Dua serangan teror dalam sepekan yang
dilakukan L di Makassar dan ZA di Jakarta menyisakan sejumlah pertanyaan.
Keduanya yang masih berusia 20-an dianggap masih sangat muda. Namun sayang
pemikiran sesat kadung mencuci otaknya. Hal ini lantas dibahas oleh Deputi VII
BIN Wawan Hari Purwanto, dalam acara webinar ‘Mencegah Radikalisme dan
Terorisme untuk Melahirkan Keharmonisan Sosial’ di YouTube TVNU Televisi
Nahdlatul Ulama, Selasa (30/3/2021),
Wawan menyebut kalau kalangan muda, mulai dari usia 17-24 tahun,
menjadi sasaran utama kelompok teroris dalam menyebarkan paham tersebut.
Menurut Wawan, media sosial disinyalir telah menjadi inkubator radikalisme,
khususnya bagi generasi muda. Berdasarkan survei BNPT, ada sekitar 80 persen
generasi muda rentan terpapar radikalisme, karena cenderung tidak berpikir
kritis.
“Kecenderungannya ini dikuatkan dengan survei BNPT terbaru
bahwa 80 persen generasi milenial rentan terpapar radikalisme. Ini menjadi
catatan kita bahwa generasi milenial lebih cenderung dia menelan mentah, tidak
melakukan cek-ricek. Dan sikap intoleran ini biasanya muncul kepada generasi
yang tidak kritis di dalam berpikir,” kata Wawan.
Pernyataan Wawan yang menyebut kalau anak muda relatif mudah
terjerat pengaruh pemikiran ekstrem karena tidak kritis lantas dikomentari oleh
netizen. Pasalnya, niat kritis warga tak jarang diganjar hukuman pidana lewat
UU ITE. Sejumlah warganet pun mengaku jadi bingung.
“Susah juga ya jadi Milenial. Tidak berpikir kritis jadi
teroris. Berpikir kritis dan mengekspresikannya ada UU ITE,” ungkap salah
satu pengguna twitter.
Pencuit lainnya menyatakan hal serupa: “Tidak berpikir
kritis, jadi teroris. Makanya harus berpikir kritis. Tetapi, jangan mengkritik,
karena nanti kena UU ITE, gitu ya?”.
Terus, apa benar anak muda terjerat
terorisme karena tak kritis?
Menanggapi ini, Irfan Amalee, Penggagas Peace Generation, sebuah
organisasi pemuda yang bergerak di bidang pendidikan dan perdamaian, menyebut
kalau berpikir kritis menjadi salah satu faktor dalam proses
radikalisasi. Berpikir kritis yang rendah bisa membuat seseorang dengan
mudah terkena propaganda.
Kepada Asumsi.co, Minggu (4/4/2021), Irfan menyebut, propaganda
itu biasanya menggunakan sejumlah pola. Pola yang pertama adalah menggunakan
narasi ketidakadilan. Dalam kasus ekstremisme bermotif jihad, biasanya itu
dibawa dalam narasi kezaliman, pemerintah thoghut dan
lain-lain. Thagut berarti berhala, istilah yang biasa
digunakan gerakan ekstrem bermotif jihad untuk menyebut pemerintah yang jahat.
“Semua itu yang menyentuh emosi dan mengaktifkan rasa
terancam dan terzalimi. Di sini mengaktifkan otak reptil (reptilian brain) dan menghentikan cara berpikir logis
(neoncortex) kita,” kata Irfan.
Narasi ini lalu diperkuat oleh pola yang kedua yakni narasi
teologis dan narasi historis. Dalam narasi teologis, gerakan ekstrem bermotif
jihad biasanya menggunakan potongan ayat-ayat dalam Quran dan Hadist tanpa
dibahas secara menyeluruh. Begitu juga dengan narasi historis yang kerap
mencomot episode-episode sejarah Kerasulan yang menjustifikasi kekerasan.
“Setelah itu baru ajakan aksi, berupa qital (perang) jihad,
dan lain-lain. Tanpa critical thinking yang kuat, semua proaganda itu terlihat
benar dan meyakinkan,” kata Irfan.
Bukan Cuma Masalah Millenial
Namun, kalau kegagalan berpikir kritis ini hanya disalahkan pada
millenial, Irfan juga tak sepakat. Pasalnya generasi X juga rentan mendapat
pengaruh serupa. Buktinya banyak korban hoaks adalah generasi x yang gagap
teknologi. “Generasi milenial malah lebih melek untuk membedakan hoaks dan
fakta,” kata dia.
Ada faktor lain yang menjadi variable kerentanan anak muda
terlibat dalam gerakan ekstrem. Di antaranya adalah faktor need for adventure kebutuhan berpetualang. Menurut Irfan, anak
muda punya kebutuhan berpetualang.
Sebagai contoh, Akbar, anak muda dari Aceh yang hampir bergabung ISIS,
mengatakan, salah satu impiannya adalah keliling Arab naik kuda dan makan
daging unta. Kisah tentang Akbar pernah di-film-kan dalam film bertajuk
“Jihad Selfie” yang digarap Noor Huda Ismail pada 2016.
“Propaganda kelompok ekstrem begitu memukau karena
menawarkan petualangan yang seru,” kata Irfan.
Faktor kedua adalah peer influence. Berdasarkan pengamatannya, 65 persen
keputusan milenial dipengaruhi oleh peer atau
teman sebaya. Kalau kebanyakan produk menggunakan endorsement peer dalam beriklan, maka demikian juga
propaganda kelompok ekstrem banyak yang berhasil dengan peer review ini. Dalam kasus Akbar, dia juga
bergabung ISIS karena dia diajak temennya yang sudah gabung ISIS duluan.
“Selain Akbar ada juga kasus Dania yang berhasil mengajak
saudara dan beberapa anak muda lainnya. Ada juga Nasir Mutsana anak muda Muslim
Inggris yang berhasil membujuk adiknya untuk bergabung dengan ISIS juga,”
ucap dia.
Adapun faktor terakhir adalah faktor vurnalibility dan helplessness. Menurut Irfan, anak-anak muda yang galau dan
perasaan tak berdaya juga jadi faktor pendorong. Dalam kasus terkini, yakni ZA
yang menyerang Mabes Polri patut diduga faktor ini memengaruhi. Apalagi ZA
diketahui adalah seorang mahasiswa DO yang terutup dan kurang
bersosialisasi.”Mereka berusaha mencari makna hidup dengan
“berjihad”,” ucap Irfan.