Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru, Direktorat Jenderal Kebudayaan akan mengadakan peringatan Hari Film Nasional ke-71 yang jatuh pada tanggal 30 Maret mendatang.
Penetapan 30 Maret sebagai Hari Film Nasional, diketahui memiliki sejarah tersendiri bagi industri film DI Indonesia.
Sejarah Hari Film Nasional
Penetapan Hari Film Nasional, diketahui berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 tahun 1999. Kala itu diteteapkan oleh Presiden RI Soeharto yang berbunyi:
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 25 TAHUN 1999 (25/1999) TENTANG HARI FILM NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
a. bahwa tanggal 30 Maret 1950 merupakan hari bersejarah bagi Perfilm Indonesia karena pada tanggal tersebut pertama kalinya film cerita dibuat oleh orang dan perusahaan Indonesia;
b. bahwa dalam upaya meningkatkan kepercayaan diri, motivasi para insan film Indonesia serta untuk meningkatkan prestasi yang mampu mengangkat derajat film Indonesia secara regional, nasional dan internasional, dipandang perlu menetapkan tanggal 30 Maret sebagai Film Nasional.
Mengingat :
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang dasar 1945;
Akhirnya, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid menerangkan, dipilihnya tanggal 30 Maret 1950 sebagai Hari Film Nasional karena memiliki catatan penting bagi industri perfilman Tanah Air.
“30 Maret 1950 untuk pertama kalinya, sebuah film diproduksi oleh perusahaan Indonesia dan disutradarai oleh orang Indonesia,” kata Hilmar melalui keterangan tertulis yang diterima Asumsi.co, Sabtu (20/3).
Selain itu, kata dia, Hari Film Nasional tahun 2021 kali ini sekaligus merupakan momentum 100 tahun kelahiran tokoh perfilman Indonesia H. Usmar Ismail. Pria yang dikenal sebagai “Bapak Film Nasional” ini diketahui lahir di Bukittinggi pada 20 Maret 1921.
“Sehingga peringatannya akan diselenggarakan lebih semarak dari sebelumnya, meskipun masih dalam suasana pandemi COVID-19,” ujarnya.
Sejalan dengan itu, Direktur Perfilman, Musik, dan Media Baru Ahmad Mahendra, menerangkan bahwa Hari Film Nasional merupakan hari bersejarah yang diperingati oleh seluruh masyarakat.
“Momentum ini mampu mendorong lahirnya film-film dengan nilai pendidikan dan budaya yang beragam. Pemajuan perfilman Indonesia menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia,” ujar Ahmad.
Sementara itu, pengamat perflman dari Universitas Bina Nusantara, Ekky Imanjaya menyebut sejarah film di Indonesia sudah jauh dimulai sebelum tahun 1950. Bahkan, di masa penjajahan, industri perfilmannya sudah mulai bergerak, meski tak sepenuhnya dikendalikan secara penuh oleh anak bangsa.
“Dari tahun 1926 sudah mulai industri perfilman di negeri kita, kayak ada Film Lutung Kasarung memang masih ada keterlibatan orang Belanda. Nah, tahun 1950 ini memang untuk pertama kalinya dibikin penuh oleh orang Indonesia. Selain itu, juga memperlihatkan pergumulan psikologis batin orang indonesia saat itu,” kata Ekky kepada Asumsi.co lewat sambungan telepon.
Ia pun mengharapkan Hari Film Nasional tak sekadar ritual perayaan yang terkesan mengkultuskan sosok Usmar Ismail semata, tapi juga menjadi momentum untuk mengeksplorasi dan banyak belajar dari perjalanan hidupnya.
“Beliau itu figur yang multitalenta, selain “Bapak Film Nasional”. Usmar sastrawan, tentara, wartawan dan dia juga mata-mata. Karyanya juga pernah ke luar negeri ada banyak, salah satunya film “Pedjuang” yang sampai ke Festival Film Moskwa. Jadi, jangan berhenti di sekadar seremonial peringatan saja,” tandasnya.
Tren Film Indonesia Soroti Genre Horor
Meski memiliki sejarah panjang, Ekky menilai perfilman Indonesia memang tidak seperti Hollywood yang berani menciptakan tren. Menurutnya, film nasional banyak menahan diri dalam menciptakan tren selama perjalanan sejarahnya.
Namun, belakangan dirinya melihat perfilman Tanah Air sudah mulai berani menciptakan tren dengan menyoroti genre horor yang selama ini, memang banyak audiensnya.
