar

Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari 13 LSM lantas meminta pemerintah untuk mencabut SKB yang terbit pada tahun 2008. Mereka yakin selama ini Ahmadiyah kerap menjadi bulan-bulanan kelompok tertentu akibat keberadaan SKB tersebut.

“Mendesak Kementrian Agama, Kementrian Dalam Negeri dan Kejaksaan Agung untuk mencabut SKB tahun 2008 tentang Ahmadiyah. Karena dalam implementasinya SKB tersebut selalu dianggap sebagai dasar pelarangan aktivitas Ahmadiyah terutama oleh Pemerintah Daerah,” mengutip siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil.

Selain itu, Koalisi Masyarat Sipil pun mendesak agar MUI mencabut fatwa sesat terhadap Ahmadiyah. Pimpinan Polri pun diminta mencopot Kapolres dan Wakapolres Sintang karena abai melindungi masyarakat. 

Masalah Laten

Koalisi terdiri dari YLBHI, KontraS, Setara Institute, LBH Jakarta, Jaringan Gusdurian, Amnesty Internasional Indonesia, Imparsial, Yayasan Pantau, Sejuk, Paritas Institute, Yayasan Inklusif, Sobat KBB dan HRWG.

Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rivanlee, mengatakan bahwa sejauh ini negara juga seolah tidak menjamin kebebasan beragama masyarakat. Terutama kelompok minoritas.

Peristiwa di Sintang, kata dia, menambah catatan kelam perlindungan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Catatan KontraS, sepanjang 2020 lalu ada 48 peristiwa serupa.

“Negara tidak bisa menjamin kebebasan beragama, berkeyakinan, dan beribadah kelompok Ahmadiyah serta membiarkan praktik intimidatif oleh ormas tertentu atas perusakan rumah ibadah,” kata Rivanlee saat dihubungi Asumsi.co.

“Masalah laten yang semestinya harus disoroti adalah tidak adanya jaminan kebebasan beragama, berkeyakinan, dan beribadah karena itu hak yang tak bisa dibatasi,” sambungnya.

Share: Faktor SKB Tiga Menteri di Balik Persekusi Jemaah Ahmadiyah