Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) memasuki hari jadinya yang ke-54 tahun pada 8 Agustus 2021. Di tengah momentum ini ASEAN tengah menghadapi persoalan pelik yang mesti dihadapi bersama, yakni konflik Myanmar dan persoalan pandemi Covid-19 yang hingga kini belum juga mereda.
Ingin Ciptakan Negara Kawasan yang Aman
Mengutip situs resmi Sekretariat Nasional ASEAN, organisasi regional yang terbentuk pada 8 Agustus 1967, ASEAN kala itu hanya beranggotakan lima negara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand sebagai pendirinya.
Tokoh kunci masing-masing negara di balik kehadiran ASEAN adalah para menteri luar negeri Narciso Ramos dari Filipina, Adam Malik dari Indonesia, Thanat Khoman mewakili Thailand, Tun Abdul Razak dari Malaysia, dan S. Rajaratnam yang merupakan Menlu Singapura.
Seiring perkembangannya, negara-negara lainnya yang ada di kawasan Asia Tenggara bergabung dalam organisasi ini, mulai dari Brunei Darussalam pada 8 Januari 1984, kemudian Vietnam yang bergabung pada 28 Juli 1995, selanjutnya Laos yang bergabung pada 23 Juli 1997, berikutnya Myanmar pada 23 Juli 1997, dan terakhir Kamboja pada 30 April 1999.
Disebutkan kalau ASEAN yang kini beranggotakan 10 negara ini, didirikan sebagai wujud adanya keinginan kuat dari para pendiri ASEAN untuk menciptakan kawasan Asia Tenggara yang damai, aman, stabil, dan sejahtera.
“Hal tersebut mengemuka karena situasi di kawasan pada era 1960-an dihadapkan pada situasi rawan konflik, yaitu perebutan pengaruh ideologi negara-negara besar dan konflik antar negara di kawasan yang apabila dibiarkan dapat mengganggu stabilitas kawasan sehingga menghambat pembangunan,” jelas situs ASEAN.
Kini, pada momentum peringatan lahirnya ASEAN, negara-negara di Asia Tenggara tengah dihadapi persoalan yang tak kalah pelik dengan yang dihadapi saat organisasi tersebut didirikan.
Situasi pandemi Covid-19 dan konflik politik yang memicu masalah sosial di Myanmar menjadi persoalan pelik yang menguji solidaritas dan kekuatan negara-negara ASEAN.
Bentuk Tim Diplomasi
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, mengatakan di momen hari jadi ASEAN ini perlu diingatkan sikap bersama dari negara-negara anggotanya terhadap isu yang dihadapi bersama saat ini.
“Nah, sekarang ini kan ada dua isu bersamanya. Bukan cuma konflik Myanmar yang notabene adalah negara anggota ASEAN, tetapi juga masalah pandemi Covid-19 yang mesti dilakukan secara gorong royong oleh seluruh negara anggota ASEAN,” jelas Hikmahanto kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Sabtu (7/8/21).
Terkait konflik Myanmar, ia mengapresiasi langkah ASEAN yang secara resmi menunjuk Menteri Luar Negeri Kedua Brunei Darussalam, Datok Erywan Yusof sebagai special envoy atau utusan khusus untuk membantu menyelesaikan konflik Myanmar.
Dengan adanya utusan khusus ini, diharapkannya bisa melakukan upaya penyelesaian konflik Myanmar secara optimal dengan membentuk tim yang isinya, para ahli di bidang diplomasi internasional dari negara-negara anggota ASEAN.
“Special envoy ini harus segera bekerja yang kalau kemudian Datok Erywan ini kekurangan tenaga karena dia memikirkan dua masalah sekaligus, yaitu persoalan luar negeri konflik Myanmar dan masalah di negaranya, bisa saja dia membuat tim yang terdiri dari orang-orang yang punya reputasi menangani persoalan internasional. Misalnya mengajak Pak Hasan Wirajuda atau Pak Marty Natalegawa dari Indonesia,” terangnya.
Tim diplomasi ini, kata dia selanjutnya membuka dialog dengan pemerintahan junta militer bersama rakyat di Myanmar. Ia mencontohkan seperti nantinya menyepakati dibentuknya pemerintahan sementara di Myanmar.
“Dengan tujuan akhirnya nanti, menyelenggarakan pemilu yang hasil pemilunya siapa pun yang terpilih, mesti diakui sebagai kepala negara dan pemerintahan di Myanmar,” ucapnya.
Menyerukan Perlindungan Hak Asasi Warga Myanmar
Hikmahanto Juwana memahami membuka dialog ini, bukanlah hal yang mudah karena pemerintah junta militer bisa saja menolak dibukanya dialog bersama utusan khusus ASEAN beserta timnya.
