Pandemi Covid-19 ternyata tidak berbuah manis bagi kondisi udara di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat maupun level 4 tak berpengaruh dalam menurunkan kadar polusi di wilayah Jabodetabek.
Padahal, mengutip laporan CNN, lockdown alias karantina di sejumlah negara telah menghasilkan peningkatan kualitas udara pada 84 persen negara di seluruh dunia.
Agaknya ini tidak berlaku untuk Indonesia, berdasarkan data NAFAS, kualitas udara di wilayah Jabodetabek khususnya tak menjadi lebih baik dengan pengetatan mobilitas masyarakat, bahkan cenderung memburuk.
Kuliatas udara DKI menurun
Berdasarkan data kualitas udara NAFAS, di DKI Jakarta jumlah jam kualitas udara sedang menurun, dan kadar UHSG (Unhealty for Sensitive Groups) cenderung meningkat. Sementara di Bodetabek, perbedaannya bahkan lebih mencolok dengan jam tidak sehat meningkat secara signifikan.
NAFAS membandingkan dua minggu sebelum PPKM dan dua minggu selama PPKM. Mereka menggolongkan tingkat kualitas udara dengan kategori Baik, Sedang, Tidak Sehat untuk Kelompok Sensitif (UHSG), Tidak Sehat, Sangat Tidak Sehat dan Berbahaya.
Situasi berbeda malah terjadi di Bali dan Yogyakarta. Karantina PPKM di sana berhasil meningkatkan kualitas udara dengan perbaikan udara baik di Bali cukup signifikan dan kenaikan udara sedang signifikan di Jogja.
Tentunya hasil riset ini menimbulkan pertanyaan, mengapa wilayah Jabodetabek tidak mengalami peningkatan kualitas udara di tengah melambatnya aktivitas masyarakat.
Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu menjelaskan laporan dari NAFAS tidak jauh berbeda dengan data dari Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta. Ia mengatakan, justru saat PPKM di bulan Juli 2021 terjadi peningkatan partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron (PM 2,5) alias si udara kotor.
“Bulan Juli ini peningkatan angka rata PM 2.5 hariannya yang melebihi BMUA (Baku Mutu Udara Ambient) meloncat lebih dari 2 kali lipat dengan BMUA harian PM 2,5 di level 55 ug/m3,” katanya saat dihubungi Asumsi.co, Jumat (30/7/2021).
Kendaraan bermotor bukan satu-satunya penyebab
Di masa lalu, kata Bondan, banyak laporan bahwa sebagian besar polusi udara Jakarta disebabkan oleh transportasi. Dengan jumlah kendaraan di Jabodetabek yang terbilang sangat banyak, hal tersebut ditengarai turut berperan dalam pencemaran udara.
Selain itu, menurutnya pencemaran udara di Jakarta juga disebabkan oleh aspek lain. Ini termasuk golongan energi seperti pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas, kemudian sektor industri seperti pabrik dan manufaktur, kemudian pembakaran limbah industri seperti konstruksi, industri ilegal, pembakaran sampah pinggir jalan, pembakaran lahan pertanian di sekitar Jabodetabek.
Ia menyampaikan, bagaimanapun wilayah DKI Jakarta dikelilingi berbagai macam industri yang menopang keberadaannya sebagai ibukota dan hubungannya dengan berbagai kota bahkan dunia. Sayangnya, wilayah penopang DKI Jakarta tidak memiliki alat ukur stasiun alat pantau udara.
Hal ini juga yang disayangkan oleh Bondan, menurutnya, wilayah penopang Jakarta sangat krusial untuk memiliki stasiun pantau udara sehingga dapat diukur kadar polusi yang disebabkan industri di wilayahnya.
“Ini penekanannya bukan hanya pada DKI Jakarta saja yang wajib melakukan ini, tetapi Jawa Barat dan Banten juga punya kewajiban yang sama, sehingga bicara penanganan sumber polusi berdasarkan basis data,” ujarnya.
Saat ini, keberadaan alat pantau udara di DKI Jakarta hanya ada lima stasiun pantau padahal untuk setidaknya untuk mengetahui data yang lebih riil membutuhkan hingga 30 stasiun pantau di ibukota, belum lagi di daerah sekitarnya.
Curah hujan dan angin yang minim memasuki musim kemarau
Selama musim hujan dari November 2020 hingga Maret 2021, kualitas udara di Jakarta mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan kadar PM 2.5.
Berdasarkan data DLHK DKI Jakarta, selama PPKM mikro pada 3–20 Juni 2021 yang masih ada hujan rata-rata PM 2.5 mencapai 47,91 ug/m3 dengan intensitas hujan tertinggi mencapai 183,7 mm. Sedangkan ketika PPKM Darurat 3-20 Juli 2021 data PM 2.5 mencapai 64,31 ug/m3 dengan intensitas hujan tertinggi 51,9 mm.
Dengan demikian, kenyataannya hujan, angin, kekuatan angin, dan arah semuanya berkontribusi pada langit biru Jakarta dengan memindahkan polusi ke tempat lain.
Sejak Mei, jumlah hari dengan hujan telah berkurang secara signifikan, dan polusi udara yang kami hasilkan di Jabodetabek tidak ke mana-mana. Setelah PPKM dimulai, kualitas udara yang lebih baik, tetapi itu terjadi pada hari-hari di mana ada hujan dan angin.
“Harusnya dibuat lagi risetnya secara berkala, paling tidak mewakili musim kemarau dan musim hujan, sehingga kita tahu dari mana sumbernya polusi berasal. Sembari juga lakukan edukasi perihal pentingnya data kualitas udara untuk masyarakat,” kata Bondan.
Aktivitas bakar sampah yang meningkat
Data NAFAS menunjukkan adanya sebagian besar pembakaran sampah terjadi di tengah malam saat asap tidak terlihat, dan menyebabkan kualitas udara Jakarta menjadi yang terburuk antara pukul 8 malam hingga 9 pagi. Pembakaran sampah industri dan pribadi merupakan isu besar yang berperan besar dalam masalah pencemaran udara di Jabodetabek.
Mengutip data DLHK DKI Jakarta, mobilitas masyarakat saat PPKM Darurat mengalami penurunan dalam penggunaan transportasi umum, perkantoran serta pusat perbelanjaan sehingga dapat terlihat bahwa PM 2.5 di Bundaran HI lebih rendah dibandingkan stasiun pemantau kualitas udara (SPKU) lainnya.
Namun pada area pemukiman terjadi peningkatan saat PPKM Darurat, karena SPKU Kelapa Gading, Jagakarsa, Lubang Buaya dan Kebon Jeruk berada di area dekat pemukiman dan penurunan PM2.5 tidak terlihat pada lokasi-lokasi tersebut.