Sekali lagi, Taliban menguasai Afghanistan. Kelompok thulab atau pelajar (yang jadi asal kata Taliban) didikan Mullah Muhammad Omar ini kembali ke ibu kota Kabul setelah bergerak dalam senyap selama lebih dari 10 tahun pasca Afghanistan dipimpin pemerintah sementara Hamid Karzai sejak 2004.
Faksi politik Afghan dengan haluan Islam kanan ini memang pernah kuat di sana. Dibentuk pada 1994 oleh sejumlah pelajar yang sempat turun pada perang Afghan kontra Uni Soviet di dekade 80, Taliban memang punya kepiawaian pada bidang militer yang cukup mumpuni. Dengan bekal ini, hanya butuh dua tahun buat mereka mengambil alih Afghan.
Masa pemerintahan Taliban cukup mengubah wajah Afghanistan dengan signifikan. Pada masa itu, perempuan Afghan diwajibkan menggunakan pakaian yang menutup semua bagian tubuhnya. Mereka juga dilarang bepergian bahkan untuk bersekolah.
Taliban juga bersekutu erat dengan sayap militer sehaluan, Al-Qaeda. Dibentuk di era perang Afghan-Soviet, Al-Qaeda punya pemimpin kharismatik seperti Abdullah Azzam dan seorang Arab Saudi, Osama Bin Laden.Namun, masa berkuasa Taliban harus runtuh pada 2001. Usai serangan 11 September dan dilanjutkan dengan invasi AS di sana, pemerintah Taliban dipaksa mundur.
Mereka mulai bergerilya melawan AS dan bergerak dari daerah-daerah perbatasan Afghan-Pakistan. Mereka kerap terlibat pertempuran tidak hanya dengan pasukan AS, tetapi juga militer Afghanistan, kemudian ISIS yang muncul kemudian.
Angin Segar Oposisi
Di sisi lain situasi ini menjadi angin segar untuk Front Islam Bersatu untuk Pembebasan Afganistan atau yang dikenal sebagai Aliansi Utara. Oposan Taliban ini banyak mendapat posisi penting dalam pemerintahan Afghan setelah invasi AS. Bahkan Presiden Hamid Karzai yang merupakan presiden pertama Afghan yang dipilih secara demokratis pada 2004 juga berasal dari aliansi ini.
Dengan kepemimpinan baru ini, Afghanistan sempat mencicipi dua kepemimpinan yang boleh dibilang demokratis. Setelah Hamid Karzai memimpin dua periode, Ashraf Ghani terpilih pada 2014. Namun, saat invasi Taliban ke Kabul dimulai kembali tahun ini, Ashraf meninggalkan tampuk kekuasaannya dengan kabur ke Tajikistan. Langkah yang kemudian dianggap memalukan bahkan oleh pendukungnya.
Meski demikian, Ashraf menilai, pergi ke Tajikistan adalah pilihan tepat untuk mencegah pertumpahan darah. Ia juga bahkan menyebut Taliban telah menang.
“Taliban telah menang dengan penghakiman pedang dan senjata mereka, dan sekarang bertanggung jawab atas kehormatan, properti, dan pertahanan diri warga negara mereka,” kata Ghani.
Lalu, di tengah situasi ini, apakah Taliban akan mengembalikan wajah Afghan pada masa kepemimpinan mereka 1996-2001?
Hampir dipastikan iya. Wakil Pimpinan Taliban, Mullah Abdul Ghani Baradar yang digadang-gadang akan memimpin keamiran Afghanistan setelah Kabul jatuh menyebut akan menggunakan sistem Islam yang mereka yakini jika kembali memimpin Afghan.
Dikutip dari France24, Minggu (20/6/2021), Baradar juga meyakinkan bahwa hak-hak semua warga Afghan termasuk perempuan akan diakomodasi sesuai dengan aturan “agama Islam yang mulia” dan tradisi Afghan. Dia turut menyerukan agar para pemuda Afghan tidak meninggalkan negara tersebut.
Baradar menekankan bahwa Taliban akan memastikan minoritas, organisasi kemanusiaan dan diplomat tidak akan ketakutan soal apapun.
Taliban Tak Akan Izinkan ISIS
Lantas dengan aliansi mereka seperti Al-Qaeda, akankah tetap dirangkul sebagai sekutu?
Kepada Asumsi, Pengamat intelijen Ridlwan Habib menjelaskan kemenangan Taliban justru bisa membuat faksi sehaluan lain terdesak, terutama ISIS.
“Orang sering salah mengira bahwa Taliban sama dengan ISIS, padahal mereka sangat berlawanan dan bermusuhan satu sama lain,” kata Ridlwan.
Menurut Ridlwan, pertempuran antara gerilyawan ISIS dan Taliban sudah sangat sering terjadi. Taliban tidak setuju dengan ISIS yang menciptakan daulah atau negara sendiri, karena itu mereka tidak akan mengizinkan ISIS tumbuh di Afghanistan.
Di sisi lain, kemenangan Taliban menurut Ridlwan juga tidak akan secara langsung membuat gerakan terorisme di Indonesia menjadi lebih kuat. Meski semangat untuk menciptakan negara Islam tentu bisa termotivasi.
“Di era 2001, Taliban melindungi kelompok Al Qaeda dan Osama Bin Laden karena mempunyai musuh yang sama, yakni Amerika Serikat. Saat ini, Amerika tidak menganggap Taliban sebagai musuh, mereka meninggalkan Afghanistan dan menganggap Taliban adalah problem dalam negeri Afganistan,” ujarnya.
Karena itu, Taliban justru mungkin akan segera melakukan pembersihan besar besaran terhadap gerakan radikal semacam Al Qaeda dan ISIS. “Jika itu terjadi, maka yang muncul adalah perang saudara lagi dan mungkin justru menguntungkan bagi Amerika dan sekutunya,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran, Hikmawan Saefullah menyatakan pandangan berbeda. Menurut dia, di samping Taliban yang melancarkan invasinya ke Kabul, milisi Al-Qaeda juga mulai bangkit sejak AS menarik ribuan pasukannya.
Senada dengan Ridlwan, ia melihat masa depan Afghanistan nampak akan mengulangi kembali sejarah mereka di era pasca-Dingin, sejak Soviet hengkang dari Afghanistan.
“Perang sipil akan besar kemungkinan terjadi, dan Al-Qaeda bisa berkuasa jika tidak ada yang mengimbangi kekuatan mereka dari segi politik dan militer,” ucap dia.
Situasi ini akan tambah menjadi masalah jika perimbangan kekuatan militer mengundang intervensi asing untuk terlibat lagi di dalam urusan internal Afghanistan. Hal ini tidak membuat perbedaan yang signifikan dengan apa yang telah dilakukan AS selama 20 tahun terakhir.
“Bagaimana dengan Indonesia? Bisa jadi sangat berdampak ke sana. Jika Al-Qaeda berkuasa di sana, akan banyak jihadis dari berbagai penjuru dunia untuk bergabung dan akan mencetak “alumni-alumni” baru,” ucap dia.