“Kalau sudah begini, seluruh anggota dan komponen di ASEAN harus menyuarakan kalau terjadi kekerasan di Myanmar, dianggap sebagai kejahatan internasional berupa pelanggaran HAM berat,” ujar dia.
Sikap seperti ini, lanjut dia mesti terus disuarakan dan bila diperlukan adanya kesepakatan bersama untuk melindungi hak asasi manusia rakyat Myanmar sebagai bagian dari ASEAN.
“Jadi, perlu ada kesepakatan responsibilities to protect. Artinya ada kesepakatan berupa kewajiban negara-negara di ASEAN untuk melindungi yang namanya hak asasi fundamental bagi rakyat Myanmar. Tidak mengintervensi, tetapi punya kewajiban melakukan perlindungan secara internasional sebagai negara yang solid dalam payung ASEAN. Disuarakan saja,” jelas dia.
Baca Juga: Dua Orang Ditangkap Atas Rencana Pembunuhan Duta Besar Myanmar untuk PBB
Ia meyakini seruan ini bisa membuka harapan pemerintah junta militer pada akhirnya bersedia membuka dialog bersama tim diplomasi ini dan menyadari kalau persoalan di sana memengaruhi stabilitas politik ASEAN.
Menurutnya negara-negara di luar kawasan Asia Tenggara bukannya menutup mata terhadap konflik Myanmar ini, melainkan memang sengaja membuarkannya menjadi urusan yang harus diselesaikan oleh ASEAN.
“Tentu negara-negara lain menganggap konflik Myanmar ini masalah ASEAN yang mesti ASEAN sendiri yang menyelesaikannya. Dunia internasional sengaja ingin ASEAN itu mandiri, sebagai organisasi regional tanpa membawa masalah ini ke PBB yang pasti politisnya akan semakin tinggi dan malah bikin semakin pelik kalau sampai ke tingkat PBB,” tuturnya.
Pandemi Covid-19 Uji Kekompakan ASEAN
Sementara itu, pandemi Covid-19 menurut Hikmahanto menjadi bahan ujian bagi solidaritas, serta keguyuban seluruh negara anggota ASEAN dalam menghadapi persoalan global di bidang kesehatan yang mengancam keselamatan warga negara mereka.
“Masalah yang sulit diselesaikan ini, menguji negara-negara ASEAN untuk tidak egois, tak sekadae memikirkan keselamatan negaranya sendiri. Misalnya soal vaksin, mesti bisa bantu negara yang belum bisa dapat akses vaksin dengan baik, misalnya Laos atau Kamboja itu agak tertinggal soal vaksin dan kemudian juga Indonesia sebenarnya masih butuh,” terangnya.
Ia menilai wajar kalau saat ini, masing-masing negara anggota ASEAN memprioritaskan keselamatan warga negaranya dari bahaya Covid-19 dan memaksimalkan vaksinasi tanpa terlebih dahulu memikirkan keselamatan negara tetangganya.
Akan tetapi, penting keasadaran setiap negara anggota saat di negaranya sudah berhasil melakukan vaksinasi mencapai kekebalan komunal di tengah warganya alias herd immunty, maka perlu membantu negara anggota yang masih terengah-engah kesulitan soal vaksin.
“Dalam sutuasi ini, pasti setiap negara memikirkan keselamatan warganya, tapi harus ada menunjukan sikap solodaritas dan mulai membuka dialog yang bisa dilakukan bersama supaya menekankan di mata dunia kalau ASEAN solid dari kalangan elit sampai masyarakat biasanya dan menghadapi situasi pandemi dengan kompak,” imbuhnya.
Hikmahanto pun mengamati kalau Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan masyarakat global menganggap saat ini Singapura, Brunei Darussalam, dan Vietnam merupakan negara-negara yang paling baik menangani pandemi di ASEAN. Ia mengharapkan hal ini jangan sampai memperlihatkan citra kalau ASEAN merupakan formalitas semata di kalangan elit pemimpin masing-masing negara, tapi saat menghadapi masalah bersama seperti pandemi, saling cuek satu sama lain.
“Nah, jangan sampai muncul anggapan kalau ASEAN ini enggak kompak, sukanya memikirkan keselamatan negara sendiri dulu padahal mereka adalah negara kawasan yang saling berbatasan. Tentu susah juga kalau negara kawasan yang artinya saling berbatasan, tapi enggak memikirkan negara tetangganya juga ya, susah untuk bisa terbebas dari pandemi. Satu negara ASEAN akhirnya aman bebas dari pandemi, tapi tetangganya masih ribet urusin virus terus dicuekin ya, sama juga bohong. Nanti virusnya bisa sampai lagi ke negara yang sudah aman tadi,” ucapnya.