Olahraga

Apa Benar Sepak Bola Jadi ‘Anak Emas’ daripada Cabor Lain?

Irfan — Asumsi.co

featured image
Wesley Tingey/ Unsplash

Fanatisme orang Indonesia pada sepak bola boleh dibilang cukup terdepan. Mengutip data Nielsen Sport yang dikutip CNN Indonesia, 77 persen orang di negara ini memiliki ketertarikan pada sepak bola. Tak heran kalau kemudian klub-klub sepakbola di Indonesia punya penggemar garis keras.

Tidak kalah dengan Eropa atau Amerika Selatan yang mengimpor budaya suporter ke seluruh dunia, penggemar sepak bola di Indonesia juga total mendukung tim kesukaannya. Sangking totalnya, tak jarang rivalitas itu terbawa sampai ke luar stadion. Namun, meski rivalitas ini kerap memicu bentrok, saat Tim Nasional Indonesia berlaga, semua seolah ada dalam satu komando.

Asa untuk tim sepak bola Indonesia juara di pentas dunia juga sudah dipendam lama. Sayang, hingga kini asa itu belum juga terwujud.

Pada Olimpiade Tokyo 2020 saja, Indonesia gagal mengirim delegasinya baik putra maupun putri untuk berlaga. Kegagalan Timnas Indonesia U-23 di babak kualifikasi Maret 2019 lalu membuat pasukan Garuda gagal melenggang tidak hanya ke Olimpiade tetapi juga Piala Asia U-23, 2020.

Anggaran besar

Sepak bola adalah cabang yang memiliki anggaran besar dibandingkan dengan cabang lain. Kondisi itu pun menimbulkan dilema tersendiri mengingat prestasinya di ajang internasional yang terbilang tidak seperti badminton atau angkat besi.

Pada Juli 2020 saja, saat Kementerian Pemuda dan Olahraga memberikan suntikan dana bagi 14 cabor yang digunakan untuk Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON), Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) mendapat dana paling besar. Otoritas sepakbola di Indonesia ini mendapat Rp50.619.561.500 dari anggaran yang diajukan sekitar Rp 69,144 miliar.

Besar dana yang diterima oleh PSSI ini dibagikan kepada 46 atlet dan 15 offisial.

Kalau dibandingkan dengan cabang olahraga yang menyumbang medali di Olimpiade Tokyo 2020 yakni bulu tangkis dan angkat besi misalnya, jumlah itu memang sangat besar. Soalnya, pada pencairan yang sama, Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) mendapatkan total bantuan Kemenpora sebesar Rp18.618.087.000.

Anggaran ini terbesar kedua dari 14 cabang olahraga yang menerima suntikan dana dari Kemenpora. PBSI mencatat ada 28 atlet dan 17 offisial yang akan mendapat kucuran dana tersebut.

Sementara untuk angkat besi yang tiap Olimpiade menyumbang medali, Persatuan Angkat Besi, Angkat Berat, dan Binaraga Seluruh Indonesia (PABBSI), hanya menerima total bantuan Rp 10.008.514.000 untuk 13 atlet dan 15 offisial. Jumlah ini adalah anggaran terbesar kelima dari 14 cabor setelah PSSI, PBSI, Persatuan Olahraga Dayung Seluruh Indonesia (PODSI), dan Ikatan Sport Sepeda Indonesia (ISSI).

Sepak bola anak emas?

Pengamat olahraga Budiarto Shambazy menilai besaran anggaran yang diterima sepak bola bukan berarti menandakan bahwa cabor tersebut menjadi anak emas pemerintah. Dia menilai anggaran yang besar untuk sepak bola tak lepas dari sejumlah faktor, salah satunya popularitasnya.

“Tidak jugalah (anak emas). Sepak bola cabor paling populer sehingga paling banyak mendapat perhatian dari publik, media, aktivis, pejabat, dan lain-lain,” ujar Budiarto kepada Asumsi.co, Selasa (3/8).

Budiarto menyampaikan popularitas sepak bola bagi orang Indonesia bahkan dunia sulit dikalahkan. Sehingga, meski belum menunjukkan prestasi yang signifikan, tiap Timnas Indonesia bertanding, tiap itu pula sorotan dialihkan oleh masyarakat kepada sepak bola. 

Mereka punya cita-cita Indonesia berjaya di pentas dunia. Prestasi itu memang belum tertoreh, tetapi dukungan dari publik pun tidak surut. Asa itu tetap dijaga.

