Kondisi maskapai Garuda Indonesia kian memburuk. Mulai dari kebijakan pensiun dini yang dilakukan BUMN tersebut beberapa waktu lalu hingga ancaman kebangkrutan yang ada di depan mata. Seperti apakah dinamika bisnis maskapai kebanggan negeri ini?
Menelisik mundur ke tahun 2018, Garuda Indonesia sempat membukukan kerugian bersih sebesar USD 213,4 juta sepanjang 2017 atau sekitar Rp2,98 triliun (kurs Rp 14.000).
Dikutip dari Kompas.com, (26/2/18), Direktur Garuda saat itu, Pahala N Mansury mengatakan kerugian perseroan sebagian besar disebabkan karena biaya bahan bakar avtur meningkat sebanyak 16,5% secara tahunan. Sepanjang 2017, biaya bahan bakar yang dikeluarkan Garuda mencapai USD 1,155 miliar, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya sebesar USD 924,7 juta.
Isu ini sebenarnya sejak 2018 lalu sempat tercium. Perusahaan BUMN, Garuda Indonesia ini akan dibeli oleh salah satu perusahaan terbesar di China. Namun, kabar itu sempat dianggap hoax oleh manajemen Garuda Indonesia.
“Berita tersebut sama sekali tidak benar,” tulis pihak Corporate Secretary Garuda Indonesia di lansir dari Warta Ekonomi, Jakarta, Selasa (5/6/18).
Baca juga: Kisruh Laporan Keuangan Garuda Indonesia
Namun, saat penyajian Laporan Keuangan Garuda tahun 2018. Kondisi burung besi merah putih ini mulai tercium. Ada sesesuatu yang tidak sehat di tubuhnya.
Pada Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) 24 April 2019, Garuda Indonesia mengumumkan, sepanjang tahun 2018 perusahaan mencetak laba bersih USD 809.840 meningkat tajam dari tahun 2017 yang rugi USD 216,58 juta.
Dua komisarisnya Chairal Tanjung dan Doni Oskaria menolak laporan keuangan itu. Penolakan itu bukan tanpa alasan, melainkan karena keduanya melihat ada kerugian pada kerja sama Garuda dengan PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia yang diperkirakan mencapai USD 244,95 juta.
Kisruh tersebut membuat Kementerian Keuangan, BPK, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bursa Efek Indonesia (BEI) turun tangan untuk menelisik laporan keuangan PT Garuda Indonesia tahun 2018.
Dalam melakukan investigasi, ketiga otoritas itu meminta Garuda untuk menyajikan ulang laporan keuangan. Saat itulah, ketiga otoritas menemukan adanya kejanggalan pada laporan keuangan perusahaan plat merah itu dan memberikan denda dengan nominal mencapai Rp1,25 miliar.
Denda tersebut terdiri dari Rp800 juta yang dibebankan kepada delapan direksi, Rp100 juta yang dibebankan kepada Dewan Komisaris, Rp100 juta denda kepada maskapai, dan tambahan denda Rp250 juta dari Bursa Efek Indonesia. Tidak hanya itu, Kantor Akuntan Publik (AP) Kasner Sirumapea dan Kantor Akuntan Publik (KAP) Tanubrata, Sutanto, Fahmi, Bambang & Rekan, selaku auditor laporan keuangan Garuda Indonesia terkena sanksi.
Dari hasil penyajian ulang tersebut, Garuda Indonesia mencatatkan rugi bersih sebesar USD 175,02 juta atau setara Rp2,45 triliun.
Percepatan Benahi Garuda Hingga Copot Direktur
Untuk membenahi Garuda, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno merombak susunan direksi PT Garuda Indonesia (Persero). Pembongkaran formasi dan termasuk pemimpin Garuda Indonesia sebagai langkah untuk menyehatkan Garuda melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB).
Saat itu, I Gusti Ngurah Ashkara Danadiputra atau biasa disapa Ari Askhara ditunjuk sebagai Direktur Utama PT Garuda Indonesia. Ia menggantikan Pahala Mansury. Selain itu, pemegang saham juga merombak lima dari tujuh direksi lainnya.
Untuk menyehatkan Gauda, Ari berjanji menekan kerugian perusahaan hingga di bawah USD 100 juta atau Rp1,4 triliun pada 2018. Salah satu caranya adalah melakukan penghematan dan mengurangi biaya operasional Garuda Indonesia.
