Video perselisihan antara warga dengan organisasi massa Forum Umat Islam (FUI) di Medan yang diunggah pada Rabu (7/4/2021) menjadi perhatian warganet. Bentrok tersebut diduga terjadi karena ormas membubarkan kesenian jaran kepang yang dihelat warga.
Dalam video yang Asumsi.co lihat di media sosial Instagram, Kamis (8/4/2021), sejumlah warga memang nampak geram dengan kedatangan ormas yang kebanyakan menggunakan seragam berwarna hitam. Seorang perempuan yang diduga anggota sanggar jaran kepang terlihat marah-marah dan bilang kalau kesenian tersebut biasa digelar di daerah itu. Dia juga menyebut sudah izin sebelum menggelar pementasan.
Salah seorang anggota ormas yang tak terima dengan jawaban si perempuan lalu mendekatinya. Tak banyak bicara, dia pun meludahi perempuan yang mengenakan baju hijau tersebut.
Warga lantas emosi. Keributan tak terelakkan, warga terlibat baku hantam dengan anggota ormas Islam tersebut.
Mengutip pemberitaan CNN Indonesia, kejadian tersebut terjadi di Jalan Merak, Gg Merpati Kecamatan Medan Sunggal pada 2 April 2021 sore. Kepada CNN, Eka, salah seorang anggota sanggar jaran goyang menyebut saat itu mereka tengah mengisi pertunjukan. Tiba-tiba anggota FUI Medan datang dan membubarkan pertunjukan mereka.
Eka menuturkan saat kejadian sejumlah anggota FUI Medan datang bersama Kepala Lingkungan (Kepling) dan TNI. Eka pun mengaku tidak mengetahui alasan pertunjukan Jaran Kepang dibubarkan. Sebab selama ini pertunjukan mereka selalu aman. Pertunjukan kemarin pun diakuinya ramai ditonton oleh warga.
“Tim Jaran Kepang yang waktu itu main ada sekitar 15 orang. Kami main dari jam 03.00 WIB sore. FUI datang sekitar jam 4.30 WIB sore. Mereka datang langsung bubarkan pertunjukan. Enggak tau saya alasannya. Jadi pas dibubarkan, tim Jaran Kepang disadarkan dulu lah, habis itu kami balik ke sanggar, ngumpul,” kata Eka.
Menurut Eka, warga yang tidak terima dengan pembubaran pertunjukan Jaran Kepang langsung terlibat bentrok dengan anggota FUI Medan. Setelah itu, kelompok Jaran Kepang langsung membubarkan diri. Dia mengaku kecewa pertunjukan mereka dibubarkan paksa.
“Mereka (FUI) ributnya sama warga, bukan sama tim Jaran Kepang. Jadi warga tidak terima pertunjukan dibubarkan. Kalau kami pulang ke sanggar,” ujar dia.
Setelah kejadian, Eka mengaku belum tahu akan melakukan pertunjukan di tempat mana lagi. “Kami heran juga kenapa orang lain yang buat kerumunan tidak dibubarkan, tapi kami dibubarkan. Kami paham kalau misalnya kepling bilang gak boleh pertunjukan, cuma tiba-tiba saja mereka membawa ormas membubarkan pertunjukan itu,” ucap dia.
Melanggar Hak Berkesenian
Menanggapi ini, Koordinator Peneliti Kebijakan Seni Budaya, Ratri Ninditya menyebut kalau mengacu pada UNESCO 2005 convention on the protection and promotion of the diversity of cultural expressions, yang sudah Indonesia ratifikasi, kasus ini masuk pada pelanggaran terhadap hak ikut serta dalam kehidupan kebudayaan. Selain itu, ada juga hak berkarya tanpa sensor/intimidasi yang dilanggar.
“Kasus ini menandakan makin mendesaknya advokasi kebebasan berkesenian yang holistik, dari dokumentasi sampai pendampingan hukum, supaya warga/pelaku seni punya tempat mengadu dan pendampingan hukum jika mengalami pelanggaran,” ucap dia.
Berdasarkan riset koalisi, selama 10 tahun terakhir memang sering ada kejadian pembubaran/penyerangan acara seni oleh ormas. Dalam beberapa kejadian, aparat pun seperti mengalah. Alih-alih membela seniman aparat malah mengamini atau paling tidak mendiamkan apa yang ormas lakukan.
“Masih sedikit banget keberpihakan negara sama pelaku seni,” kata Ratri.
Walaupun Indonesia sudah meratifikasi berbagai konvensi tentang kebebasan berkesenian, peraturan pelaksananya sampai saat ini belum ada atau tidak berpihak ke seniman. Jadi seringkali penyikapan pada aktivitas berkesenian di lapangan mengacu ke aturan-aturan lain seperti perijinan, UU pornografi, hingga TAP MPRS 1966 tentang komunisme.
Berdasarkan riset pada sejumlah pemberitaan media dalam 10 tahun terakhir, diamnya aparat pada pembubaran aktivitas berkesenian terjadi karena enggannya aparat berkonflik dengan ormas yang lebih dominan.
“Jadi aparat sebagai penengah enggak buka kesempatan untuk dialog antar pihak dan memilih untuk langsung bubarin. Padahal ketentuannya kalau ada satu pihak berekspresi kemudian pihak lain menentang, harus dibuka forum buat berdialog secara demokratis. Pihak yang digugat harus punya kesempatan untuk banding,” ucap Ratri.
Adapun beberapa pola represi berkesenian yang koalisi temukan biasanya dengan mempersulit perijinan pentas, ada yang tiba-tiba izinnya dicabut, hingga tidak dilindungi ketika kena serang dan malah dibubarkan. “Ada juga yang dibolehkan dengan pengawasan ketat karena aparat mau memastikan tidak ada konten “berbahaya” dan ada juga beberapa kasus yang aparat ikut membantu melindungi lancarnya pementasan,” ucap dia.
Agar hal tersebut tak terjadi lagi, koalisi menilai di tingkat hukum perlu ada batas jelas yang mengatur kapan aparat harus melindungi siapa. Batasannya bisa saat terjadi kekerasan, baik verbal, mental, atau pun fisik, dan ancaman lainnya.
“Kasus ini kan ada dua hal ya, pertama Ormas VS Pelaku/Penikmat Seni. Kedua, laki-laki ormas yang meludah VS perempuan. Sebenarnya sudah jelas siapa yang mesti dilindungi duluan,” ucap Ratri.