Bagi sebagian Muslim pertengahan bulan Sya’ban, bulan kedelapan dalam penanggalan Islam atau Hijriyah, merupakan waktu yang sakral. Waktu ini akrab disebut Nisfu Sya’ban.
Mereka percaya bahwa di tanggal 15 bulan ini, catatan amal dimulai dan menjadi penyambut bulan agung Ramadhan yang akan diisi dengan ibadah puasa sebulan lamanya.Sebagai hari yang disakralkan, tak heran kalau kemudian ada beberapa ritual yang berkembang di masyarakat terkait Nisfu Sya’ban.
Sebagian Ulama seperti Al-Ghazali misalnya mengimbau untuk mengisi malam sakral ini dengan sembahyang. Sebagian lagi, secara umum bersepakat kalau menghidupkan malam Nisfu Sya’ban dengan ibadah adalah hal yang baik.
Di Aceh, tepatnya kawasan Lamno, ibukota Kecamatan Jaya yang terletak di daerah pesisir barat Aceh Jaya Daerah Nanggroe Aceh Darussalam, ada juga tradisi yang dilakukan masyarakat terkait Nisfu Sya’ban. Tradisi itu dinamakan Kaurie Beureuat.
Dalam catatan Agus Budi Wibowo, Peneliti BPSNT (Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional) di laman budaya-indonesia.org, Kaurie yang berarti kenduri ini dilaksanakan oleh seluruh anggota masyarakat sebuah desa dan bertempat di Meunasah atau balai warga yang ada di desa-desa di Aceh. Kenduri ini biasa dipimpin oleh seorang Teungku.Kaurie Beureuat dalam menyambut Nisfu Sya’ban ini digelar sebetulnya cukup sederhana.
Seluruh masyarakat datang ke Meunasah dengan membawa sebuah idang atau paket makanan yang terdiri dari nasi beserta lauk pauk dan ditempatkan dalam sebuah talam yang besar. Makanan tersebut lalu disantap bersama.Masyarakat Lamno percaya kalau tradisi yang digelar untuk menyambut Nisfu Sya’ban ini adalah interpretasi lokal atas penyambutan Nisfu Sya’ban yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, sebagai suri tauladan untuk Muslim.
Ritual Masyarakat Aceh
Dalam Ritual Kalender Aneuk Jamee di Aceh Selatan, Dr. Phil Abdul Manan, S.Ag., MSc., MA memasukkan Kaurie Beureuat sebagai ritual yang kerap dilakukan masyarakat Aceh. Ritual ini adalah upacara-upacara agama yang terdiri dari serangkaian tindakan-tindakan yang dilakukan menurut suatu susunan yang telah ditentukan, dan merupakan inti dari identitas sosial dari seluruh masyarakat.
Orang-orang Aceh, mengacu Abdul Manan, memang biasa menggelar ritual dengan memberikan makanan pada sejumlah kesempatan. Doa dan berkah sering menjadi bagian dari kenduri dan memasukkan unsur-unsur Islam ke ritual makanan agar membuatnya suatu perayaan Islam.Menurut kepercayaan masyarakat Lamno, Nisfu Sya’ban adalah waktu yang menentukan nasib seseorang setahup ke depan.
Melalui Kaurie Beurueat ini, masyarakat berdoa kepada Tuhan agar memberikan nasib baik bagi mereka.Agus Budi Wibowo menyebut, cerita-cerita rakyat yang berhubungan dengan masalah penentuan nasib di malam Beureuat atau Nisfu Sya’ban ini amat banyak. Tetapi semua bermuara kepada suatu konsep kosmologi yang memandang bahwa nasib manusia dalam setahun ke depan akan ditentukan oleh Allah pada malam itu.
Berharap Nasib Baik
Nasib manusia dimanifestasikan dalam sebuah pohon yang besar dan berdaun lebat. Setiap individu terpresentasikan dalam sehelai daun. Pada malam Beureuat, pohon itu akan berguncang hebat dan daun yang jatuh menandakan akhir dari hidup individu. Oleh karena itu, pada konteks ini fungsi utama dari seluruh prosesi ritual ini adalah sebagai tindakan preventif dari kemalangan pada tahun depan.
Dalam konteks menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan, malam Beureuat, menjadi sebuah isyarat bahwa bulan Ramadhan akan segera hadir. Hal ini dapat dilihat dari isi ceramah di akhir acara kenduri dimana Teungku, sebagai pemimpin ritual lebih banyak membahas hal-hal yang perlu dipersiapkan oleh setiap Muslim untuk memasuki bulan Ramadhan.
Teungku juga berdoa agar setiap pribadi Muslim masih diberi kesempatan oleh Allah untuk dapat bertemu dengan bulan Ramadhan yang sebentar lagi akan ditiba. Di samping itu, Keuchik, orang yang memimpin sebuah desa atau disebut juga kepala desa, juga mengajak masyarakat untuk melakukan sebuah tradisi penting dalam menyambut bulan Ramadhan, yaitu tradisi Peugleh Meunasah (membersihkan meunasah). Dalam imbuannnya ia menggunakan ungkapan “jamee rayeuk ka rap trouk”, tamu besar yaitu bulan Ramadhan akan segera tiba.
Namun yang menarik dalam tradisi malam Beureuat ini adalah kentalnya nuansa senang-senang yang dimanifestasikan dalam bentuk partisipasi masyarakat pada seluruh aspek kenduri. Sehingga semakin besar sebuah kenduri, maka suasana kesenangan dan kebahagiaan akan lebih menonjol ke permukaan dibandingkan dengan esensi kaurie beureat itu sendiri.Pada titik ini masyarakat lupa bahwa esensi ritual ini adalah permohonan nasib baik ke depan. Sementara kenduri yang sekarang adalah alat pemersatu masyarakat ke dalam sebuah solidaritas yang lebih baik.
Penulis: Muhammad Irfan