Agar Garuda sehat, ia ingin memperkuat penerbangan ke Cina, Jepang, dan rute Umroh. Adapun untuk penerbangan domestik, Ari berencana memintakan slot penerbangan dari dan menuju Bandara Halim Perdanakusuma.
Rencana Ari berhasil. Garuda Indonesia mencatat laba bersih senilai USD 122,8 juta atau sekitar Rp1,7 triliun. Dikutip dari Kompas.com, 1 November 2019, jumlah tersebut naik signifikan jika dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang mencatatkan rugi sekitar USD 127,97 juta atau sekitar Rp1,5 triliun. Melonjaknya laba bersih sejalan dengan kenaikan pendapatan Garuda pada kuartal III 2019 senilai USD 3,5 miliar atau sekitar Rp49 triliun.
Sayangnya kinerja Ari yang bagus dikotori dengan ditemukannya motor Harley Davidson dan sepeda Brompton ilegal di pesawat baru milik maskapai tersebut. Penemuan barang mewah oleh petugas Bea dan Cukai di lambung pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA9721 bertipe Airbus A330-900 Neo terjadi pada Minggu (17/11/2019).
Akibatnya Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mencopot Direktur Utama Garuda Indonesia I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra dan Dewan Komisaris resmi menunjuk Fuad Rizal sebagai Plt Dirut PT Garuda Indonesia sampai adanya Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB). Di RUPS PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk resmi menunjuk Irfan Setiaputra menjadi Direktur Utama pada Januari 2020.
Tugas Irfan cukup berat, ia harus mampu membawa Garuda terbang tinggi agar bisa membayar utang sekitar USD 500 juta yang jatuh tempo pada Mei 2020. Hal itu dikatakan oleh Anggota Ombudsman Alvin Lie.
“Itu saya yakin tidak mungkin bisa dibayar dengan modal atau dari hasil bisnis. Pasti dibayar dengan utang lagi. Nah,utang lagi ini, utang barunya harus lebih murah daripada utang lama,” mata Alvin di Jakarta, Rabu (22/1/2020).
Pandemi Hingga Pensiun Dini Karyawan
Pandemi Covid-19 mulai masuk di Indonesia pada Maret 2020 membuat pesawat Garuda Indonesia terpaksa mengurangi penerbangan. Bahkan pada Juni 2020, tercatat 70% pesawat Garuda tidak terbang.
“Dari segi perusahaan, pendapatan kami menurun drastis. 70 persen pesawat kami grounded,” ujar Irfan dalam konferensi pers virtual,dilansir Kompas, Jumat (5/6/20)
Akibatnya Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menawarkan pensiun dini kepada karyawan. Sebanyak 7.890 karyawan Garuda dipensiunkan pada tahun 2020. Pada 26 Mei 2021, Direktur baru ini juga memilih opsi untuk mempesiunkan karyawannya lagi. Bila ini tidak dipilih ia terpaksa menunda gaji 5.945 orang karyawan Garuda Indonesia untuk bisa membayar utang sebesar Rp70 triliun.
Akibatnya saham Garuda menurun saham anjlok 6,7% dan kembali turun 6,8% pada perdagangan hari ini, Jumat (28/5/21) mendarat di level 272.
Menyelamatkan Garuda yang Sekarat
Garuda Indonesia terlihat sekarat, untuk itu Kementerian Badan Usaha Milik Negara membuat empat opsi untuk menyelamatkannya.
Opsi pertama adalah pemerintah harus terus mendukung Garuda melalui pemberian pinjaman ekuitas. Opsi kedua, adalah menyatakan perusahaan bangkrut secara hukum untuk merestrukturisasi sejumlah kewajiban Garuda. Opsi ketiga adalah restrukturisasi Garuda dan mendirikan perusahaan maskapai nasional (national flag carrier) baru yang melayani rute domestik. Maskapai baru itu akan mengambil alih sebagian besar rute domestik Garuda. Sementara opsi keempat adalah melikuidasi Garuda. Namun, akibatnya, Indonesia tidak lagi memiliki maskapai nasional.
Meski demikian keempat opsi ini masih dikaji kembali, hal ini dikemukakan Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra dilansir Kompas (27/5/2021).
”Tentu kami ikut mengkaji, tetapi itu lebih banyak menjadi urusan Kementerian BUMN, itu ranah mereka,” kata Irfan.
