Isu Terkini

Dewan Pers Tidak Anjurkan Istilah Koruptor Diganti Maling atau Garong

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Gagasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menggunakan istilah “penyintas korupsi” bagi pelaku kasus korupsi memicu sikap protes publik. Sebutan ini dinilai tidak layak disematkan kepada koruptor, orang yang terbukti secara hukum terjerat kasus korupsi.

Sikap protes publik pun berujung pada seruan kampanye untuk menggunakan kata “maling”, “rampok”, hingga “garong uang rakyat” sebagai pengganti sebutan koruptor. 

Dalam Kamus Besar Bahas Indonesia, “maling” memiliki arti orang yang mengambil milik orang lain secara sembunyi-sembunyi. Sedangkan “rampok” merupakan orang yang mengambil dengan paksa dan kekerasan barang milik orang. Adapun “garong” memiliki arti perampok.

Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Arif Zulkifli mengkhawatirkan penggunaan istilah-istilah ini malah memicu masalah bagi pekerja media.

Ia menyebut hal ini bisa bermasalah dari segi kode etik jurnalistik. Dirinya memahami kemarahan atas adanya isu penggunaan istilah “penyintas korupsi”, namun semestinya jurnalis tetap bijaksana dan tidak mengedepankan emosi saat memberitakan sesuatu.

“Saya kira semarah apa pun kita terhadap isu ini, sebutan koruptor akan diganti dengan penyintas korupsi, kita harus tetap bijaksana dalam menentukan pemilihan kata atau diksi. Jadi penggunaan kata “maling”, “rampok”, “garong”, dan sejenisnya tentu memiliki konsekuensi hukum buat medianya,” kata Arif kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Selasa (31/8/21).

Sensitif digunakan

Arif menilai sebutan ini sensitif saat digunakan di dalam pemberitaan. Malah, lanjut dia bisa menyebabkan orang yang disebut maling ini menuntut media karena dianggap mencemarkan nama baik dan mengabaikan kode etik jurnalistik, meski dirinya memang pelaku kasus korupsi.

Bila sudah sampai pada persoalan digugat, Arif menilai bisa runyam urusannya. Oleh sebab itu, ia menyarankan supaya media tetap memberitakan kasus korupsi dan pelakunya dengan diksi yang tidak memperlihatkan jurnalisnya menulis sambil menghujat.

“Jadi lakukan saja pemberitaan secara proporsional. Hindari diksi sensitif. Artinya, dari segi penyebutan kita enggak bisa bilang dia koruptor kalau belum ada vonis. Kalau dia baru ditetapkan tersangka, maka disebut atau dituliskannya tersangka kasus korupsi,” jelasnya.

Menurutnya, hal yang paling penting dalam memberitakan sebuah kasus korupsi adalah menjelaskan secara detail kepada publik soal kasus korupsi dan profil pelakunya. Sebab, menurut dia esensi dari pemberitaan korupsi adalah kesalahan yang dituduhkan ke pelakunya. 

“Jurnalis harus ke arah sana penjelasannya. Pakai sebutan koruptor juga harus hati-hati, yaitu harus sudah inkrah secara hukum keputusan perkaranya. Itu yang paling tepat kalau baru ditangkap, diperiksa ya jangan dulu. ‘Diduga’ atau ‘ditengarai korupsi’ adalah diksi yang paling tepat,” terangnya

Jernih memberitakan

Arif menyampaikan pesan agar jangan sampai jurnalis jadi membabi buta dalam menghakimi pelaku korupsi karena geram terhadap tindakan korupsi. “Wartawan harus tetap tenang dan jernih dalam memberitakan. Ini yang paling penting,” ucapnya.

Pengamat politik Universitas Al-Azhar, Zaenal A Budiyono menilai kampanye menolak istilah penyintas korupsi dan menggantinya dengan sebutan-sebutan kasar tak lain disebabkan kekecewaan masyarakat terhadap penanganan kasus korupsi di Indonesia belakangan ini. 

Salah satunya, vonis 12 tahun hukuman penjara kepada eks Menteri Sosial Juliari Batubara yang terjerat kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos) Covid-19, alih-alih hukuman mati seperti yang pernah dijanjikan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Ini kan, membuat kepercayaan publik kepada KPK semakin rendah yang akhirnya membuat hal ini ramai disuarakan. Kemudian jadi gerakan lalu ramai dikampanyekan di media sosial,” ujar Zaenal saat dihubungi terpisah.

Ia memahami kegusaran media sebagai bagian dari tiang demokrasi yang berpihak pada kepentingan masyarakat, akhirnya menyampaikan gagasan yang menunjukkan sikap protes untuk menyetarakan pelaku kasus korupsi dengan sebutan-sebutan kriminal.

Namun, Zaenal mengingatkan sebaiknya media mempertimbangkan lagi dengan menggunakan istilah “maling”, “rampok”, dan “garong” untuk menyebut pelaku korupsi bisa mencerahkan masyarakat atau justru malah mengompori dan malah bikin masalah

“Konteksnya, apakah diksi ini memadai atau tidak. Memang silakan saja media menunjukkan sikap protes dan ketidakpuasan atas usulan ini, tapi juga harus hati-hati. Jangan sampai malah nantinya jadi kasus lagi yang disebut maling ini tidak terima dan akhirnya menuntut,” ujarnya.

Share: Dewan Pers Tidak Anjurkan Istilah Koruptor Diganti Maling atau Garong