Isu Terkini

Ada “Invisible Touch” di Balik Ngototnya Anies Gelar Formula E?

Irfan — Asumsi.co

featured image
Ilustrasi: Chris Kaeppeli/ Unsplash

Perhelatan balap mobil Formula E yang rencananya akan digelar pada 2022 itu bikin gaduh. Dua pihak bertolak belakang terkait penyelenggaraannya.

Gubernur DKI Anies Baswedan ngotot gelaran ini mesti diadakan dengan –salah satunya– dalih perbaikan ekonomi. Sementara hak interpelasi dari PDI Perjuangan-PSI berupaya mengadang. Disinyalir banyak kepentingan terkait tingginya gairah Anies pada gelaran internasional ini.

Analis politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto menyebut polemik yang cukup berlarut-larut ini bukan tidak mungkin ujungnya akan menuai prahara politik. Soalnya, ada banyak faktor yang menjadi bagian dalam polemik ini selain isu Formula E itu sendiri. Satu, adalah kepentingan partai-partai menaikkan bargaining position terhadap Anies.

“Terutama pada level Jakarta ya. Kedua, kepentingan lebih besar lagi dalam rangka upaya parpol-parpol lain menemukan konfigurasi tepat 2024 yang bisa berbeda dengan 2019 lalu,” kata Arif kepada Asumsi.co.

Arif juga mengindikasi adanya peran “invisible touch” pada kengototan Anies menyelenggarakan Formula E. Dilakukan oleh pihak-pihak yang memegang korporasi, kepentingan pihak-pihak ini tak lain adalah ekonomi.

Power-nya kelihatan, tapi ditanya siapanya, korporasi ini kan cenderung invisible. Saya kira korporasi ini ikut bermain meski tidak determinan. Ini adalah kombinasi dari ketiga faktor,” kata Arif.

Anggota DPRD DKI Jakarta Fraksi PSI, Anggara Wicitra Sastroamidjojo juga menduga adanya orang berkepentingan di belakang Anies yang ingin meloloskan Formula E. Namun, dia. enggan menuding secara pasti siapa orang tersebut. Oleh karena itu, perlu itikad baik dari eksekutif untuk menjawab pertanyaan dalam interpelasi yang dilayangkan PSI dan PDIP.

“Kami berharap dapat jawaban yang komprehensif dan detail dari pak Gubernur. Karena kami lihat penyelenggara Formula E yang menggunakan APBD itu hanya Montreal, Kanada dan DKI Jakarta. Kemudian kita lihat di rincian anggaran penyelenggaraan di kota lain kami tidak melihat adanya commitment fee. Ini salah satunya yang akan kami tanyakan,” kata Anggara.

Anggara mengaku pihaknya juga kesulitan untuk mendapat rincian alokasi anggaran Formula E, terutama soal perusahaan yang akan bermitra dengan Pemprov DKI. PSI hanya sebatas mengetahui bahwa PT Jakarta Propertindo sudah membayar commitment fee sebesar Rp360 miliar kepada Formula E Operation (FEO).

“Tapi kalau JakPro melakukan sub-con kami enggak tahu. Karena sejauh yang kami tahu APBD itu mengalir dari Dinas Pemuda Olahraga untuk biaya commitment fee sebesar Rp360 miliar yang sudah dibayarkan. Itu dibayarkan oleh JakPro kepada federasi penyelenggara. Cuma kita enggak tahu siapa saja yang terlibat,” kata Anggara.

Asumsi.co sudah berusaha untuk meminta tanggapan kepada PT JakPro perihal perusahaan apa saja yang akan dilibatkan dalam penyelenggaraan Formula E di Jakarta. Namun, belum ada tanggapan hingga berita ini diturunkan.

JakPro diketahui mengusulkan biaya perhelatan Formula E sekitar Rp1,3 triliun. Angka itu terdiri dari Rp360 miliar untuk pembayaran commitment fee dan angka sekitar Rp934 miliar untuk biaya penyelenggaraan.

Terkait dengan hal itu, Anggara kembali menilai perlunya transparansi detail terkait penyelenggaraan Formula E. Apalagi penyelenggaraannya menggunakan APBD DKI, yang satu rupiah pun harus dipertanggungjawabkan. 

“Hal ini pula yang membuat kami melayangkan interpelasi. Ada proses panjang yang sedari awal kami menanyakan, tidak pernah dapat jawaban, makanya kita minta jawaban langsung dari pak Gubernur,” kata dia.

