Mengurangi konsumsi daging disebut bisa berperan menjaga lingkungan. Sebab berdasarkan riset Enviromental Working Group (EWG) menyebutkan kalau daging merupakan makanan yang banyak menghasilkan gas karbon. Ajakan untuk lebih banyak mengonsumsi makanan berbasis sayuran daripada daging pun diserukan.
Namun relevankah ajakan ini dengan tingkat konsumsi daging di Indonesia yang justru masih dinilai rendah bahkan untuk level di kawasan Asia Tenggara?
Emisi Karbon dari Pakan dan Kotoran Ternak
Berdasarkan riset yang dirilis oleh EWG, disebutkan bahwa bahan makanan yang menghasilkan emisi karbon terbesar adalah daging, baik yang berasal dari ternak sapi, domba, dan ayam.
“90% emisi karbon dari daging sapi dihasilkan saat proses produksi. Mulai penyediaan pakan ternak, proses pencernaan hewan ternak (digestion) dan juga kotoran yang dihasilkan hewan ternak,” demikian disampaikan riset.
Secara sederhana kalau hewan ternak juga membutuhkan makanan yang berupa tumbuhan yang harus diproduksi di lahan pertanian dan perkebunan. Proses produksi pakan ternak ini memerlukan pupuk, pestisida, lahan , dan juga air. Dominan, pupuk yang dipakai adalah pupuk nitrogen.
“Pupuk ini memberikan efek pemanasan global 300 kali lebih tinggi daripada gas karbondioksida. Kotoran hewan ternak jika tidak diolah dengan baik akan menghasilkan gas metana dan nitrogen Itulah yang berpotensi mencemari lingkungab, air tanah, dan menyebabkan pemanasan global,” jelas penelitian EWG.
Senentara itu, Environmental Protection Agency (EPA) menyatakan bahwa kotoran hewan merupakan sumber penghasil gas metana terbesar sebesar 60% dari total produksi gas metana dunia.
Konsumsi Daging Indonesia Masih Rendah
Sustaination menyarankan untuk mengurangi emisi karbon dari makanan, bisa dilakukan dengan mengurangi makan daging dengan membatasi jangka waktu konsumsinya.
“Misalnya mulai dari hanya memakan daging merah satu kali saja dalam satu minggu. Bisa juga mengganti daging merah menjadi daging ayam, sampai akhirnya lepas dari protein hewani sama sekali,” jelas mereka.
Di sisi lain, justru tingkat konsumsi daging oleh masyarakat Indonesia masih termasuk sedikit. Hal ini demi pun dikaitkan dengan kebutuhan gizi masyarakat dari daging masyarakat kita yang masih kurang.
Data Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) yang dirilis baru-baru ini, konsumsi daging pada masyarakat Indonesia baru 9,3 kg secara keseluruhan. Data tersebut jika dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN lainnya, Indonesia masih jauh tertinggal. https://data.oecd.org/agroutput/meat-consumption.htm
“Data OECD dalam periode yang sama, negara tetangga seperti Malaysia tingkat konsumsinya mencapai 53,1 kg, Filipina mencapai 16,6 kg daging, Thailand angka konsumsinya mencapai 10,2 kg. Sedangkan Vietnam 32,7 kg daging. Total rata-rata konsumi daging dunia menurut OECD minimal 14,4 kg untuk daging sapi, sedangkan rata-rata seluruh jenis daging yang dikonsumsi 33,0 kg per kapita,” tulis data OECD.
Batas Cakupan Konsumsi Daging Indonesia
Ajakan mengurangi konsumsi daging ini tentu menjadi dilema. Sebab Kemendag RI menyebut rata-rata tingkat konsumsi daging di Indonesia juga masih jauh di bawah rata-rata tingkat konsumsi dunia yang mencapai 6,4 kg daging sapi, 14 kg daging ayam, 12,2 daging babi, dan 1,7 kg daging kambing. Data ini tentu bisa menjadi acuan cakupan konsumsi daging yang dibutuhkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan gizi dan nutrisinya.
“Dengan rendahnya tingkat konsumsi daging ini juga berpengaruh pada rendahnya tingkat asupan protein hewani pada masyarakat Indonesia, terutama untuk golongan ekonomi menengah ke bawah,” demikian disampaikan Kemendag RI lewat situsnya.
Data Food and Agriculture Organization (FAO) yang diterima Kemendag menyebutkan tingkat konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia pada 2017 masih tertinggal dari negara-negara maju bahkan dengan beberapa negara ASEAN.
“Dari total konsumsi protein, konsumsi protein hewani Indonesia baru mencapai 8 persen, sementara Malaysia mencapai 30 persen, Thailand 24 persen, dan Filipina mencapai 21 persen,” jelas data FAO.
Protein hewani justru penting karena sumber pangan yang sangat baik untuk masa pertumbuhan dan perkembangan anak-anak karena kandungan asam aminonya yang lengkap.
Kemendag pun angkat bicara soal ini. Sejauh ini konsumsi daging di Indonesia masih rendah. Bila masalah ini tak segera ditangani, maka akan timbul bencana yang lebih besar, yaitu hilangnya generasi penerus bangsa akibat kekurangan protein.
“Kekurangan protein, terutama protein hewani, bisa berakibat pada lambannya pertumbuhan badan dan juga tingkat kecerdasan anak-anak,” pungkas mereka.
Kalau menurut kalian kita harus banyak mengonsumsi daging sampai batasannya terpenuhi atau mulai mengurangi makan daging?