Isu Terkini

PAN Gabung Koalisi Jokowi, Suara Oposan Makin Keropos

Irfan — Asumsi.co

featured image
Foto: Instagram @zul.hasan.

Meski tidak mengejutkan, kehadiran Ketua dan Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) dalam pertemuan antara petinggi partai politik dengan Presiden Joko Widodo kemarin, cukup menarik perhatian. Sebab, diundangnya PAN ke pertemuan itu seolah menegaskan posisi PAN ke koalisi Jokowi.

Sejak dipimpin lagi oleh Zulkifli Hasan, PAN memang tak pernah benar-benar ambil posisi. Disebut koalisi bukan, oposisi pun tidak juga. Pertemuan kemarin lantas dibumbui sejumlah informasi bahwa partai berlambang matahari itu, telah resmi ambil posisi.

Pernyataan PAN bergabung dengan koalisi pemerintahan Jokowi, pertama keluar dari mulut Sekjen Partai NasDem, Johnny G Plate. Mengutip Antara, Johnny menyebut kalau PAN adalah sahabat baru di koalisi ini.

“Ini semakin memperkuat dan semakin memperkaya gagasan dan pandangan-pandangan serta ide-ide baru dalam rangka melanjutkan pemerintahan dan mengisi demokratisasi di Indonesia,” kata Johnny.

Baca Juga: Ikut Pertemuan Parpol di Istana, PAN Gabung ke Koalisi Jokowi | Asumsi

Partai koalisi pun setidaknya menyambut baik kedatangan PAN. Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid misalnya, melalui pesan tertulis kepada Asumsi.co menilai, sejak awal PKB memandang PAN lebih baik bersama-sama.

“Bagi PKB, dari awal tidak pernah cari musuh. Bagi PKB, seribu teman itu terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak,” kata Jazilul.

Menanggapi ini, PAN pun tak lama buka suara. Kepada Tempo, Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi mengatakan, kehadiran PAN dalam pertemuan partai koalisi dengan Jokowi sudah menegaskan posisi PAN yang selama ini kerap dianggap abu-abu.

“PAN sejak kepemimpinan Ketum Bang Zul telah menegaskan sebagai partai politik pendukung pemerintah, ikut sebagai partai koalisi,” kata Yogi.

Sejak 2019 lalu, Zulkifli Hasan sudah mengklaim bahwa PAN mendukung pemerintahan Jokowi tanpa syarat. Kendati demikian, Zulkifli menyebut, PAN tidak perlu masuk dalam koalisi.

Kendati demikian, Yogi memastikan tak ada pembicaraan soal alokasi kursi di kabinet pada pertemuan itu. “Tidak berbicara soal kabinet (pertemuan kemarin). Karena itu kewenangan dan hak prerogatif presiden,” kata Viva.

Oposisi Makin Ompong

Sementara itu, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menyebut, bergabungnya PAN ke koalisi makin membuktikan keroposnya posisi oposan di parlemen. Dengan bergabungnya PAN ke dalam barisan parpol koalisi, maka kursi parpol koalisi di parlemen pun akan turut bertambah secara signifikan.

“Tambahan 44 kursi PAN pada koalisi parpol pendukung Pemerintah, menjadikan kursi koalisi seluruhnya berjumlah 471 kursi. Sebaliknya, kursi oposisi menciut hingga tersisa 104 kursi saja. Dengan Kata lain, kekuatan koalisi di Parlemen menguasai 81,9 persen,” kata Lucius kepada Asumsi.co, Kamis (26/8/2021).

Lucius mengiyakan, kalau perubahan sikap PAN ini bukan sesuatu yang mengejutkan. Menurut dia, jika melihat rekam jejaknya, PAN sudah cukup lama ingin bergabung dengan Koalisi Pemerintah.

Baca Juga: Nadiem Ngotot Sekolah Tatap Muka Dimulai, Kasus Covid-19 Anak Berpotensi Naik | Asumsi

Walau selama ini tak diakui secara resmi oleh Koalisi, dan karena belum dijatah kursi kabinet, sikap PAN sejak 2019 lalu memang menunggu perubahan dari pihak Presiden, dan parpol-parpol koalisi yang sudah ada.

