Sains

Kenali Pseudosains Saat Pandemi, Subjektif Hingga Mengabaikan Segala Bukti

Irfan — Asumsi.co

featured image
Unsplash

Pandemi Covid-19 yang
berlangsung di tengah perkembangan teknologi mau tidak mau membuat penyebaran
informasi tentangnya menjadi sangat masif. Dari ribuan bahkan jutaan informasi
yang beredar, banyak pula yang isinya tidak saintifik atau dikenal dengan
pseudosains.

Situasi ini kerap membingungkan
publik. Dalam memilah informasi yang ada, publik jadi sulit membedakan mana
yang benar dan tidak. Padahal, pseudosains di tengah pandemik ini bisa
berpotensi membahayakan fisik dan mental orang yang memercayainya.

​Oleh karena itu, publik
hendaknya mampu memahami batasan antara sains dan pseudosains ini. Jangan
sampai kita menjadi korban dari sebaran pengetahuan yang tidak berlandaskan
kajian ilmiah ini.

Mengutip tulisan Robert Shen dan
Veronika Maria Sidharta dari Universitas Atmajaya yang terbit The Conversation,
alasan manusia bisa percaya pseudosains adalah akibat adanya ketidaksempurnaan
kognitif dan penalaran manusia. Ketidaksempurnaan merujuk pada
ketidaksadaran manusia yang cenderung mengikuti keyakinan rata-rata orang atau
kelompok di sekitarnya.

Oleh karena itu, perlu pemahaman terkait
sejumlah ciri pseudosains agar tidak menjadi korban. Berikut ciri pseudosains
yang perlu diketahui:

Sifatnya subjektif

Pertama, pernyataan itu tidak
mungkin dibuktikan kesalahannya karena sifatnya yang subjektif. Ini bertentangan
dengan sains yang justru mampu diuji berulang-ulang.

Salah satu pernyataan seperti ini
adalah soal teori konspirasi. Teori ini kerap bersifat spekulatif dan bukan
hasil observasi eksperimental. Ia adalah kumpulan dari praduga untuk memenuhi
rasa ingin tahu ketika informasi yang dibutuhkan tidak tersedia, bertentangan,
serampangan dan tidak sesuai pandangan pribadi.

​Dalam konteks pandemi Covid-19,
konspirasi sering dikaitkan dengan pandemi yang merupakan senjata biologis
Cina.

​Ciri selanjnya adalah teori yang
tidak bisa diuji ulang oleh pihak lain. Dalam konteks pandemi, ini sering
terjadi pada obat herbal yang diklaim mampu jadi penawar Covid-19. Misalnya,
air kelapa dicampur dengan jeruk nipis dan garam.

Baca Juga: Survei Literasi Media: Anak Muda Harus Awasi Orang Tua dari Paparan Hoaks | Asumsi

Satuan Tugas Penanganan COVID-19
telah menyatakan ramuan tersebut hoaks. Masyarakat Anti Hoax Indonesia juga
menyatakan hingga saat ini belum ada bukti kuat bahwa campuran garam dan air
hangat bisa mengeluarkan virus corona atau Covid-19 dari tenggorokan.

Meski dikenal mampu membantu
seseorang untuk sembuh dari flu lebih cepat, namun belum ditemukan bukti bahwa
bahan-bahan alami tersebut mampu mencegah infeksi saluran pernafasan.

​Sebuah riset dari Cina terkait herbal
untuk pengobatan COVID berkesimpulan bahwa obat herbal tidak dapat diuji karena
takarannya menyesuaikan dengan gejala setiap individu. Padahal, sebuah hasil
penelitian yang saintifik, tepercaya dan jelas signifikansinya wajib dapat
diulangi percobaannya oleh semua peneliti lainnya dengan hasil akhir yang
terbukti sama.

Mengabaikan segala bukti

​Pseudosains juga disebut
memiliki ciri mengabaikan segala bukti yang bertentangan dengannya. Kabar-kabar
seperti ini kerap kali hanya berpijak pada bukti empiris yang sesuai dengan
kehendak pemberi kabar, namun menolak bukti empiris yang berlawanan.

​The Conversation mencontohkan
ciri ini dengan sosok Hadi Pranoto yang mengaku profesor mikrobiologi. Di awal
pandemi, ia mengklaim menciptakan antibodi COVID-19 sebagai obat minum pencegah
COVID-19 dan mampu menyembuhkan dalam 2-3 hari.

​Hal ini merupakan satu bentuk
pseudosains. Karena secara ilmiah, antibodi merupakan protein yang diciptakan
oleh sistem imun tubuh kita setelah terinfeksi atau divaksinasi.

