Burung Enggang adalah satwa yang juga berasal dari pulau Kalimantan serta mempunyai kekhasan bentuk yang unik dan
indah. Masyarakat suku Dayak di Kalimantan dalam kultur tradisi tidak
pernah terlepas dari aspek fungsi yang bersifat substansial dari burung tersebut.
Banyaknya artefak berbentuk burung Enggang yang
memiliki nilai historis dan makna filosofis pada tradisi kesenian Dayak
seperti lukisan dinding, seni ukir, motif anyaman dan busana adat
menunjukkan suatu indentitas kebudayaan. Menurut masyarakat suku
Dayak tertentu burung Enggang merupakan lambang kehidupan,
kesetiaan, perdamaian dan kepemimpinan.
Dari data yang dikumpulkan dari Kementerian Pendidikan dan Budaya (Kemendikbud), nama lain burung enggang bagi suku Dayak disebut rangkong,
kenyalang, tingang atau bungai.
Lekat dengan Budaya Suku Dayak
Menurut orang Dayak Iban, Kenyah dan
kerabatnya burung Enggang hanyalah utusan dari dewa dan juga
merupakan penggambaran dewa alam atas atau dewa tertinggi yang
menciptakan pohon kehidupan. Dalam keseniannya motif Enggang hanya
dipakai oleh kaum bangsawan, sedangkan anting-anting dan paruhnya hanya untuk pejuang dan laki-laki tua.
Bagi kalangan Dayak Kenyah, nenek moyang mereka adalah sosok yang
berasal dari langit yang turun ke bumi dengan bentuk menyerupai bentuk burung
Enggang. Hal ini terkait dengan sistem religi yang diyakini oleh (leluhur) orang
Dayak Kenyah. Mereka percaya adanya sosok gaib Bungan Malan sebagai pencipta
kehidupan, alam raya dan manusia, dan Peselun Luhan sebagai Dewa pemelihara
kehidupan. Selain itu mereka juga mempercayai sosok Dewa menakutkan bernama
Bungan Ketepat yang berperan sebagai penguasa kematian, dialah yang mengakhiri
kehidupan.
Tempat dewa-dewa tertinggi tersebut adanya di “dunia atas,” atau di
langit. Dunia atas itu dibayangkan berupa alam yang amat luas tak bertepi da tanpa
kayu-kayuan (Sedyawati, 1995:50—51).
Suku Dayak Iban menyebut Enggang Cula dengan nama Kenyalang dan memiliki arti penting dalam ritual utama yang disebut Gawai Kenyalang. Mereka mempercayai Enggang Cula sebagai simbol burung duniawi tertinggi.
Patung ukiran Enggang Cula juga digunakan untuk menyambut datangnya dewa burung Sengalang Burong pada saat mengadakan pesta dan perayaan. Selain itu, bulu ekornya dipercaya dalam ritual pengobatan suku Dayak, sebagai penghubung dunia dan alam atas.
Dari jurnal ilmiah Makna Mitos Cerita Burung Enggang Di Kalimantan Timur, yang disurun oleh Irma Surayya Hanum, Dahri Dahlan, menjelaskan makna burung enggang di hati dan pikiran orang Dayak.
Wajar saja, orang Dayak Kenyah yang
ada di Kalimantan Timur, bahkan orang Dayak kenyah yang tersebar di seluruh
dunia punya tradisi yang kuat terhadap penyimbolan burung enggang. Maka,
simbol atau ikon apa pun yang konsep atau bentuknya merujuk pada burung
enggang yang ada di tataran empiris, bagi warga masyarakat Dayak Kenyah adalah
sebuah simbol.
Hampir di setiap tempat umum di Kalimantan Timur, khususnya di kota
Samarinda bisa ditemukan simbol burung enggang, baik itu berupa seni patung,
lukisan, dan apa pun yang menggambarkan profil atau bentuk burung enggang.
Fakta ini berhubungan langsung dengan realitas empirik bahwa burung enggang
telah menjadi bagian penting yang tidak terpisahkan lagi dari kehidupan masyarakat
di Kalimantan Timur, khususnya di Ibukota Samarinda.
Orang Dayak Kenyah percaya bahwa burung tersebut adalah burung yang
memiliki sifat melindungi.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kepala Suku
Dayak Kenyah di Pampang bahwa, “Itulah makna simbol burung enggang, karena
seperti itulah sifat-sifat pemimpin yang bijaksana, baik, dan dapat melindungi
warganya dari hal-hal yang membahayakan.
Enggang akan melindungi anak-anaknya. Ia dianggap mewakili makna
kebaikan yang tidak dimiliki oleh burung lain.
Di sisi lain, menurut Palan, burung Enggang juga dianggap membawa
semangat bela negara. Burung Enggang adalah representase semangat bela negara.
Pemaparan yang diperoleh dari kepala suku Dayak Kenyah di Pampang
menjelaskan bahwa, suatu ketika leluhur mereka berperang melawan suku Dayak
Iban yang ada di perbatasan Malaysia dan Indonesia. Konon saat peperangan akan
dimulai, ketika kelompok suku Dayak Kenyah mulai menghunuskan pedang
mandau untuk menyerang pihak lawan, seekor burung Enggang terbang di atas
mereka dan itu dianggap sebagai simbol keberuntungan.
Informasi ini sejalan
dengan penjelasan Andini yang mengatakan bahwa, orang Kenyah menganggap
tanah asal mereka adalah dataran tinggi Apau Kayan (Apo Kayan). Mereka
kemudian bermigrasi dari dataran tinggi dekat perbatasan Indonesia dan Serawak
(Malaysia) (Anggini, 2006:43).
Burung Enggang Nyaris Punah
Sayangnya, burung enggang sering diburu untuk dijadikan sebagai ritual atau dijual. Apalagi, paruh burung enggang bernilai sangat mahal karena dapat dijadikan sebagai bahan obat-obatan.
Peran penting lainnya adalah menjaga kestabilan ekosistem hutan
dan bisa membantu meregenerasi hutan secara alamiah dengan
menebarkan biji-bijian ke berbagai tempat dari buah-buahan yang mereka
makan.
Berkembangnya pembukaan lahan kawasan hutan (deforestasi)
memberikan dampak buruk terhadap populasi satwa Kalimantan dan
habitatnya.
Pemerintah berusaha melindungi burung enggang dengan menjadiannya sebagai hewan dilindungi. Melansir dari Rangkong Indonesia, Enggang Cula atau Great Rhinoceros Hornbill dalam status konservasi masuk kategori Vulnerable (VU); menurut IUCN dan Appendix II; menurut CITES. Selain itu masuk ke dalam satwa dilindungi menurut PermenLHK No. 20 Tahun 2018, UU No.5 Tahun 1990 dan PP No.7 Tahun 1999.
Enggang cula banyak ditemui di wilayah Asia Tenggara, seperti Selatan Semenanjung Thailand, Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Namun lebih banyak ditemukan di Kalimantan.
Provinsi Kalimantan Barat akan menjadi pusat konservasi sekaligus penangkaran burung enggang. Kecamatan Paloh di Kabupaten Sambas menjadi lokasi penangkaran dan kawasan konservasi burung tersebut,rencananya dibangun di atas lahan 20 hektare.