Fraksi PKB yang menolak interpelasi juga mengatakan hal yang sama. Hasbi, anggota DPRD DKI dari Fraksi PKB mengaku tak tahu menahu adanya pihak yang berkepentingan terkait Formula E sehingga mengkondisikan fraksi lain untuk menjegal interpelasi.

“Mungkin, cuma saya enggak ngerti. Sesuatu yang saya enggak tahu kan susah saya komentari,” kata Hasbi.

Hasbi tak menilai partai yang menggalang interpelasi seperti PSI dan PDIP punya motif politik. Menurut Hasbi, mereka hanya beranggapan untuk apa Formula E digelar sementara pandemi belum selesai.

Sementara PKB punya alasan lain. Menurut dia, PKB ogah ikut interpelasi karena sudah ada uang negara yang sudah keluar untuk biaya commitment fee Formula E. Kalau tidak dilanjutkan, maka negara akan mengalami kerugian. 

“Kondisi lagi begini kita buang-buang duit kan sayang. Padahal DKI kondisi keuangannya defisit,” kata dia.

Banyak kelemahan

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang tampak resistan pada interpelasi dinilai Arif karena persiapan Formula E dilakukan secara terburu-buru. Dia juga menyebut ada masalah lain yang sebelumnya terjadi terkait perhelatan tersebut.

“Misalnya saat revitalisasi Monas. Itu kan berbiaya besar tapi punya banyak problem. Bukan hanya inefisiensi tapi juga jejak sejarah. Harusnya revitalisasi itu kan menghidupkan yang baru, tetapi ini malah mematikan yang lama. Ada hal yang potensial hilang dari revitalisasi itu,” kata Arif.

Selain itu, di masa pandemi ini, sulit untuk mengelak bahwa ada banyak hal yang lebih penting dilakukan pemerintah ketimbang sekadar memberi tontonan balapan buat rakyat. “Urgensinya menjadi tidak terlalu mendesak kalau melihat banyak problem lain seperti yang sudah banyak disebutkan,” ucap dia.

Arif pun ragu dengan klaim menghidupkan kembali ekonomi yang dijadikan dalih Pemprov DKI menyelenggarakan formula E. Menurutnya, berbeda dengan multi-event seperti Asian Games, tidak ada peluang ekonomi lebih dari perhelatan Formula E. Apalagi Formula E belum sepopuler Formula 1 dan tidak ada atlet Indonesia yang berlaga di sana.

“Masih mungkin bicara kemungkinan tertentu kalau Bulu Tangkis atau multi-event, karena kita punya atlet yang berlaga di situ. Formula E? kampanye apa kalau kita cuma jadi penonton di situ,” ujar dia

Selain itu, kampanye retoris seperti mendukung pelestarian lingkungan lewat mobil listrik juga terkesan paradoks. Menurut Arif, yang perlu dilakukan Jakarta justru mengurangi kendaraan pribadi dan mengajak publik beralih ke transportasi umum. Apalagi ini akan menjadi paradoks mengingat suplai listrik ke Jakarta kebanyakan berasal dari eksploitasi batu bara.

“Dari situ aja muncul dua problem penting. Polusi dan eksploitasi tambang batu bara. Jadi kita tidak bisa menyelesaikan masalah dengan menimbulkan masalah lain,” ucap dia.

Solusi

Arif menyebut langkah interpelasi penting meski terkesan lunak. Namun perlu diingat bahwa hak bertanya ini juga bukan melulu hak politikus. Publik juga berhak tahu argumentasi pemerintah terkait penyelenggaraan Formula E ini.

“Ini kan bukan penyelidikan. Ini hak bertanya. Bukan hanya politikus, tapi publik punya hak untuk tahu,” kata dia.

Selain itu, yang jauh lebih penting adalah menyiapkan infrastruktur bagi pengembangan olahraga dan pariwisata, untuk jangka menengah hingga panjang. Menurut Arif, kalau Jakarta ini mau dianggap Kota yang kosmopolitan tentu harus seimbang antara tumbuhnya kota dengan berkesinambungannya.

“Bukan hanya bagus tapi sustainability. Kalau tumbuh sih Jakarta sudah memenuhi, tapi sustainability ini jadi pertanyaan,” ucap dia.

Share: Ada “Invisible Touch” di Balik Ngototnya Anies Gelar Formula E?