Sedangkan Mitra Piranti, VP Corporate Secretary Garuda Indonesia menerangkan bahwa selain empat langkah dari Kementerian BUMN, sebetulnya perusahaan sedang melakukan penyehatan dengan Memaksimalkan kerja sama dengan mitra usaha guna mendorong peningkatan pendapatan.
“Seperti Meluncurkan program promosional berupa Garuda Eco Lite, Garuda Online Travel Fair dan Thank God Its Friday serta berbagai program promosional Lainnya. Pembukaan Penerbangan Langsung Khusus Kargo guna mendukung daya saing komoditas ekspor nasional dan pengembangan UMKM, – Pengoperasian Pesawat Passenger Freighter, Optimalisasi Layanan Charter Kargo dan Pengembangan Layanan Pengiriman Barang “Kirim Aja” berbasis aplikasi digital,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Asumsi.co (28/5/21).
Sejalan dengan optimalisasi bisnis Cargo, kata Dia, Perseroan berencana untuk memperbesar porsi pendapatan usaha dari lini bisnis Cargo hingga 40% dari sebelumnya 10 hinga 15%.
“Dari sisi biaya, Perseroan tengah dan terus melakukan upaya renegosiasi dengan lessor serta menjalankan langkah strategis berupa restrukturisasi kewajiban usaha serta berbagai inisiatif strategis lainnya. Perseroan juga melakukan upaya penyelarasan supply and demand yang salah satunya dilakukan pada aspek pengelolaan SDM melalui program pensiun dini yang ditawarkan secara sukarela kepada karyawan,” katanya.
Disamping itu Perseroan terus melakukan komunikasi intensif dengan stakeholder terkait guna memastikan upaya percepatan pemulihan kinerja Perseroan berjalan maksimal.
“Untuk melunasi utang, Perseroan saat ini telah dan terus melakukan upaya-upaya dalam rangka memastikan risiko solvabilitas dapat dimitigasi dengan sebaik-baiknya, yang antara lain dilakukan melaui negosiasi dengan lessor pesawat, melakukan restrukturisasi utang usaha, termasuk terhadap Badan Usaha Milik Negara serta mitra usaha lainnya dan ketiga negosiasi langkah restrukturisasi pinjaman perbankan dan lembaga keuangan lainnya,” katanya.
Baca juga: Belajar dari Kepanikan Garuda Indonesia
Adapun seluruh upaya yang dilakukan oleh Perseroan pada prinsipnya dilakukan dengan tetap mempertimbangkan kondisi kinerja dan likuiditas Perseroan yang terdampak signifikan imbas situasi pandemi Covid-19.
PT Garuda Indonesia Tbk merupakan satu-satunya perusahaan maskapai milik negara. Sehingga wajar pemerintah menyelamatkan Garuda Indonesia, meskipun sering kali perusahaan ini membukukan kerugian.
Untuk diketahui Garuda Indonesia pertama kali mengudara pada 1949 di era agresi militer dilancarkan Belanda. Saat itu, meski sudah memproklamasikan kemerdekaan, Indonesia tetap dibayangi ancaman kependudukan oleh Belanda.
Sejarah berdirinya PT Garuda Indonesia bermula sejak Presiden pertama Indonesia, Soekarno mengemukakan idenya di depan sejumlah pedagang besar di Aceh untuk membeli pesawat Dakota (DC 3) dalam rangka melanjutkan revolusi kemerdekaan melawan belanda pada 16 Juni 1948.
Untuk merealisasikan ide sang Presiden, para pedagang Aceh menyumbang dana dan terkumpul uang sebanyak 130.000 Strait Dollar dan 20 kg emas yang kemudian digunakan untuk membeli pesawat DC-3 (Dakota). Pesawat ini melakukan penerbangan komersil perdana dari Yogyakarta menuju ke Jakarta pada tanggal 26 Januari 1949, yang kemudian dianggap sebagai hari jadi Garuda Indonesia.
Sedangkan nama Garuda Indonesia berasal dari sajak bahasa Belanda gubahan Raden Mas Noto Soeroto. Dalam baris sajak tersebut terdapat tulisan “Ik ben Garuda, Vishnoe’s vogel, die zijn vleugels uitslaat hoog boven uw eilanden” yang artinya “Aku adalah Garuda, burung milik Wisnu yang membentangkan sayapnya menjulang tinggi diatas kepulauanmu”. Dari sajak itulah kemudian pesawat DC-3 yang sudah ada diberi nama Garuda Indonesian Airways.