Kehadiran street art atau seni jalanan dalam bentuk mural dan graffiti memang sudah lama akrab bagi masyarakat Indonesia. Namun, belum banyak yang tahu sosok seniman yang ada di belakangnya yang bahkan karyanya sudah dilirik negara lain. Darbotz merupakan salah satu seniman street art tanah air yang karyanya telah mendunia.
Pria yang dikenal luas dengan semprotan mural “Cumi Kong” ini pun pernah membuat karya kolaborasi dengan Snyder, seniman asal Berlin, Jerman, yang terbentang di sepanjang dinding Terowongan Kendal, kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat sejak Juli 2019. Karya tersebut dibuat untuk memperingati hubungan 25 tahun persahabatan Jakarta dengan Berlin. Di tahun 2017, ia juga pernah bekerja sama dengan merek sepatu skate asal Amerika Serikat, DC Shoes, untuk menuangkan hasil kreasinya pada salah satu produk mereka.
Sebagai seniman, Darbotz tak mau nama aslinya terungkap kepada penikmat karyanya. Ia lebih ingin karya-karyanya lantang bersuara dan dikenal banyak orang. Melalui perbincangan dengan Asumsi.co, seniman yang identik dengan karakter cumi raksasa di graffiti buatannya ini bercerita soal motivasinya menekuni seni jalanan. Dia juga berbicara soal mural yang mengandung pesan kritik buat pemerintah yang berujung dihapus aparat dan belakangan ramai menjadi perhatian publik.
Hai Bang Darbotz, apa kabar?
Kabar baik, sehat.
Boleh cerita enggak, sejak kapan Darbotz mulai senang bikin street art dan akhirnya fokus menjadi salah satu senimannya?
Kalau menggambar sih, memang sudah suka gambar dari kecil. Kenapa fokus di graffiti atau street art? Ya karena bosan dengan media kertas dan saya dari dulu suka coret-coret tembok. Menggambar di tembok jadi adiksi tersendiri buat saya, sampai akhirnya merasa kalau saya enggak gambar di jalan ada yang kurang. Saya aktif bikin graffiti pas tahun 2002 lah, pas kuliah. Awalnya dari suka coret-coret nama geng pas kuliah dan dari situ menemukan menggambar yang cocok buat saya ya, di street art.
Style yang dipilih Darbotz dalam membuat graffiti itu, apa sih?
Iya, saya lebih ke graffiti bukan mural karena kalau mural itu kan, menurut saya lebih kayak ada pesan ceritanya dan saya ini biasanya tulisan graffiti gitu. Style-nya saya kalau grafiti itu lebih ke ego pribadi dari seorang seniman. Dari dulu gue pengen punya satu ikon atau karakter yang memang menggambarkan itu gue maka terciptalah karakter hitam putih yang jadi foto profil Instagram gue. Terus gue juga lebih ke spontanitas dalam berkarya sambil terus mengeksplornya.
Kenapa memilih nama Darbotz sebagai stage name?
Itu nama panggilan saya sejak SMA dan bukan dibikin-bikin, tapi memang nama panggilan saya di kalangan teman-teman dekat yang sudah kenal saya sejak lama. Enggak ada filosofi tersendiri.
Graffiti sering digunakan para seniman untuk menyuarakan pendapatnya atau mengkritik sesuatu. Gimana pandangan Darbotz soal ini dan seberapa efektif aspirasi itu didengar oleh pihak yang dikritik, pemerintah misalnya?
Awalnya memang iya, tulisan atau gambar di tembok jalanan ini bagian dari bentuk protes atau menyerukan sesuatu dari era kemerdekaan. Di masa itu juga setahu saya sejarahnya banyak yang bikin coretan di jalan menyerukan pesan-pesan kemerdekaan karena waktu itu juga medianya terbatas, belum ada televisi. Namun sekarang kan memang jadi expand ya, tulisan atau gambar di jalanan maupun tembok banyak yang dibuat pure seni bahkan jadi buat dekorasi di perkotaan.
Kemudian kalau gambar ini posisisinya strategis pasti bisa menjadi perhatian publik. Banyak yang bikin graffiti di posisi-posisi tempat seperti ini supaya gagasan yang disampaikan si senimannya ini diketahui atau bisa bikin banyak orang relate. Kalau begini, pesan-pesan kritik yang disampaikan lewat seni jalanan memang efektif sih.