“Kalau saya lihat yang paling menonjol, Indonesia lebih mengeksplor tren film horor sih. Dulu itu kan, ecek-ecek kesannya kelas B lah. Tahun 2017 mulai berubah karena ada “Danur” dan “Pengabdi Setan”. “Danur” itu berasal dari novel laris. Maka, dia bisa mengambil market pembaca, sedangkan “Pengabdi Setan”, selain Joko Anwar followersnya banyak itu juga dari sebuah cult movie jaman dulu. Ini sama-sama ada kaitannya dengan minat massa yang banyak,” tuturnya.
Tren ini, lanjutnya, banyak memengaruhi kreator film lainnya untuk masuk ke tren genre film horor. Bahkan, mereka berinovasi dari segi cerita, hingga nuansa nostalgia yang dibangun dengan memodernisasi film horor lawas.
“Meski sebelumnya ada “Rumah Dara”, tapi kan beum serempak. Jadi trennya kalau enggak dari novel ya dari film lawas. Jadi, memang tren horor ini yang jadi lokomotif dan karena kultur kita suka dengan cerita mistis yang seram karena dibangun oleh suasananya,” pungkasnya.
Pandemi Picu Kreatifitas Pelaku Perfilman Nasional
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid menyebut, industri perfilman Indonesia dari tahun ke tahun semakin baik. Sayangnya, secara kuantitas dan perputaran industri merosot terimbas pandemi COVID-19. Apalagi, bioskop sempat ditutup, membuat dunia perfilman menjadi lesu.
Namun, menurutnya konidisi pandemi malah membuat para kreator dan pelaku industri perfilman semakin kreatif dalam berkreasi.
“Mereka terus mencari jalan keluar dari berbagai hambatan mengingat antusiasme masyarakat untuk menonton juga semakin tinggi,” ungkapnya.
Salah satu pelaku industri film yang di masa pandemi terus memutar otak agar bisa terus berkarya di masa pandemi adalah Founder sekaligus CEO Visinema Pictures, Angga Dwimas Sasongko. Pria yang juga dikenal lewat kariernya sebagai sutradara ini mengungkapkan kesan dan perjuangan untuk terus berkarya, meski pandemi menjadi tantangan yang tak mudah.
Oktober 2020, ia merilis film “Story of Kale” melalui layanan streaming Bioskop Indonesia. Selain itu, rumah produksinya tetap memilih bioskop sebagai tempat yang tepat untuk merilis film “Generasi 90an: Melankolia” pada 24 Desember 2020.
Ia mengaku memproduksi film di masa pandemi COVD-19 lebih banyak duka dibading sukanya. Alasannya, pertama mengenai pemilihan jalur distribusi terbaik untuk mempertontonkan film produksinya kepada penonton.
“Bioskop sempat tutup. Saat buka, banyak yang mendemonisasi bioskop. Padahal bioskop jauh lebih aman dari penyebaran virus ketimbang duduk dan makan bersama-sama di restoran atau kafe,” ujar Angga saat dihubungi Asumsi.co secara terpisah.
Ia menambahkan, produksi film pun jadi sangat terbatas karena harus memikirkan protokol kesehatan serta keselamatan para kru dan pemain film.
“Pandemi ini, tentunya adalah necessary act yang di satu sisi juga melatih kreatifitas, resiliensi dan agility dalam berkarya,” ucap Angga.
Kemendikbud Gelar Pameran Usmar Bukittinggi
Hilmar Farid mengatakan, Hari Film Nasional ke-71 tahun ini, mengangkat tema “Film Indonesia, Budaya Bangsa”. Rangkaian kegiatam diselenggarakan baik secara daring maupun luring dengan memenuhi protokol kesehatan.
Kegiatan ini, lanjutnya diinisiasi oleh insan perfilman dan didukung oleh Kemendikbud serta bersinergi dengan pemerintah daerah, Asosiasi dan komunitas film.
“Rencananya akan diselenggarakan di beberapa lokasi antara lain Jakarta, Bukittingggi, Makasar, Aceh, Tapanuli, Bengkulu dan lainnya,” kata Hilmar
Salah satu kegiatan yang istimewa dalam rangkaian #100tahunUsmarIsmail ini adalah pelaksanaan “Pameran Usmar Bukittinggi”.
Ia mengungkapkan, kegiatan ini pertama kalinya diselenggarakan pameran arsip dan kekaryaan Usmar Ismail di tanah kelahirannya.
“Program pameran akan bersinergi dengan pemutaran virtual karya Usmar Ismail di Kinosaurus dan Kineforum Jakarta,” jelasnya.
Selain itu, kegiatan panel diskusi juga akan digelar yang berlangsung di Makassar, Sulawesi Selatan yang menghadirkan antara lain Prof Dr Alwi Dahlan, Mira Lesmana, JB Kristanto, dan Ine Febrianty.