Isu Terkini

Tiga Penyebab Jakarta Sering Banjir dan Potensi NbS Kurangi Risikonya

Ilham — Asumsi.co

featured image
Setkab

DKI Jakarta adalah wilayah yang identik dengan banjir. Presiden
Amerika Serikat Joe Biden pun sempat berkomentar bahwa Jakarta akan tenggelam
10 tahun lagi.

Sederet langkah sudah dilakukan oleh pemerintah untuk
mengatasi persoalan itu. Baru-baru ini misalnya, Gubernur DKI Jakarta Anies
Baswedan menginstruksikan untuk melanjutkan program pengendalian banjir dengan
membangun waduk hingga menata sungai dan drainase.

Tak mau ketinggalan, pemerintah pusat juga mengatakan akan
memperpanjang sodetan Ciliwung 549 meter lagi agar dapat mengurangi debit
banjir Sungai Ciliwung.

Melansir Bisnis, kerugian ekonomi akibat banjir di Jakarta bisa mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah. Pada banjir bulan Januari 2020 misalnya,kerugian ekonomi menyentuh angka Rp960 miliar. Sedangkan pada banjir Februari 2015 (Rp1,5 triliun), Januari-Februari 2014 (Rp5 triliun), Februari 2007 (Rp8,8 triliun), dan Februari 2002 (Rp9,8 triliun).

Penyebab Jakarta sering banjir

Laporan World Resources Institute menyebutkan ada tiga
faktor utama yang kerap dianggap sebagai penyebab banjir di Jakarta. Pertama,
WRI menyebut banjir di Jakarta adalah akibat dari curah hujan ekstrem dengan intensitas tinggi
dan durasi singkat semakin sering terjadi. Curah hujan ekstrem dinilai sebagai
dampak nyata dari krisis iklim.

Kedua, laporan WRI menyampaikan banjir akibat adanya
perubahan tutupan lahan. Analisis data tutupan lahan KLHK tahun 2000 dan 2019
menunjukkan peningkatan luas hutan tanaman hingga 117,7 persen di kawasan hulu
sungai yang mengalir menuju Jakarta, menggantikan dominasi lahan pertanian.

“Luas permukiman juga tumbuh pesat hingga 47,4 persen,
menggantikan lahan pertanian dan ruang terbuka hijau di kawasan tengah dan
hilir. Di Jakarta sendiri, luas ruang terbuka hijau hanya 9,8 persen di tahun
2019. Hal ini meningkatkan peluang meluapnya sungai dan jaringan drainase
akibat besarnya air limpasan permukaan (runoff), belum lagi ancaman sedimentasi
di sungai akibat laju erosi yang besar di kawasan hulu,” kata WRI dalam
laporannya.

Ketiga, penurunan permukaan tanah. Penurunan permukaan tanah
Jakarta mencapai rata-rata 12 cm/ tahun. Kondisi lebih ekstrem terjadi di
bagian pesisir utara Jakarta dengan laju penurunan hingga 25 cm/ tahun. WRI
bahkan menyebut hingga tahun 2050 diproyeksikan luasan banjir akibat penurunan
tanah bertambah hingga 110,5 km2.

Nature-based Solutions (NbS)

WRI menyampaikan Jakarta masih mengandalkan insfrastruktur
fisik untuk mengendalikan banjir, seperti waduk/situ, pompa air, polder, dan kanal.
Padahal, basis itu akan menjadi terbatas, apalagi saat menghadapi krisis iklim,
seperti kejadian bobolnya tanggul penahan banjir di New Orleans saat badai
Katrina menerjang

“Oleh karena itu, diperlukan pendekatan lain yang lebih
adaptif melalui pendekatan NbS dengan melibatkan berbagai fungsi alam seperti
intersepsi air hujan melalui vegetasi, peningkatan infiltrasi air ke dalam
tanah untuk meningkatkan kapasitas tampung air hujan, ataupun memperlambat laju
aliran air untuk mengurangi laju erosi,” kata WRI.

WRI menyebut pendekatan NbS mampu memberi manfaat lain
seperti filtrasi polutan hingga mengurangi dampak urban heat island di kawasan
perkotaan. Selain itu, pendekatan NbS juga diklaim adaptif karena
implementasinya dapat dilakukan secara penuh melalui pendekatan restorasi alami
dan infrastruktur ramah lingkungan (green infrastructure) atau implementasi
hybrid dengan menggabungkan fungsi grey infrastructure eksisting dengan green
infrastructure.

“Solusi adaptif berupa hybrid infrastructure dapat menjadi
pendekatan yang cocok diaplikasikan di Jakarta karena pendekatan ini bukan
hanya dapat diterapkan pada daerah sungai, tapi juga bisa diterapkan pada
daerah permukiman untuk memperluas kapasitas pengendalian runoff sehingga
mencegah banjir lokal,” kutip WRI.

Implementasi

Pada skala terkecil, implementasi hybrid infrastructure
dapat berupa pembuatan lubang resapan biopori (LRB), vegetasi di atap (green
roof), dan wadah penampungan air hujan.

Di skala lebih besar, Ruang Terbuka Hijau (RTH) multifungsi
sebagai kolam resapan air, sistem parit bervegetasi (bio swale), dan permeable
pavement3 dapat menjadi alternatif. Manfaat lain dari bio swale dan permeable
pavement yaitu mampu menyaring polutan dari air hujan sebelum masuk ke dalam
drainase. Tambahan tutupan vegetasi dari green roof dan RTH juga dapat menurunkan
suhu udara dan menghemat energi untuk pendingin ruangan selain juga sebagai
unsur dekoratif.

Share: Tiga Penyebab Jakarta Sering Banjir dan Potensi NbS Kurangi Risikonya