​Selama pandemi COVID-19, beredar
pula terapi yang memanfaatkan aksesoris sebagai pencegah Covid-19. Bahkan,
Kementerian Pertanian pernah mengeluarkan produk seperti ini dengan nama kalung
eucalyptus.

​Hal ini merupakan salah satu
ciri lain dari pseudosains, yakni mengandalkan bukti anekdotal dan telah
diketahui tidak dapat diandalkan. Soalnya, secara ilmiah, para saintis
menyatakan SARS-CoV-2 menginfeksi melalui reseptor ACE2 di organ pernapasan
paru.

Belakangan diketahui juga
reseptor ACE2 tersebar di organ lainnya yang menjadi potensi terjadinya
kerusakan multiorgan pada perparahan gejala COVID-19.

​Klaim kalung tersebut lantas
menjadi sulit dibuktikan secara ilmiah, karena mekanisme perlindungan dari
kalung di leher tidak dapat mencegah virus yang masuk melalui saluran
pernapasan.

​Pseudosains pun kerap bersifat
argumen karena ketidaktahuan. Dalam konteks teori konspirasi pada pandemi
Covid-19, wabah ini disebut direncanakan sejak 2017 dengan menampilkan data
ekspor palsu Bank Dunia bertuliskan “Covid-19 Test kits exports by country
in 2017”.

Baca Juga: Makan Hoaks Berujung Kehilangan Nyawa, Mengapa Kabar Palsu Begitu Digemari? | Asumsi

Ada juga hoaks bahwa COVID-19
merupakan senjata biologis yang bocor, hoax politik, dan produk sampingan
teknologi wireless 5G.

​Klaim seperti ini akan terus
bertambah dan menjadi argumentasi pembelaan bagi pihak yang mempercayainya.

​Korban pseudosains dengan ciri ini
kerap menerima klaim-klaim tersebut karena karena ketidakmampuan menyangkal
klaim tersebut berdasarkan sumber sahih, padahal memang klaim semu seperti itu
tidak perlu dibuktikan kepalsuannya.

Menekankan penegasan

​Adapun ciri yang terakhir adalah
pseudosains sering berupa klaim kosong tak berdasar atau dibesar-besarkan tanpa
uji terlebih dulu. Hal ini karena penyebar kabar lebih menekankan penegasan
dibandingkan penolakan dan kurang memiliki data yang terbuka pada hasil uji
oleh ilmuwan.

​Dalam konteks pandemi, ciri ini
seperti yang terjadi pada isu kematian Maaher At-Thuwailibi akibat disuntik
vaksin secara paksa di ruang tahanan kepolisian. Padahal –selain telah
dibantah oleh keluarga dan polisi– Indonesia pun saat ini menggunakan vaksin
untuk menekan laju pandemi Covid-19.

​Sudah ada enam jenis vaksin yang
digunakan mulai dari Sinovac, CoronaVac, Astrazeneca, Sinopharm, Moderna, dan
yang terkini mendapat izin penggunaan darurat, Pfizer.

Terbaru, seorang dokter bernama
Lois Owien juga menjadi perbincangan karena menuding kematian pasien Covid-19
akibat interaksi antar obat, bukan karena virus SARS-CoV-2. Pernyataan itu
menimbulkan pro dan kontra hingga berujung pada penangkapan Lois oleh polisi.

Pasca diperiksa, Lois
menyampaikan permintaan maaf. Sebelum penindakan dilakukan, sejumlah orang percaya
dengan klaim Lois.

Baca Juga: Asal Mula Kata ‘Hoax’ Mulai Terkenal di Media | Asumsi

Bagaimana mencegahnya?

​Claire Wardle, ahli disinformasi
dari Harvard University menyebut cara terbaik melawan misinformasi pseudosains
di masa pandemi ini tak lain adalah dengan membanjiri sumber pencarian berita
dengan informasi yang akurat. Selain itu, informasi yang disampaikan mengenai
sains dan pandemi pun hendaknya mudah dipahami, menarik dan mudah disebarkan
melalui media di perangkat seluler.

​Selain memerhatikan enam ciri
tadi, ilmuwan pun harus aktif menyebarkan pengetahuan yang akurat dan kredibel
kepada masyarakat dengan berbagai medium seperti media massa dan media sosial
untuk melawan narasi pseudosains yang bisa mengancam nyawa pada situasi pandemi
ini.

Share: Kenali Pseudosains Saat Pandemi, Subjektif Hingga Mengabaikan Segala Bukti