Belakangan ini lagi ramai soal aksi seni jalanan yang mengandung pesan kritik buat pemerintah lalu dihapus aparat. Kayak mural “Tuhan Aku Lapar” di Tangerang atau “Jokowi 404: Not Found”?
Kalau lagi yang ramai sekarang, soal mural atau graffiti di tembok jalan yang menyampaikan pesan kritis terus ada pertentangan, memang balik lagi, di Indonesia untuk menyampaikan pendapat memang enggak segampang itu. Gambar jalanan yang enggak ada pesannya saja masih banyak yang suka dihapus karena dianggap mengotori jalan, apalagi yang mengandung pesan kritis.
Kritis lewat media apa saja pasti orang bisa kena masalah hukum, apalagi disampaikannya di tembok. Memang kita terhadap seni yang di dalamnya mengandung pesan kritis ini masih belum diterima dengan bebas di Indonesia. Belum open minded lah, bisa dibilang begitu.
Baru-baru ini ada pernyataan yang disampaikan Staf Khusus Mensesneg, Faldo Madini yang merespons viralnya mural “Tuhan Aku Lapar” dengan bilang kalau lapar beli makan, bukan beli cat. Apakah Darbotz mau menanggapi soal ini?
Gue orang yang paling benci sama politik karena lingkup yang paling hipokrit dan muka seribu itu politik. Orang yang menyuarakan ini (Faldo) tentu mereka akan menyampaikan begitu karena hidupnya sekarang sudah enak ya. Dulu mungkin ketika dia belum apa-apa dan enggak punya apa-apa, kesannya berpihak sama yang menyuarakan kritik ke pemerintah. Jadi ya, gue enggak mau banyak komen lah, namanya juga politik.
Menurut Darbotz, di wilayah mana saja di Indonesia yang seni jalanannya khususnya grafitti masih tertinggal atau belum familiar?
Di Indonesia paling berkembang seni jalanan, graffiti itu memang di Pulau Jawa. Sumatera, Sulawesi, Kalimantan menurut gue di tengah lah belum banyak tapi dikenal juga seni ini di sana. Memang yang belum banyak dan paling belum berkembang seni jalanan ini di Papua.
Graffiti juga banyak muncul untuk territorial marking, penanda wilayah atau identitas sebuah kota. Apakah seniman grafitti di Indonesia juga banyak melakukannya?
Saya sendiri sebenarnya beberapa kali bekerja sama dengan Pemprov DKI sampai belakangan ini masih buat bikin street art. Kalau di Jakarta sih, banyak ya, yang menjadikan grafitti ini buat territorial marking kayak di Kalijodo misalnya itu kan, sekarang jadi ikon tersendiri graffitinya.
Bicara soal graffiti di Asia Tenggara, negara mana menurut Darbotz yang paling bagus seni graffitinya buat dikunjungi dan yang paling jadi favorit dimana?
Kalau bicara negara Asia Tenggara sih ya, Indonesia. Bisa dilihat pelakunya, senimannya banyak dan variatif. Sayangnya kita kurang di exposure dibandingkan seniman jalanan dari Malaysia, Singapura, dan Filipina. Padahal seniman jalanan kita jago-jago dan enggak kalah kualitas seninya. Seru-seru dan bersaing banget kok.
Menurut Darbotz kenapa seniman graffiti kita kurang terekspos?
Menurut gue Indonesia ini negara yang terlalu besar, sehingga sulit memetakan mana daerah yang bisa jadi ikon street art, sementara banyak wilayah yang bagus-bagus karya seninya. Memang terlalu macam-macam. Jadi bingung menentukan segmennya, kemudian dari faktor senimannya juga diakui kurang maksimal mempromosikan dirinya yang padahal bisa mempromosikan lebih.
Kalau dukungan pemerintah perlu enggak?
Dukungan pemerintah juga sebenarnya penting. Seni di negara kita kan bisa dibilang belum jadi prioritas buat jadi perhatian. Sekarang sih, dukungan pemerintahnya bisa dibilang semakin terbangun. Gue rasa kalau bicara street art, ini masih perjalanan yang panjang. Masa depannya tergantung pada siapa yang memegang pemerintahan di daerah atau nasional dalam memandang dan memberikan dukungan terhadap seni ini seperti apa.