Sempat muncul pada 2019, wacana untuk menambah periode jabatan Presiden menjadi tiga periode kembali mengemuka. Kali ini ucapan tersebut keluar dari mulut Amien Rais.
Meski konteksnya menolak, Amien menyebut kalau ada upaya mengubah batasan periode jabatan Presiden melalui amandemen 1945.
Dalam tayangan di televisi, baru-baru ini, Amien berujar skenario itu muncul karena ada opini publik yang menunjukkan ke arah mana pemerintahan Presiden Joko Widodo melihat masa depannya. Isu ini lantas ramai dan langsung ditanggapi oleh Jokowi pada hari yang sama.
Melalui tayangan Youtube Sekretariat Presiden, Jokowi menegaskan tak ada niat dan tak berminta menjadi presiden tiga periode. Tapi siapakah sebetulnya yang diuntungkan dari isu ini?
Arief Poyuono, politikus Partai Gerindra yang termasuk salah satu pencetus wacana presiden tiga periode sejak awal periode kedua kepemimpinan Jokowi menyebut kalau sebetulnya tak ada perbedaan kesempatan jika masa jabatan presiden diubah menjadi tiga periode. Meski tetap bisa dipilih kembali, Jokowi hanya bisa kembali menjabat setelah melewati Pemilihan Umum.
“Kalau tiga periode kan tidak otomatis diangkat MPR juga, tetap harus dipilih juga,” kata Arief dalam diskusi Polemik MNC Trijaya “Misteri 2024” yang disiarkan secara virtual Sabtu (20/3/2021).
Berbeda dengan Amien yang memunculkan isu ini dalam konteks menolak, Arief justru paling getol berwacana soal periodesasi jabatan Presiden. Dia pun menyebut kalau wacana ini terwujud yang diuntungkan bukan hanya Jokowi.
“Semua diuntungkan. Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono, Red) bisa mencalonkan lagi, begitu pun pak Jusuf Kalla,” kata dia.
Isu Lama
Isu ini tidak hanya beredar di masa Jokowi saja, saat SBY menjabat wacana tiga periode juga sempat muncul. Di masa Jokowi pun dia tak sendiri, ada pernyataan dari NasDem dan juga Bambang Soesatyo sebagai ketua MPR pada 2019. Meski belakangan keduanya meralat pernyataan tersebut.
Arief pun berdalih kalau batasan dua periode yang diusulkan Amien usai masa jabatan Soeharto di 1998 adalah usulan potong-tempel dari Amerika Serikat. Yang mana, kondisi di Amerika dengan Indonesia tentu jauh berbeda.
“Di Amerika partai hanya ada dua, sementara di Indonesia partai ini sekarung,” ucap Arief.
Namun pandangan Arief disanggah oleh Ade Irfan Pulungan dari Kantor Staff Kepresidenan. Menurutnya, penambahan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode bertentangan dengan UUD 1945 pasal 7 amandemen pertama yang telah disepakati. Dan sebagai produk dari reformasi, Jokowi pun tegas menolak wacana itu karena bertentangan dengan konstitusi.
“Pak Amin pun mengatakan hal ini tak punya dasar. Walaupun itu statemen politik tapi pembatasan masa jabatan presiden ini adalah semangat reformasi yang kita ketahui bersama pada 1998,” kata Irfan.
Lagi pula, sejak wacana ini muncul pada 2019, Jokowi sudah menegaskan tak mendukung wacana tiga periode. Bahkan, Jokowi menyebut orang yang mengusulkan hal ini seperti menampar mukanya, mencari muka di hadapan dirinya, dan ingin menjerumuskan dirinya.
“Dan saya yakinkan pak Jokowi tetap konsisten dan komitmen pada konstitusi. Sangat ironis saat itu isu ini menimbulkan kegaduhan. Kami tidak ada niat melanggar konstitusi. Karena sudah jelas di pasal 7 UUD 1945 amandemen pertama, masa jabatan presiden itu dua periode, jangan ada anggapan ini keinginan dari Istana,” ucap dia.
Pernyataan Irfan ditambahkan oleh politisi Golkar Ahmad Doli Kurnia. Menurutnya, batasan periodesasi presiden muncul dari pengalaman buruk Indonesia saat masa jabatan presiden tidak terbatas. Dengan adanya pengalaman buruk ini, maka sudah tidak seharusnya bangsa Indonesia mundur ke masa lalu.
“Kita jangan set back lagi ke sana. Isu ini sering muncul, elite-elite yang memunculkan ini,” kata Doli.
Menurut dia, orang boleh saja berwacana dalam konteks menolak atau mendukung, tapi daripada berpolemik dan menyebabkan kegaduhan di publik alangkah lebih baik di bahas lewat jalur normal. Meski diakuinya, melihat realitas politik saat ini, terutama beririsan dengan penanganan pandemi, tak ada ruang untuk membahas hal-hal yang tidak ada urgensinya.
“Pertama pak Jokowi sendiri sudah jelas, sepekan lalu juga merespons, dan tegas mengatakan tidak ada niat untuk tiga periode. Ketua MPR juga sudah mengkoreksi, kalau dulu pernah menyampaikan wacana ini, sekarang pak Bamsoet bilang enggak setuju. Jadi peta ini semuanya sudah mengatakan tidak setuju. Lebih bagus kita fokus pada soal mengatasi pandemi, dan soal amandemen ini energinya cukup besar akan mengganggu dan menimbulkan konstraksi politik yang sangat besar,” ucap dia.
Anggota Majelis Tinggi Partai (MTP) Partai Demokrat yang juga wakil ketua MPR, Syarief Hasan mengatakan, meski mungkin diuntungkan dengan bisa mencalonkan lagi SBY, sejak awal pihaknya tegas menolak wacana presiden tiga periode. Akur dengan pandangan Irfan dan Doli, Syarief menilai wacana ini melanggar konstitusi yang sudah disampaikan dan diterjemahkan pada reformasi.
“Kita sudah sepakat pengubahan UUD 1945 yang menetapkan periode presiden-wakil presiden hanya dua periode. Itu sudah ideal sekali,” ucap dia.
GBHN Akan Dihidupkan Kembali
MPR saat ini memang sedang membahas wacana menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang memunculkan wacana perubahan UUD 1945. Namun tak ada sama sekali pembahasan soal perubahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
Terkait GBHN pun, pandangan yang mengemuka adalah memasukkan GBHN dalam UUD 1945 sehingga perlu dilakukan amandemen UUD 1945 hanya pada soal GBHN saja. Selain itu, ada yang berpendapat untuk mengatur GBHN dengan UUD. Ini tidak berbeda jauh dengan apa yang sudah dilakukan SBY pada UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
“Paling hanya GBHN, itu pun kita tidak membahas untuk amandemen UUD 1945 (keseluruhan), karena khawatir jadi kesempatan bagi kelompok lain meminta mengubah keseluruhan. Padahal stabilitas politik penting,” tambahnya.
Penulis: Irfan Muhammad