Belakangan viral unggahan di Twitter yang menyebutkan kalau
saat ini tengah terjadi gelombang besar-besaran pemutusan hubungan kerja (PHK)
di perusahaan jasa pengiriman barang SiCepat.
Dipaksa Tandatangan Surat Pengunduran Diri
Berdasarkan narasi yang beredar lewat unggahan Twitter
@arifnovianto_id, disebutkan ratusan kurir ini dipecat oleh perusahaan, namun
mereka diminta untuk menandatangani surat pengunduran diri.
“GELOMBANG PHK massal tengah dilakukan SiCepat. Di
Jabodetabek ada sekitar 365 kurir yang dipecat, tapi mereka disodori surat
pengunduran diri. Tujuannya, agar perusahaan tidak membayar pesangon dan
hak-hak lainnya bagi kurir,” cuit akun tersebut dikutip Minggu
(13/3/2022).
Dalam unggahan yang sama, disebutkan kalau beberapa kurir
yang terkena PHK dipilih oleh perusahaan yang berstatus pekerja atau karyawan
tetap. Akun tersebut lalu menyebutkan, PHK yang dilakukan SiCepat sudah dimulai
sejak tiga bulan lalu.
Saat ini, diketahui para kurir yang tiba-tiba dipecat ini,
menyampaikan gugatan kepada perusahaan karena tidak terima dengan keputusan
tersebut.
“Kawan kurir yang dipecat tengah menggugatnya dengan
didampingi oleh serikat. PHK dilakukan untuk memindahkan kurir dalam mekanisme
kerja outsourcing,” ungkapnya.
Asumsi.co telah berusaha menghubungi pihak SiCepat terkait
kabar ini. Namun hingga kini, mereka belum memberikan respons melalui
pernyataan sikapnya.
Efiesiensi Sering Jadi Alasan
Deputy President Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia
(FSPMI), Obon Tabroni angkat bicara terkait isu ini. Menurutnya, sebetulnya
sejak adanya Undang-undang Cipta Kerja, pengusaha semakin mudah melakukan PHK
terhadap buruh.
Terlebih, di massa pandemi dan situasi ekonomi yang tak
kunjung membaik, ia menilai gelombang PHK besar-besaran sangat bisa terjadi.
Pihak perusahaan akan terus memutar otak untuk mencari cara agar PHK bisa
dilakukan demi alasan efisiensi.
“Sekarang, kita tahu sistem hubungan kerja cenderung
fleksibel. Mudah rekrut dan mudah pecat untuk status karyawan tetap, aplagi
dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing. Alasan efisiensi sering digunakan,”
katanya kepada Asumsi.co, Minggu (13/3/2022).
Menurutnya, jika status kurir akan ditempatkan ke dalam
butuh kontrak dan outsourcing tentu akan menambah masalah baru bagi
kesejahteraan mereka.
“Buruh kontrak tidak mendapatkan pesangon. Dengan
polemik soal JHT baru-baru ini kan, jadi masalah juga. Sudahlah PHK dipermudah,
pesangon dikurangi, sekarang juga pengambilan JHT secara penuh buat mereka
rasanya dipersulit,” tandasnya.
Perlawanan Karyawan
Sementara itu, Wakil Presiden Konfederasi Serikat Pekerja
Indonesia (KSPI), Riden Hatam Aziz menyampaikan pandangan bila dilihat dari
status pekerjaannya yang kontrak, maka pekerja dan pihak pemberi kerja harus
sama-sama mematuhi pada waktu kontrak kerjanya.
Bila waktu kontraknya belum habis, kata dia perusahaan
dengan berbagai alasan ingin menghentikan pekerjanya, maka boleh-boleh saja
namun dengan syarat khusus.
“Itu boleh dengan catatan dia membayar sisa waktu
kontraknya misal masih tiga bulan, dua bulan, atau masih empat bulan harus dibayar
langsung. Soalnya memutuskan pekerjanya ini kan, kemauan si pemberi
kerja,” ucapnya saat dihubungi terpisah.
Namun, bila terjadi indikasi pemaksaan terhadap karyawan
agar seolah mengundurkan diri, terlebih dengan status sebagai karyawan tetap
maka tergantung pada karyawan tersebut untuk melakukan perlawanan.
“Jadi, kembali pada karyawannya. Dia nggak mau
tandatangan, maka hubungan kerja tetap jalan walaupun pengusaha akan terus
memaksakan dan terjadi perselisihan dan bisa dibawa ke Dinas Ketenagakerjaan,
Disnaker,” ucapnya.
Ia memahami saat ini, banyak perusahaan dengan berbagai cara
akan terus mencarri-cari kesalahan karyawannya agar bisa tetap dilakukan PHK
saat berhadapan dengan Disnaker.
“Akhirnya memang bisa tetap kalah lagi. Itulah mengapa
pentingnya berserikat. Soal ya kalau nggak berserikat posisinya sendirian dan
akan lemah. Tempo haru saya juga diskusi dengan kurir di luar isu ini. Mereka
menyampaikan problem mereka berserikat itu mereka sulit bertemu satu sama lain
karena kerja lapangan. Jadi, mengkoordinirnya agak sulit,” ungkapnya.
Bisa Dibawa ke Jalur Hukum
Riden menjelaskan, pemaksaan tandatangan surat pengunduran
diri dalam rangka PHK, sangat bisa digugat secara hukum di pengadilan. Asalkan,
pertama-tama dibawa masalahnya ke Disnaker.
“Sangat bisa dituntut karyawan tersebut. Dia bisa
melaporkan ke Disnaker bagian pengawasan atau mediator kalau dia dopaksa mundur
dari pekerjaannya,” katanya.
Adapun produk dari tuntutannya berbeda. Jika dibawa ke
Disnaker bagian pengawasan, maka keputusan akhirnya bersifat final namun bisa
ditundaklanjuti, apabila ditemukan unsur pidana atau perdata.
“Kalau mediasi sifatnya anjuran saja lewat keputusan
dialog. Kalau menurut saya, mending ke pengawasan supaya bisa dibawa juga ke
pidana karena ini kan, ada perbuatan perusahaan merampas hak orang, hak
pekerja,” pungkasnya.
Baca Juga