“Publik menunggu Indonesia jadi juara AFF, atau juara Sea Games ketiga kalinya. Unsur populernya sepak bola memang enggak bisa dilawan. Wajar kalau sepak bola di negara mana pun lebih besar dari pada cabang lain,” kata Budi.

Dengan usur popularitas ini, otomatis pembiayaan pun lebih besar. Mengingat di situ ada organisasi yang besar baik secara wilayah dan Sumber Daya Manusia, hingga kompetisi di berbagai level. Pembinaan buat atlet pun dilakukan ke level paling muda dengan peserta yang tidak sedikit.

“Memang kalau dibagi jumlah anggaran yang ada dengan penerima, sepak bola tetap mendapat paling banyak, tetapi sistem pembinaan kan tidak sesederhana itu. Bulu tangkis pembekalan buat juniornya mungkin enggak sebanyak sepak bola. Selalu berbeda. Masing-masing cabang olahraga punya pembinaan yang khas,” kata dia.

Dengan begitu, Budi menilai tidak mudah membandingkan anggaran yang didapat oleh cabang olahraga yang satu dengan lainnya. Apalagi di tengah anggaran olahraga Indonesia yang memang tidak seberapa.

“Bahwa tidak berprestasi betul, tapi anggaran yang diperoleh cabor memang relatif sedikit. Kita bukan negara yang maju yang menggelontarkan dana pembinaan besar buat olahraga. Paling Rp1 sampai Rp2 Triliun per tahun,” kata dia.

“Memang penyakit kita ini (olahraga) enggak well-funded. Untuk negara sebesar Indonesia (anggaran olahraganya) masih di bawah Thailand bahkan Singapura,” ujar Budiarto menambahkan.

Plt GM APPI, Mohammad Hardika Aji menilai pandangan sejumlah pihak
bahwa sepak bola menjadi anak emas adalah hal yang biasa. Namun, dia
mengingatkan masalah prestasi bukan terkait dengan anggaran. Prestasi berkaitan
juga dengan pembinaan hingga fasilitas.

“Sah-sah saja jika terdapat pandangan seperti itu. Namun
perlu diperhatikan, jika berbicara prestasi, prestasi bukan hanya masalah
Anggaran, melainkan banyak hal yang berkaitan erat yang saling mempengaruhi
seperti: Pembinaan Usia Dini, Kualitas Kompetisi dan Pelatihan yang baik,
hingga infrastruktur,” ujar Hardika kepada Asumsi.co.

Hardika menambahkan kecemburuan terhadap sepak bola juga
mungkin terkait dengan keberadaan Instruksi Presiden mengenai peningkatan
prestasi cabang tersebut. Lebih dari itu, dia mengatakan anggaran dalam
olahraga erat kaitannya dengan proyek atau event.

Program khusus

Salah satu jalan yang bisa dilakukan adalah mengembalikan program dukungan untuk olahraga seperti program “Bapak Angkat” yang dilakukan di zaman Orde Baru. Program ini berupa kemitraan antara cabang olahraga dengan pengusaha.

Meski program ini sudah tidak semasif dulu, beberapa cabang olahraga masih melakukannya dan terbukti lebih berdaya karena kemitraan yang masih terjalin baik dengan dunia usaha tadi. Salah satunya bulu tangkis.

“Atau seperti kiprah Bob Hasan saat mengurus PB PASI (Persatuan Atletik Seluruh Indonesia). Ia, yang memang pengusaha, berhasil memberi deret prestasi untuk atletik di Indonesia,” kata dia.

Adapun catatan Budi untuk sepak bola Indonesia, satu yang belum juga bisa dilampaui adalah kekuatan fisik. Menurutnya, hal inilah yang kini tengah dipoles terus oleh Shin Tae-Yong. Kalau pun ada anggaran lebih, ia menyarankan untuk lebih sering melakukan uji tanding ke luar negeri.

“Apalagi belakangan ini kita sudah menaikkan level uji coba ke luar negeri kita. Sekarang semakin banyak negara yang menerima kita. Kita bisa bertanding lawan Jordania, Lebanon. Kalau sebelumnya kan hanya dengan negara ASEAN,” ucap dia.

Share: Apa Benar Sepak Bola Jadi ‘Anak Emas’ daripada Cabor Lain?