Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) meminta perguruan tinggi untuk memutar lagu “Indonesia Raya” tiap Selasa dan Kamis. Dituangkan dalam sebuah surat edaran, dengan Nomor 13 Tahun 2021, Kemendikbudristekdikti mensyaratkan lagu ini diputar setiap pukul 10.00.
Mengutip Tempo, aturan ini tertuang dalam Surat Edaran bertajuk Pelaksanaan Apel Pagi Bagi Pegawai di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Seperti dikutip dari Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) Kementerian, ini diteken oleh Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Ainun Na’im pada 21 Juli 2021.
Di bagian pengantar, edaran ini ditujukan kepada Direktur Jenderal, Inspektur Jenderal, Kepala Badan, Sekretaris Unit Utama, Kepala Biro, Kepala Pusat, Direktur, Pemimpin Perguruan Tinggi Negeri, Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi, Kepala Unit Pelaksana Teknis, dan Kepala Sekretariat Lembaga Sensor Film.
Aturan baru memutar lagu “Indonesia Raya” ini bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan rasa kebangsaan, cinta tanah air, ketaatan terhadap Pancasila, dan UUD 1945.Selain mengatur soal pemutaran lagu, surat ini menyebutkan kampus negeri harus menggelar upacara bendera setiap Senin dan membacakan naskah Proklamasi setiap Rabu dan Jumat. Di masa pandemi ini, apel bisa dilakukan secara daring.
Edaran ini juga mengatur sikap yang harus ditunjukan saat “Indonesia Raya” diperdengarkan dan pembacaan naskah Pancasila dibacakan. Yakni seluruh pejabat dan pegawai yang melaksanakan tugas kedinasan di kantor wajib berdiri tegak dengan sikap hormat.
Lanjutan dari Instruksi Menpan-RB
Sebelumnya aturan serupa juga muncul dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Ditujukan untuk Aparatur Sipil Negara, aturan apel pagi dikuatkan lewat Surat Menteri Nomor B/81/M.KT.00/2021 yang diteken pada 14 Juni 2021.
Mengutip Republika, lewat aturan tadi, sejak 1 Juli 2021 instansi pemerintah diinstruksikan untuk melaksanakan apel setiap Senin pagi. Selain itu, mereka diwajibkan untuk memperdengarkan lagu “Indonesia Raya” setiap Selasa dan Kamis pada jam 10.00 WIB.Adapun waktu membacakan naskah Pancasila setiap Rabu dan Jumat pada jam 10.00 WIB.
Kebijakan itu dilakukan untuk memelihara dan memperkuat rasa kebangsaan dan cinta Tanah Air.”Sebagai pengabdian terhadap negara dan rakyat Indonesia serta ketaatan terhadap ideologi Pancasila dan UUD 1945 bagi ASN di lingkungan instansi pemerintah,” ujar Tjahjo.
Namun, seefektif apa sih aturan ini untuk tujuan memupuk nasionalisme?
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia, Agus Pambagio, menyebut kalau saat ini aturan-aturan tersebut kurang efektif untuk memupuk rasa nasionalisme utamanya di kalangan generasi muda. Menurut dia, hal-hal seperti ini bisa jadi berpengaruh buat generasi tua, tapi sulit buat generasi muda.
“Kalau disebut kemunduran sih tidak. Tapi paling hanya menjadi sekadar nostalgia historis saja. Pengaruhnya apa? Bisa dibilang enggak ada,” kata Agus kepada Asumsi.
Agus beranggapan di zaman ini, nasionalisme anak muda tidak bisa lagi ditumbuhkan dengan sekadar menghapal atau menyanyikan secara lantang lagu kebangsaan. Ini biasanya hanya akan menjadi formalitas yang tidak menyisakan makna apa-apa.
Menurut dia, yang dibutuhkan untuk membakar nasionalisme anak muda adalah penghargaan dan dukungan negara buat mereka. Agus menuturkan, ketika negara memberi fasilitas yang baik, kepastian kehidupan, dan infrastruktur yang mumpuni maka anak muda tentu akan lebih bangga kepada bangsa dan negaranya.Ini tentu berbeda ketika anak muda masih menghadapi banyak kesulitan dan ketidakpastian di negaranya sendiri.
“Paling hanya verbal saja, saya cinta Indonesia karena lahir dan besar di sini,” kata Agus.
Oleh karena itu, Agus pun menyarankan agar pemerintah lebih memerhatikan layanan untuk masyarakat.”Buat mereka nyaman tinggal di sini. Ketika negara melindungi atau membangun infrastruktur untuk mereka, menghormati mereka, ada tempat buat berkarya, tentu mereka akan lebih mencintai bangsa. Kalau dengan menyanyi, ya paling nyanyi tengok kanan, tengok kiri, udah. Setelahnya, cari kerja toh tetap susah,” ucap Agus.
Baca Juga: Tugas Besar Menanti Wamendikbud Ristek: Dari PJJ Sampai Urusan Budi Pekerti
Wisnu Mintargo, dalam “Kontinuitas dan Perubahan Makna Lagu Kebangsaan Indonesia Raya” yang terbit di Jurnal Kawistara No. 3, Desember 2012 menulis, peranan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” kini kurang dihargai dan hanya menjadi kegiatan seremonial bersifat slogan. Menurutnya, para elit politik belum menyadari dan menghayati makna yang terkandung dalam lagu. Berbeda dengan para pendahulu yang menghayati lagu kebangsaan sebagai cerminan perjuangan, pengorbanan darah, harta, air mata, dan jiwa raga.
Wisnu menulis, pernyataan itu kini dapat dibuktikan dan berimbas pada dunia pendidikan. Dalam pelaksanaan upacara sekolah di seluruh pelosok tanah air, rata-rata para siswa kurang memiliki kesadaran kebangsaan, sehingga penganiayan, dan kekerasan terhadap sesama kerap terjadi.Pergeseran nilai fungsi lagu maupun cara menyanyikan berimbas pula dalam upacara di lembaga pemerintah daerah sampai pemerintah pusat.
Dewasa ini rata-rata peserta upacara tidak disiplin menghayati lagu, intonasi, maupun teks lagu kebangsaan, bahkan banyak yang belum hafal. Ini berkelindan juga dengan pergeseran nilai fungsi nasionalisme dan persatuan yang makin lama makin memprihatinkan.
Dalam jurnal itu, Wisnu menulis, penyimpangan perilaku pejabat dan abdi negara, anggota DPR pusat maupun daerah serta masyarakat turut memperparah keadaan. Terjadi krisis moral seperti meningkatnya korupsi, sifat anarkis sekelompok masa menggunakan alasan agama sebagai sumber keuntungan, kendaraan politik, dan alat terorisme.
Kasus narkoba, penebangan hutan dan pembalakan liar, penyelundupan kayu ilegal dan hasil bumi, perlindungan warga di luar negeri, tenaga kerja Indonesia, komersialisai penyalahgunaan pendidikan dan kesehatan masyarakat, melanggar HAM, bencana alam dan lingkungan serta transportasi di Indonesia yang terjadi berturut-turut adalah sebagai sebuah konspirasi politik yang menginginkan Indonesia dalam keadaan tidak stabil.Oleh karena itu, Wisnu menyimpulkan, penghayatan wawasan kebangsaan tidak cukup mempelajari paham kebangsaan, tapi juga harus dibuktikan dan digali lebih dalam.