Dampak penambahan kekuatan parpol koalisi di parlemen tentu saja semakin memudahkan Kebijakan Pemerintah disetujui DPR. Meski kemudahan bagi Pemerintah bernegosiasi dengan DPR sudah terjadi bahkan saat PAN tak dihitung.

“Kekuatan koalisi di DPR sebelumnya sudah sangat besar. PAN hanya membuat kekuatan koalisi yang sudah besar, semakin tak tergoyahkan,” ucap dia.

Misi Sistem Presidensial

Di satu sisi, kekuatan koalisi yang dominan memang merupakan satu misi sistem Presidensial. Akan tetapi, di sisi lain kewenangan check and balances parlemen, berpotensi kian kabur ketika koalisi parpol dibangun sekadar untuk menikmati kekuasaan. Kondisi tersebut membuat DPR yang didominasi koalisi akan cenderung mendukung kebijakan Pemerintah.

“Itu hanya karena mereka tak mau kenikmatan yang sudah dirasakan akan hilang. Maka, apa saja yang diajukan Pemerintah nyaris tak terhambat untuk diwujudnyatakan berkat kekuatan besar koalisi di DPR,” ucap dia

Lucius menambahkan, hal ini adalah bahaya serius untuk demokrasi kita. Menurutnya, DPR yang mestinya menjadi perwujudan kekuatan penyeimbang akan menjadi kekuatan pendukung pemerintah saja.

“Dampak bagi DPR sudah pasti akan terlihat pada kinerja DPR yang tak akan banyak berubah menjadi lebih baik. DPR hanya akan menunggu apa kebijakan Pemerintah yang memerlukan persetujuan mereka,” ucap dia.

Proses pembahasan dan pembuatan kesepakatan, juga akan cenderung tertutup karena DPR hanya akan menjadi eksekutor dari kesepakatan elit koalisi bersama dengan Presiden. Partisipasi publik akan cenderung diabaikan, karena tak ingin mengganggu kenyamanan parpol koalisi menikmati kekuasaan.

Dengan begitu, bersama dengan dominannya koalisi di parlemen, DPR akan semakin lemah posisi tawarnya di hadapan pemerintah. Pemerintah menjadi kian mudah menentukan arah kebijakan tanpa kehadiran pikiran kritis dari parlemen.

“Maka, bergabungnya PAN ini saya kira sangat terkait dengan program ambisius Pemerintah yang ingin segera dieksekusi. Ada agenda Ibukota baru, agenda seperti amandemen UUD pun semakin terbuka dengan kekuatan dominan koalisi, yang bahkan tak mampu disaingi oleh oposisi plus DPD,” ujar Lucius.

“Jika Presiden sudah oke dengan rencana amandemen, maka secara prosedural, ia tak akan kesulitan mewujudkan misi itu. Banyak isu lain yang selama ini kerap ditentang publik juga bisa dengan mudah disepakati berkat dukungan parpol koalisi yang kian tak tertandingi,” lanjutnya.

Jokowi dan koalisinya membutuhkan kesolidan di parlemen untuk memuluskan kebijakan ambisiusnya. “Kekuatan Demokrat dan PKS sebagai oposisi mungkin akan mengganggu suasana, tetapi tak akan mampu merubah keputusan,” ucap Lucius.

Senada hal itu, Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin menduga, isu masuknya PAN ke koalisi Jokowi karena pemerintah ingin ada tambahan kekuatan. Ini bukan tanpa alasan, sebab beberapa waktu terakhir terdengar suara-suara masyarakat yang menginginkan turunnya Jokowi sebagai Kepala Negara.

“Masuknya PAN dalam koalisi merupakan kewaspadaan dan kekhawatiran Jokowi dalam menghadapi tahun politik ke depan. Tahun-tahun politik ke depan itu dipenuhi ketidakpastian. Goyang menggoyang itu tetap akan ada. Jadi butuh dukungan back up politik dari banyak partai,” ucap dia.

Masuknya PAN dalam koalisi pemerintah, juga dinilai akan menguntungkan kedua belah pihak. Bagi PAN, ia akan mendapat dukunga dari pemerintah dalam banyak hal. “Bagi Jokowi, koalisi gemuk tak masalah, yang penting dirinya aman dan kuat,” imbuh Ujang.

Share: PAN Gabung Koalisi Jokowi, Suara Oposan Makin Keropos